Kisah 45 ➯ Mulai aja

7K 802 157
                                    

Sekarang Lisa sama Bams udah duduk di bawah gazebo, tetapi masih diem-dieman. Kenapa gak duduk di gazebonya? Karena ada ayam. Wini udah beli pengganti Moci, sekarang namanya Moca.

"Gak ada yang mau lo omongin?" tanya Lisa sambil nyabutin rumput di sekitarnya, biar ada kesibukan dan gak awkward awkward amat.

Bams masih diem sambil ngusap tengkuknya, cowok itu bener-bener gak bisa dihadepin Lisa buat saat ini.

"Gue ngajak lo ngomong," ucap Lisa menusuk.

"Gue heran deh, Lis?" Bams mulai membuka suara. Ia menoleh ke arah Lisa dengan dahi yang berkerut.

"Kenapa?"

"Lo kok bisa sih santai banget? Ini pernikahan loh? Pernikahan itu hal yang sakral, lo yakin mau sama gue sampai mati?" tanya Bams dengan raut cemas.

Lisa membuang napas jengah, "gue udah tau semua kemungkinan yang bakalan terjadi. Kalau gue gak bantah ucapan orang tua kita, artinya gue fine fine aja sama semuanya, Bams," jelasnya.

"Gila. Lo lupa gimana lo nolak rencana ini mentah-mentah?" jengit Bams tak menyangka.

"Kenapa? Lo masih mau batalin pernikahan kita? Atau lo punya cewek?"

"Gak, Lis. Bukan gitu, gue gak yakin sama diri gue. Kita nikah sebentar lagi, sementara kita masih sama-sama kuliah. Kita gak punya penghasilan, makan aja kadang masih nyolong kulkas tetangga, kan? Kita juga gak bisa bergantung sama orang tua kita terus, gue sebagai suami lo nanti, ngerasa gak becus aja. Gue takut kita bakal kesusahan setelah nikah," jelas Bams panjang lebar.

"Gue udah mikirin ini sejak orang tua kita bilang kita dijodohin," jawab Lisa.

"Apa?"

"Gimana kalau kita buka gerai? Paling jualan minuman milkshake, kopi, atau boba gitu. Pop ice juga sabi, pokoknya segala minuman dah kita jual. Terus buat lokasi, kita jualan di deket pengkolannya Norman, mereka kan ngamen noh, kita jualan deket sana. Di sana juga bebas jualan, gak ada biaya sewa, lumayan lah," kata Lisa terdengar sudah menyiapkannya sejak lama.

"Tapi ada yang suka malakin pajak, Lis,"

"Takut lo sama preman?" tanya Lisa remeh.

"Nggak, gue takutnya lo yang diapa-apain. Mereka kan suka godain cewek," jawab Bams.

"Gak berlaku buat cewek Niskala, mereka takut," tawa Lisa.

"Lo yakin, Lis?"

Lisa mengangguk mantap, "lo nya mau nggak waktu main lo kepotong. Kita bisa gantian shift umpama ada jadwal kuliah. Terus kalo kita sama-sama sibuk, kita bayar Norman aja buat jaga," ucap Lisa.

"Gue gak papa sih, lagian selama ini kerjaan gue cuma ngopi sambil makan gorengan," ujar Bams tak tau malu.

"Emang gak ada kerjaan kan lo. Jadi selama ini lo musingin masalah duit ya?" goda Lisa dengan senyum mengejeknya.

"Bisa dibilang begitu,"

"Lo tenang aja, gue bisa malakin orang kalo emang mepet," canda cewek berponi itu.

"Sat, gak gitu juga,"

"Cincin lo mana?" tanya Lisa tiba-tiba.

"Cincin apa?" tanya Bams bingung.

Lisa nggak jawab dan cuma natap Bams tajam, seakan matanya tuh keluar laser.

"O-oh, itu, gue pakek kok," Bams mengeluarkan kalungnya dari balik kaos, kalung itu memakai liontin cincin pertunangan mereka.

"Kenapa lo jadiin bandul?" tanya Lisa sensi.

"Bagus dijadiin bandul," jawab Bams seadanya.

"Gue bilang gak usah khawatir masalah duit!" seru Lisa tiba-tiba.

Garis 97 [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang