Baik toko maupun outlet dalam gedung megah tersebut hampir tutup semua ketika Gemma, Diga dan Gianna keluar dari bioskop. Sebagian lampu sudah dimatikan, membuat suasananya semakin sepi. Diga dan Gianna berjalan lebih dulu, membahas mengenai film yang baru saja mereka tonton, dan Gemma mengekori di belakang.
Sama seperti sebelum mereka masuk ke teater tadi, kedua tangan Diga membawa paperbag belanjaan Gianna. Sementara jaket denimnya yang masih dipinjam Gemma kini terpasang sempurna di tubuh bagian atas perempuan itu, tidak lagi sebatas terletak sembarangan di bahunya.
Untung Gemma tidak betulan sok ide mengembalikan jaket itu pada Diga, toh ternyata dia membutuhkan kain tambahan lebih dari yang dia pikirkan. AC di dalam teater ternyata dingin sekali, mungkin lebih dingin dari biasanya, mengingat Gemma sudah terbiasa pakai baju yang terbuka dan keseringan aman-aman saja, tidak selebay yang dirasakannya malam ini.
Sampai-sampai pada pertengahan film tadi, Diga yang sejak awal menghindari pembicaraan apapun dengan Gemma, tiba-tiba berbisik di telinganya.
"Mau pegangan gak?" Dia mengulurkan telapak tangan kirinya. "Biar gak dingin."
Gemma tahu kalau ini sama sekali bukan modus, jadi dia tidak perlu kegeeran..
Sebagai orang yang pernah mengenal Diga, Gemma tahu kalau suhu tubuh Diga itu termasuk aneh. Tangannya tetap terasa hangat bahkan pada suhu sedingin apapun. Sebenarnya memang diperlukan dalam kondisi Gemma yang seperti ini.
Masalahnya, Diga malah menambah rasa dinginnya dengan bisik-bisik dalam jarak terlalu dekat, napas hangatnya terasa sekali di leher Gemma, hingga membuat bulu kuduk perempuan itu meremang dan tubuhnya pun menegang.
Bukannya peka dengan Gemma yang mematung, Diga masih melanjutkan aksi bisik-bisiknya. Kali ini, kepalanya terlalu mencondong ke arah Gemma. Kalau Gemma bergerak ke kanan satu senti saja, mungkin bibir Diga sudah menempel di telinga atau lehernya.
"Atau mau ke luar aja?"
Lo bisa diam gak sih, Njing?
Gemma jadi gregetan.
Dan benar saja, saat Gemma melirik sedikit ke arahnya, muka Diga terkena kibasan rambutnya. Untung cuma rambut, dan tidak sampai menyentuh kulit.
Gemma memandangnya nanar, matanya bahkan menyipit kesal.
"I don't want to have sex with you," jawabnya tegas.
Alis tebal Diga terangkat, sementara Gemma merasa tubuhnya mendadak mencair, lemas dan tak berdaya.
Gemma sadar kalau jawabannya barusan kejauhan, tidak nyambung, dan sangat amat memalukan. Kedua tangannya bahkan terkepal kuat saking malunya di kala dia terus memandang lurus ke depan. Dia bisa bayangkan pipinya sudah semerah tomat busuk. Rasanya, Gemma ingin melebur jadi udara saja agar bisa menghilang sekalian.
Demi langit dan bumi, Gemma tidak bermaksud kelihatan seperti janda yang haus belaian, tidak di hadapan mantan suaminya!
Perempuan itu juga tak paham, kenapa dari sekian banyaknya bakat terpendam yang bisa dimiliki manusia, bisa-bisanya dia diam-diam berbakat dalam mempermalukan diri sendiri?
Kebayang kan setersiksa apa Gemma di dalam teater tadi? Otaknya bahkan tidak bisa menangkap satu scene-pun yang ada di layar, padahal filmnya termasuk yang dia tunggu-tunggu. Dia juga tidak bisa nyambung sama sekali dengan bahasan Diga dan Gianna, tiap kali Gianna menanyakan pendapatnya, Gemma hanya bisa pura-pura setuju dengan mereka, padahal dia tidak paham.
Perempuan yang mengenakan rok mini itu malah mendadak geli mengingat hal sialan di dalam teater tadi di kepalanya. Dia menyembunyikan tangannya di balik jaket wangi Diga yang kebesaran membalut tubuhnya, sesekali memeluk lengannya sendiri, membuat jaket itu membungkus lebih erat tubuh kurusnya. Rasa malunya yang telah mencapai puncak cukup membuat tubuhnya lumayan menghangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Witty Ex-Wife
RomanceKetika mantan suami dan mantan istri memutuskan untuk tinggal serumah. It's not about the second chance. It's about unfinished love story. *** Sewaktu Gemma memutuskan untuk kembali ke rumah lamanya sebelum bercerai dikarenakan paksaan sang mantan k...