bagian 20

362 87 11
                                    

"aku harus memesan tiket untuk penerbangan kita." Kataku pada Dita begitu kami sampai dirumah.

Dia menatapku terus menerus, kurasa ada sesuatu yang mengusik pikirannya. "Katakan! Jika kau tidak menginginkannya. Kita bisa pergi ketempat yang lebih dekat dari Seoul."

"Aku memiliki tempat cukup bagus untuk Justin. Kita bisa tinggal disana sementara waktu."

Ku hela nafas panjang. dia memiliki idenya, namun berat untuk sekedar mengatakannya padaku. "Dimana?"

"Selatan. . . . Dibawah pegunungan. . . " Aku tidak mengerti kenapa dia begitu takut untuk mengatakannya. Dimana pun itu, tidak masalah bagiku. Namun Dita bersikap seolah aku akan mati tercekik jika berada disana.

"Tidak masalah. Selama kami bersama itu akan baik-baik saja." Kataku menenangkannya.

"Rumah vereon..... Kami berada disana terakhir kali."

Kurasakan sekujur tubuhku membeku. Dan otak ku berhenti bekerja. Aku ingat betul saat Dita keluar dari rumah ku, saat itu hari sudah mulai larut. Dia Keukeh ingin pergi secepat mungkin tanpa mau menunggu barang satu hari pun yang membuatku sangat marah.

Sekarang aku mengetahui hal gila lagi. Anak dan istriku pergi ke selatan, dibawah pegunungan di malam hari, entah jam berapa mereka sampai, yang jelas di otak ku, istriku gila. Dia mengambil resiko cukup mengerikan hanya untuk menghindari ku. Dan kehilangan anak kami.

Aku tidak menyalahkannya. Aku hanya merasa gagal menjadi seorang ayah dan juga suami. Istriku telah berjuang cukup banyak untuk menggenggam ku yang tidak pantas. Dia selalu percaya bahwa aku akan terketuk olehnya.

Aku kembali menyeret pikiranku kewaktu dimana Dita pergi bersama vereon. Aku yakin tempat itu cukup jauh, dan dia harus membawa anaknya kembali ke kota seorang diri dengan kondisi yang buruk. Hatiku terasa sakit hanya sekedar memikirkan nya. Mataku sudah mulai memerah. Dan Hidungku terasa masam.

"Aku akan mengemasi pakaian ku dan Justin." Suara lembut Dita menarik ku kekenyataan. Bahwa itu semua telah berlalu. Vereon sudah bahagia, tidak ada lagi kesakitan di dalam dunianya.

Kulihat punggung Dita semakin menjauh, meninggalkan ku yang masih setia berdiri ditengah ruangan. Dita menaiki anak tangga menuju kamar pribadinya.

Punggungnya begitu kecil, namun mampu menopang beban hidup yang begitu besar. Dia terlihat begitu rapuh, namun tidak tumbang saat diterpa banyaknya ujian dalam hidup. Aku merasakan semakin sesak, entah kenapa. . . Dita terlihat begitu kesepian, hanya dengan menatap punggungnya.

Begitu aku tidak melihatnya lagi, tenggorokan ku terasa tercekik. Aku tidak dapat melihat anak ku, dan itu terasa menyakitkan. Sekarang aku tidak melihat Dita di mataku,.  . Panik. . Sakit. . . Gila. . . Otakku mendapatkan guncangan hanya karena ketidak hadirannya di penglihatanku.

Aku mengambil langkah besar, berusaha mengejar Dita yang sudah hilang dari hadapanku. Langkah acak, langkah kepanikan, langkah kekalutan. . . . Bahkan aku bisa merasakan air mata ku mulai mengalir.

Disana. Dita sedang duduk diatas tempat tidurnya membuka koper besar. Dia berjalan kearah almari, berdiri dan mengambil beberapa pakaian yang akan dia bawa.

"Eoh?! Tae apa yang kau lakukan?!"

Dia begitu terkejut dengan pelukanku yang secara tiba-tiba. Aku memeluknya dari belakang, dan membenamkan wajahku di pundaknya.  "Biarkan tetap seperti ini." Ucapku pelan, seraya berbisik.

"Kita harus cepat. . . Tae?! Apa kau menangis, hmm?"

"Biarkan tetap seperti ini." Tubuhku bergetar hebat. Hatiku terasa sakit dan kalut tanpa aku tau apa penyebabnya. Seolah sesuatu akan terjadi dan hal itu akan sangat menyakitkan. "Berjanjilah kau tidak akan pernah meninggalkan ku. . . . Jika kau ingin pergi. . . Kau harus membawaku bersamamu."

"Apa yang kau bicarakan, Tae?! Pergi kemana? Siapa yang mengatakan omong kosong itu padamu, hmm?"

Mendengar pertanyaan Dita tidak membuatku merasa lebih baik, tapi sebaliknya, aku semakin tercekik. "Aku tidak tau, hanya saja hatiku berdenyut sakit saat tidak melihat mu di pandangan ku. Seolah aku akan kehilanganmu kapan saja."

Mungkin hanya ilusi ku, namun aku merasakan punggung dita membeku untuk sesaat, sebelum akhirnya dia berbalik menghadap ke arah ku dan menangkup wajahku diantara telapak tangannya. " Kau terlalu banyak berpikir, tuan Kim. Aku disini, dihadapan mu. Masih, masih dan tetap mencintaimu."

Senang, bahagia, dan banyak lagi. Hatiku terasa penuh mendengar ungkapan cinta Dita padaku, karena hal tersebut membuat ku merasa Dita masihlah nyata akan keberadaannya.

Sesuai naluri, tanpa membuang waktu aku menyambar bibirnya. Ini bukan ciuman pertama kami namun semua terasa sama, seolah kami baru pertama melakukannya. Selalu menggebu-gebu. Menuntut dan terasa tidak cukup.

Tangan Dita memukul dada ku pelan. " Kemasi pakaian mu, tuan Kim. Kita akan pergi sore ini juga."

"Kenapa begitu terburu-buru, hmm?"
Dita menatap kedalaman mataku dengan tatapan sayu.

"Aku belum membereskan kamar vereon. Kau mungkin tidak akan nyaman dengan kondisi kamarnya terakhir kali."

Kondisi kamarnya terakhir kali?! Seperti apa? Bagaimana kondisinya terakhir kali?!

"Dan. . . Hanya ada 2 kamar dirumah kami, satu untuk Justin jadi. . . . Kita akan tinggal di kamar yang sama."

"Tentu! Itu lebih baik. . ."

"Tapi tempat tidur ku tidak terlalu besar, aku tidak yakin kau akan nyaman."

Apa kau bercanda?! "Itu lebih baik lagi. Jika perlu kita bisa menggunakan kasur singel untuk kita berdua."

TBC. . . .

terimakasih untuk waktumu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang