Jatuh tempo

59 3 0
                                    

[Selamat membaca]

 Bau ban mobil dan asap menyeruak saat gerimis mulai menghantam setiap jalan di terminal Kolombo. Ada dua bus besar yang terparkir berdampingan. Membawa penumpang yang selama ini ditunggu para penjual asongan dan toko sewaan di sekitarnya. Duduk di depan warung Ibu muda, gadis berjilbab Sorong hitam dengan sigap memakai topinya. Untuk berkeliling menemui orang-orang yang baru turun dari bus besar. Ada dari mereka yang langsung ke rumah makan untuk menghangatkan diri, ada yang ke kamar mandi karena sudah ditahannya dari tadi, ada yang hanya berjongkok depan warung kecil untuk menetralisir mabuk perjalanan dengan mata sayu karena tidur yang tidak nyenyak. Mereka mencari keperluannya masing-masing agar kuat untuk melanjutkan perjalanan. Atau hanya merenggangkan kaki dan pinggang karena duduk berjam-jam.

Lebih dua menit gadis itu berkeliling ke setiap warung dan bus. Iya selalu menawarkan segala jajahan yang di bawanya, ada makanan yang diolahnya langsung yaitu: terus puyuh rebus dan saus itu menjadi andalannya, kacang tanah yang pedas dan asin, itu dipesan dari orang lain untuk memenuhi dagangannya, tahu goreng isian lima dengan cabai rawit juga di pesannya. Kalau laku yang pesannya tadi maka hasilnya dibagi dua.

Dia menghela nafas panjang karena tersisa separuh dagangannya. Sementara hari makin sore, gadis bertopi itu terus berkeliling dengan suara hampir tercekik karena berteriak-teriak agar para penumpang tertarik membeli. Mungkin kalau tidak begitu bagaimana bisa orang tahu kalau dia sedang berdagang.

"Sarah...." teriakan ibu muda samar ditangkap telinganya. Nama pemberian orang tuanya, lebih mudah diingat karena sama dengan nama istri Nabi Ibrahim alaihi salam. Gadis itu hanya meniru dengan harapan dapat menjadi seperti nama teladan sang wanita Sholehah tersebut.

"iya Bu Wulan. Ada apa?" teriaknya. "Eh...kenapa ibu muda?" Sarah berlari menuju Wulan yang berdiri di depan warungnya.

"ini...pesananmu tadi. Telur puyuh seratus biji. Nah kembaliannya." Wulan memberi uang dengan sedikit menarik tangan Sarah untuk berteduh. "gerimisnya deras sekarang. Kamu duduklah dulu disini, biar ibu bikinin teh anget." Mengarahkan Sarah duduk di depan warung.

"iya buk. Sekalian, aku mau ngulang hafalanku. Nanti malah macet, aku malu sama ustazah Neneng." Membuka juz Amma kecil dari tas sandang hitam di depannya.

"Oh...gimana kabar ustazah Neneng? Katanya Dimas lanjut kuliah di UII ya." Menyeduh teh.

"Alhamdulillah ustazah dan keluarganya sehat Bu. Katanya sih iya." Tersungging senyum di wajahnya.

Habis hari dilaluinya, Sarah kembali saat sore berpayung awan. Bersama Bu Wulan yang mengisi becak motornya dengan setengah karung bayam. Dan seplastik ubi kayu. Dengan pak Eko yang memakai jas hujan membelah jalan. Saat itu hujan makin deras, dengan sedikit jarak pandang untuk terus berjalan, tapi Pak Eko tahu kalau Sarah ada hal yang mendesak di rumah. Tak perlu berpikir panjang pria kurus itu menebas hujan dan maju mengantar gadis itu pulang. Bu Wulan juga beberapa kali memandang suaminya yang kehujanan, namun tersenyum teduh saat melihat Sarah dengan harapan tak terjadi apa-apa.

Perlahan Sarah turun dari becak dan membawa dagangan serta bayam dua ikat untuk di rumah. Pemberian ibu wulan. Mereka orang tua kedua di hidupnya. Menjadi seorang yatim-piatu dan hanya pandai berdagang seadanya. Itu pun modal nekat dari SMA, kalau tidak bertindak mana ada jalan yang terbuka untuk memenuhi kebutuhan harian. "Sarah penjual asongan" Nama julukan sejak SMA hingga orang yang menjulukinya lupa dengan gadis asongan itu karena sibuk menata tujuan mereka masing-masing.

Tanpa jeda gadis itu mendekati pintu reyot yang engselnya bisa terdengar lantang bagai bel rumah orang kaya. Matanya menatap tajam pada seluk-beluk rumah yang sengaja di berantakan, lemari boneka habis di kosongkan. Sofa, dapur, sapu yang terjatuh, dan semuanya mendadak berkicau kalau ini pasti ulah bodyguard juragan bodi. Yah...memang benar. Ini telah habis tempo pembayaran tunggakan hutang. Tak terpikirkan kalau hutang piutang ini akan menjadi rute perjalanan panjang dari hidupnya. Seorang pengidap Asma ringan, cukup mengkhawatirkan untuk gadis itu. Kalau-kalau ia kambuh. Dan obat pereda menjadi andalannya. Sarah telah terbiasa dengan rutinitas ringan sebagai pencegahan dari penyakitnya. Namun, tetap ditahannya untuk berada di terminal agar bisa berjualan. Tapi, hutang menggunung tak membiarkan dia menarik nafas. Kalau seperti ini, dia harus mencari kerajaan yang bisa dilakukannya dan tak mengganggu kesehatan.

REYSA [Reyvan & Sarah] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang