#27. B E R K A S R A H A S I A

2.1K 241 9
                                    


Alan mengantarkan Prilly sampai di depan rumah yang dibeli oleh Fatahillah. Rumah itu khusus menjadi tempat baru bagi Prilly agar Prilly merasa nyaman dan juga tidak mudah diketahui oleh Ali.

"Ayah udah urus semua kepindahan kamu untuk sementara ini."

Prilly menoleh ke arah Alan, lalu mengangguk. "Makasih."

Alan duduk di sebuah sofa merasakan pegal pada kaki dan juga tangannya. Prilly hang melihat itu merasa segan karena hanya mereka berdua yang ada di dalam rumah itu.

"Kapan aku bisa pulang?" Tanya Prilly membuat mata Alan yang terpejam kini terbuka.

"Baru juga sampai udah tanya kapan pulang." Alan terkekeh pelan.

"Aku juga harus tahu kejadian apa yang bakalan terjadi di sana."

Alan menepuk dahinya lalu memberikan sebuah kotak kecil kepada Prilly.

"Ini apa?"

"Alat perekam suara. Apapun yang nanti kita bicarakan kamu bakalan tahu. Simpan baik-baik alat itu." Jelas Alan membuat Prilly menatap alat itu lalu menggenggamnya erat.

Prilly menatap Alan dengan penuh harapan. "Alan, tolong bantu aku. Tolong selesaikan semuanya. Cuman kamu satu-satunya harapan aku." Ujarnya memohon.

Ada satu belati yang menancap di dada Alan, membuatnya sakit dan sesak. Namun Alan harus menyembunyikan raut sedihnya di hadapan Prilly.

"Untuk kamu, apapun akan aku lakukan." Ucapan tegas Alan mampu membuat hati Prilly tenang.

Walaupun Alan lebih muda dua tahun di atas Ali. Namun lelaki itu selalu berpikir kritis dan positif juga teliti. Sifatnya yang penyabar dan penyayang sama dengan Bunda Renata. Sedangkan Ali lebih mudah marah, berpikir jernih namun seenaknya mengambil keputusan. Memang berbanding balik sekali.

"Semoga saja Alan bisa membuat Mas Ali sadar."

Sebenci-bencinya Prilly kepada Ali, namun lelaki itu tetaplah suaminya dan orang yang dia cintai. Mungkin cinta itu memang buta dan berlaku kepada dirinya sekarang. Dibutakan oleh cinta Ali. Namun, untuk menepisnya saja Prilly tidak bisa. Ada rasa rindu yang menyeruak di dadanya namun tak bisa ia luapkan.

***

Ali meregangkan ototnya kala tubuhnya bersandar pada kursi kerjanya yang empuk. Rasanya hari ini begitu melelahkan baginya. Selain karena ada banyak janji dengan pasien, pikirannya tak pernah berhenti untuk memikirkan Prilly. Masih menjadi misteri tentang hilangnya Prilly tanpa memberi kabar kepadanya. Namun hal janggal lainnya adalah ketika dia menanyakan Prilly kepada Renata, sang Bunda nampak sedikit kebingungan.

Apa mungkin ini rencana keluarganya untuk memisahkan dirinya dari Prilly? Ali menggelengkan kepalanya menepis semua pikiran buruk tentang keluarganya.

Ali melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7 malam, sudah waktunya pulang. Lelaki itu bergegas pergi meninggalkan ruang kerjanya tak lupa membawa bucket bunga lily yang sudah mulai layu.

Walaupun ada banyak orang yang berlalu lalang di rumah sakit namun tetap saja hatinya masih begitu sunyi, bahkan kini Ali berjalan tanpa ekspresi.

Langkah panjangnya melambat ketika melihat Gina yang berjalan pelan dengan sebuah amplop dan map merah di tangannya.

"Mama." Dengan spontan Ali menyapanya seraya menghampiri Gina.

Ditempatnya berdiri, Gina mematung ketika melihat Ali yang menghampiri dirinya.

"Eh nak A-Ali." Ujarnya gugup.

Melihat tingkah aneh mertuanya membuat Ali mengangkat sebelah alisnya heran.

After WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang