bagian 23

367 79 11
                                    

Aku tidak tau berapa lama aku mengurung diriku didalam kamar vereon. Saat aku membuka mata, hari sudah mulai terang.

Aku panik. untuk sejenak aku telah melupakan keberadaan istri dan anakku karena perasaku yang kacau. Dengan terburu-buru aku berdiri hingga kepalaku berdenyut sakit. Pelipis diarea mataku terasa seperti tertusuk, sangat menyakitkan. Dengan susah payah aku berusaha bertahan. Segera berdiri meninggalkan kamar vereon.

Aku menyusuri rumah minimalis tersebut. Tidak ada sesuatu yang luar biasa disana. Hanya perabotan sederhana. Hanya ada dua ruang kamar, tanpa membuang waktu, aku bergegas menghampiri kamar yang ku yakini ada istri dan anakku disana.

Kulihat mereka tertidur begitu lelap. Aku tidak tega untuk membangunkannya. Tanpa kusadari seutas senyum mengembang dari bibirku. Mereka begitu manis, dengan Justin yang melingkarkan lengannya di leher Dita, dan Dita mencium kening Justin di dalam tidurnya.

Udara pegunungan cukup dingin, dengan selimut tipis seperti yang dikenakan Justin dan Dita pasti terasa tidak nyaman. Kuputuskan untuk mendapatkan beberapa lapis selimut, dan akan ku berikan pada mereka.

Almari minimalis berdiri tidak jauh dari tempat tidur. Aku berjalan mendekat, kucari selimut disana. Namun mataku tertumbuk pada setumpuk berkas yang cukup mencuri perhatianku. Ada nama salah satu rumah sakit yang tidak begitu asing di ingatanku. Aku mengambilnya tanpa ragu, kubuka dan kubaca tanpa meninggalkan sekatapun diantaranya.

Ini gila! Kenapa aku begitu bodoh? Seharusnya aku menyadarinya. Idiot! Tolol! Brengsek! Aku benar-benar tidak layak.  Sejak kapan anak ku menderita penyakit mengerikan ini. Kenapa aku tidak mengetahuinya? Pasti Dita sangat membenciku, dia bahkan tidak ingin repot-repot memberitahuku tentang kondisi anak ku yang sebenarnya.

"Apa yang kau lakukan, Tae?" Suara parau Dita mengejutkanku dan membuat berkas yang berada di tanganku terlepas jatuh berserakan diatas lantai.

"Ak. . .Aku hanya ingin mendapatkan beberapa lapis selimut untuk kalian. . . . Aku tidak sengaja men. . . menjatuhkan berkas-berkas mu." Kata ku berbohong sembari memungut berkas yang berserakan.

Aku tidak mengerti dengan kesalahan apa yang telah ku perbuat. Yang ku tau, Dita bergegas menerjang ku dan merebut berkas-berkas yang berhasil kukumpulkan.  Dia terlihat tidak senang dengan apa yang baru saja kulakukan. Dengan cepat dia memasukan kembali semua berkas dan menguncinya didalam almari.

"Apa itu? Kenapa reaksimu begitu berlebihan?! Apa yang coba untuk kau sembunyikan dariku. . .?!" Tanya ku semakin curiga melihat gelagat Dita yang sedikit tidak wajar.

Dia terlihat begitu gugup seolah aku berhasil memergokinya melakukan kesalahan fatal. "Maafkan aku. . . . Aku hanya tidak ingin kau menjadi buruk dengan melihat hasil medis dari anak kita. . . . Aku. . Kuharap kau mengerti, taehyung-ah. Aku sangat mengenalmu, kau akan mengutuk keras dirimu sendiri karena hal ini, dan aku tidak menginginkannya. Kau ayah yang baik, sangat baik. Aku yakin didalam hatimu terdalam kau memiliki kesakitanmu sendiri. Aku tidak ingin kau semakin sakit dengan pemikiran-pemikiranmu. . ."

Bisakah aku mempercayainya?! Dita memiliki ribuan rahasia belakangan ini. Aku nyaris buta akan dirinya, tidak banyak yang ku ketahui tentangnya. Bisakah aku mempercayai ucapannya kali ini, hum?!

Aku terkejut, didalam pikiranku yang rumit secara tiba-tiba Dita memelukku dengan begitu erat.

"Kumohon! Jangan menilai dirimu buruk. Kau sangat, sangat dan sangat baik. Kami akan memulai hidup yang baru, aku tidak ingin semua menjadi kacau hanya karena goresan dimasa lalu kami."

Benarkah itu?! Mungkinkah aku berfikir terlalu jauh. Benarkah Dita hanya berpikir tentang ku, tidak lebih. Entahlah aku tidak benar-benar mengetahuinya, aku hanya berharap apa yang dikatakan oleh Dita, benar adanya.

Aku membalas pelukan hangat darinya. Dibenamkan wajahku di pucuk kepalanya. Kuhirup aroma shampoo yang melekat di otakku. Aroma yang selalu memberikanku ketenangan.

"Terimakasih. . . . Kau begitu peduli padaku, tapi biarkan aku tetap berada pada posisiku. Aku bersalah, sudah sepantasnya bagiku untuk merasakan yang lebih buruk dari sebelumnya. . Kesakitan ku tidak sebanding dengan kesakitan yang ku berikan pada kalian. Sekarang adalah giliran ku untuk menjadi figur yang layak bagi keluarga kecil kami."

Kurasakan sesuatu yang basah mengenai bajuku. "Apa kau menangis, hum?!" Tanya ku lagi.

"Aku bahagia. . . Sangat-sangat bahagia. Terimakasih Kim Taehyung. . Terimakasih. . ."

"Daddy! Mommy!" Aku dan Dita tersentak kaget mendengar suara parau Justin.

"Kau sudah bangun, sayang?" Tanya ku sembari berjalan menghampirinya. Dia masih terlihat begitu lemah. "Apa ada yang terasa tidak nyaman?" Tanya ku lagi.

Dia hanya mengangguk pelan dengan sisa tenaganya.

"Aku akan membersihkan diri dan menyiapkan sarapan untuk kita." Ujar Dita menyea pembicaraan kami.

Aku mengangguk dan memberinya seutas senyum. Ini konyol. Hanya dengan senyuman ku Dita sudah terlihat begitu bersemangat. Apakah senyuman ku begitu berharga baginya.

Kulihat punggung Dita mulai menjauh dan semakin tidak terlihat di penglihatanku.

Oke, sekarang kita kembali ke anakku yang tampan. Dia sedanh menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Suara nafasnya masih belum sepenuhnya membaik seperti semula, kurasa ada yang salah dengan pernafasannya.

"Apakah masih sakit?" Aku menyentuh dan sedikit memijat bagian dadanya berharap pernafasannya akan sedikit lebih baik, memudahkannya untuk bernafas.

"Lebih baik." Cukup singkat. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya, Justin memberikan jawaban yang singkat seperlunya.

"Apa kau bosan berada di dalam kamar? Haruskah aku menggendong mu dan pergi ke luar?" Tawarku padanya yang terlihat sedikit bersemangat dengan apa yang ku tawarkan.

"Bolehkah?"

"Tentu! Kita berada di kawasan bebas polusi, tidak masalah bagimu untuk berada di luar. . . . Kita bisa makan bersama mommy halaman. Meskipun tidak begitu jelas, namun Daddy yakin pemandangan di lingkungan kita sangat bagus." Ujarku memberikan sedikit gambaran.

Justin tersenyum cerah. " Aku ingin pergi. . ." Ucapnya antusias.

Aku menggendong nya di punggung. Dia melingkarkan tangannya disekitar leherku.

Dita terkejut melihat kami menghampirinya. "Apa yang kalian lakukan. . . . Tuan Kim, tidak kah kau tau kondisi anak kita, huh?!"

"Terus berada didalam kamar tanpa melakukan apapun hanya akan berakhir dengan sarang laba-laba. Kami hanya akan berada di depan kediaman kami. Jadi bibi, tolong jangan bereaksi berlebihan seolah kami akan mendaki gunung dibelakang."

"Huh?! Bibi?! Kau menyebutku bibi?! Kim Taehyung! Nyalimu cukup besar, apa kau sudah bosan hidup, huh?!" Dita menatap ku menyalang.

"Aku tidak berani! Darimana datangnya nyali yang kau bicarakan. Nyonya Dita Kim adalah segalanya dari segalanya. Tuan Kim yang miskin ini tidak akan sanggup melawan kehendak mu, nyonya." Aku ingin memuntahkan 3liter darah menilai Kalimat yang kulontarkan sendiri. Ini begitu kuno. Aku merasa seperti pria tua 50 tahun yang akan bernyanyi dipagi hari setelah bangun dari tidur.
Aku sering mendengar kakekku berbicara dengan nada, sama seperti manula pada umumnya. Berbicara dengan frasa-frasa kuno membuatku terdengar kolot.

"Pagi hari akan terdengar luar biasa saat kau mengucapkan rasa kasih mu, Kim Taehyung. Tapi mendengar ucapan mu ini rasanya tidak seperti kau akan mengajak ku pergi berkencan tapi sebaliknya seolah-olah kau ingin mengajakku ke dunia kematian." Tawa Dita begitu keras. Mungkin kalian bingung dengan ungkapan Dita. Tapi ketahuilah arti dari apa yang dikatakannya adalah. "KIM TAEHYUNG! KAU TUA BANGKA!!"

Gemesssssss kali aku sama ini. . . .

terimakasih untuk waktumu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang