bagian 28

352 81 21
                                    

"ibu! Apa kau akan pergi seperti vereon Hyung?" Tanya Justin secara tiba-tiba.

Dita tersadar dari lamunan nya dan dia menatap Justin dengan lembut. "Apa?" Tanya Dita bingung.

"Apa ibu akan pergi seperti vereon Hyung? Pergi meninggalkan aku dan ayah?" Ulang Justin bertanya pada Dita.

Ada gurat ke khawatiran dan rasa panik di wajahnya. " Kenapa kau berfikir seperti itu, hmm?"

Justin terlihat begitu sendu, dia berjalan mendekati Dita dan mengulurkan tangan menyentuh wajahnya. " Hidung ibu berdarah sama seperti Hyung, sebelumnya." Jelas Justin yang membuat Dita kaget dan panik.

Dita mengusap hidung berdarah nya dengan tergesa-gesa dan kasar. Panik, takut, kalut semua tercampur aduk menjadi satu didalam mimik wajah pucatnya.

Satu tetes air mata jatuh dari pelupuk Justin. " Apa ibu benar-benar akan pergi?. . . Tidak bisakah ibu tetap bersama kami. . Tidak bisakah ibu tetap tinggal? Bisakah?" Tuntut Justin dengan suara bergetarnya.

Hati Dita seperti tersayat bilah pisau yang tajam secara berulang-ulang. Justin cukup kecil untuk ukuran anak dengan pemikiran yang dewasa. Ucapan yang terlontar dari bibir kecilnya sangat sulit untuk dipercaya. Sejauh mana Justin dapat memikirkan tentang kehilangan dan kematian? Apa dia benar-benar mengerti. Dan apa yang harus dia lakukan, bagaimana dia harus menanggapi perkataan anaknya? Semua termasuk didalam pikiran Dita yang mulai melemah.

Tangis Dita pecah melihat usaha Justin untuk menahan tangisnya. Di mata Dita, dia dapat melihat bagaimana pria kecil dihadapannya menggigit bibir bawah dan mengepalkan tangannya. "Aku akan berusaha semampu ku, sayang. Ibu akan berusaha yang terbaik agar dapat bersamamu, selamanya, dalam masa yang panjang." Ditengah tangis dan suara parau, Dita terus berusaha memberikan ketenangan untuk Justin. "Bisakah kau ambilkan obat untuk ibu, hmm? Ibu akan lebih baik setelah meminumnya, dan kita akan kembali ke kota setelahnya." Ujar Dita memberi pengarahan pada Justin.

Tanpa membuang waktu, Justin bergegas mengambil botol obat yang Dita inginkan. Dan memberikannya sesegera mungkin.
.
.
.
.
.

Pukul 01 pagi Dita dan Justin sampai di rumah sakit S.

"Apa kau gila?! Apa kau sudah kehilangan akal mu, eoh?! Tidakkah kau sadar dengan apa yang kau lakukan, huh?!" Bentak Lea pada Dita yang terus menundukkan kepalanya.

"Eonni! Pelankan suaramu. Justin sedang tidur, suaramu dapat membangunkannya." Protes Dita. " Aku tau ini sulit, tidak mudah dan sangat beresiko. Tapi aku menginginkannya." Lanjut Dita menjelaskan.

Lea semakin geram. " Untuk apa, hmm? Kau bahkan sulit untuk hidupmu sendiri dan sekarang kau mempertaruhkan nyawamu yang hanya satu tarikan nafas? Kau gila Dita! Kau tidak waras. Kecil kemungkinan untuk anakmu bisa bertahan hingga . . . . Kau bahkan bertahan hingga titik ini adalah suatu  keajaiban. Dan sekarang kau meperjudikan peluangnya yang kecil." Lea tidak habis pikir, bagaimana Dita bisa bertindak begitu ceroboh. Kondisinya sudah sulit, dengan anak didalam kandungannya semakin memperburuk keadaan. Kecil kemungkinan untuk bayi dalam rahimnya bertahan disaat Dita sendiri diambang kematian.

"Apa yang akan terjadi, semua adalah tanggung jawabku. Semua aku yang akan menanggungnya. Ini adalah keputusan ku. Aku sudah memikirkannya dengan matang-matang." Dita masih dalam tekadnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan mengalah.

"Apa kau pikir semudah itu, huh?! Kau sendiri tidak memiliki kepastian untuk hidupmu dan kau ingin bersikap heroik dengan mempertahankan janin dalam rahim mu. Kau tidak bisa, Dita. Kau. . . . Kau dan anak mu tidak akan bertahan." Air mata amarah sudah berderai membasahi wajah Lea.

Dita menatap kedalaman mata Lea. Dengan penuh keyakinan dia berkata. "Aku bisa, eonni. Aku yakin aku bisa membawanya ke dunia. (Dita memukul dadanya) hatiku terus mengatakan bahwa vereon ku akan kembali. Dia akan kembali. . . . Aku menginginkan anak ini, eonni. Aku menginginkan-nya."

"Kau tau kondisimu, Dita. Saat kau tidak sanggup, dia akan pergi, sama sepertimu." Gumam Lea lirih dengan suara parau.

Dita meraih tangan Lea. " Bantu aku, eonni. Aku akan berusaha untuk bertahan. . . Kau bisa mengeluarkannya dan memindahkannya kedalam rahim buatan. . .aku tau, beberapa dari kalian pergi ke Amsterdam untuk penelitian ini. Kumohon. . . "

"Kau semakin tidak waras Dita. Otak mu benar-benar cidera. Pergilah, aku tidak ingin berbicara denganmu sebelum kau mulai sembuh dari kegilaan mu." Sergah Lea dengan amarah yang mulai naik. "Kami melakukan percobaan pada hewan, meskipun itu berhasil dengan sempurna namun metode tersebut belum pernah kami coba pada bayi manusia....."

"Aku mohon!" Dita berlutut dibawah kaki Lea. "Untuk yang terakhir kalinya. Dalam hidupku. Untuk yang terakhir kalinya kumohon. Biarkan aku memiliki anak ku. Ku mohon eonni! Terakhir kalinya. . ."
.
.
.
.
.
Dita sekarat?! Dita sedang sekarat. . . Apa Taehyung tau tentang hal ini?! Dan di sedang hamil?! Ini gila. . . . Apa yang harus ku lakukan ? Haruskah aku memberitahunya? Tapi jika benar Dita sakit dan dia menyembunyikan nya dari Taehyung, bukan kah itu artinya dia tidak ingin Taehyung mengetahuinya. Tidak benar untukku memberi Taehyung saat Dita tidak menginginkannya.________

Segini dulu ya. Kalo ada waktu tak double up.

terimakasih untuk waktumu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang