Aku ada

2 1 0
                                    

[Selamat membaca]

Dalam beberapa hari ia berjalan menyusuri tempat-tempat yang memaksanya pergi jauh kali ini. Menenangkan diri dari pertengkaran yang tak habis dihadapinya tiap hari. Bagaimana bunga itu tumbuh jika tidak ada kehendak Tuhan disana. Sama halnya dengan hati, jika dipaksakan pun bukan cinta sejati yang timbul, malah rasa kasihan yang menebar. Meruntuhkan kenyataan dan menghubung jalinan kepalsuan. Bersimpati? Merelakan? Itu hanya kalimat yang mampu menyatukan keadaan, tapi memiliki ruang, jarak, dan dinding besar yang tak tampak.

Sempat terlintas dalam pikirannya, mungkin perjodohan yang dirancang oleh keluarganya akan berbuah manis pada dirinya. Semua pikiran ini ternyata salah, tak sedikitpun ia mengizinkan seseorang menemaninya. Sibuk dalam bayang-bayang kekasih pujaannya. Mengais serpihan-serpihan harapan ingin terus berjumpa. Meneguk air matanya yang telah habis menemani setiap saat dalam gelap jiwanya.

Hingga kesadarannya menguasai raga untuk selalu menatap pagar rumah yang pernah ia masuki hanya untuk mencari keberadaan pujaannya. Namun, pedih bukan main hatinya, melihat akibat yang memporak-porandakan hubungan mereka yang semestinya mencapai batas bahagia. Namun, mereka sama-sama merasa terluka. Hingga raga yang menjadi taruhannya. Bahkan, raga yang sakit ini tak mampu merasakan hancurnya hati yang lebih parah.

"Di depan ini. Aku selalu melihatmu, dengan pagar yang kau batasi, takkan menghalangi pandangan ku kepadamu. Rey." Dinda kembali menangis tersedu, dan kembali pulang setelah sejam melihat rumah kekasihnya.

Berdering handphonenya beberapa kali. Tapi tak di gubrisnya. Hingga sampai di hotel. Berderingnya makin menjadi-jadi, dengan kesal dinda mengangkatnya.

"Ha.. kenapa? Gak bosan ya?" ketus ia berbicara.

"Lo dimana? Gue dari tadi telpon gak lo angkat. Kan udah gue bilang jangan pergi sebelum diputuskan, boleh atau enggak." Bayu mondar-mandir di kamarnya. Dengan wajah memerah.

"Aku bisa sendiri, udah tidur sana! Bilang sama papa aku gak bisa datang ke acara anniversary mereka. Dah...ya."Dinda menutup teleponnya, lalu menonaktifkan handphonenya.

Semua yang terjadi, bagi gadis yang berselimut itu adalah penghalang untuk bertemu kekasihnya. Bukan....Bukan hanya itu, tapi hal yang lebih penting. Mencari seseorang yang telah memfitnahnya. "Aku rasa, foto itu bukanlah bukti kuat dan menganggapku bersalah total. Tapi, hati dan kepercayaan antara pasangan yang membuat itu semua hancur, Rey tidak mempercayaiku, semenjak aku sibuk ke urusanku sendiri." kembali ia biarkan genangan itu di matanya.

Tak pernah terlewatkan diantara malam-malamnya yang panjang, selain merindukan kekasihnya. Yang entah sedang apa sekarang. Merajut kisah yang telah menjadi kenangan itu terlihat lebih sulit, dengan benang yang samar, mana mungkin itu bisa menjadi rajutan yang utuh. Harapan ini hidup lebih lama dari jiwanya, sebelum mengenal siapa-siapa. Ia tetap bertumbuh subur oleh kerinduannya. Dan malam memberikan ruang untuk meluapkan segalanya.

***

Telah sampai gadis berjilbab coklat itu di depan pagar tinggi yang sangat berarti baginya. Penuh keberanian, dinda keluar menemui satpam untuk menanyakan keberadaan rey ke rumahnya. Tapi dengan gelengan kepala pria berbadan gemuk itu, menandakan kecemasan bagi dirinya sendiri. Bahkan untuk mendapatkan informasi dari pak mul tak sedikitpun mulut itu memberi kunci keberadaan pria tinggi itu.

"Pak mul ku mohon! Aku hanya ingin tau. Apa mungkin dia berada di rumah sarah istrinya sekarang?" Dinda menebak.

"Mbak dinda lebih baik pergi saja. Saya gak ingin terulang kedua kali kesalahan seperti dulu. Ayo mbak!" sambil mengarahkan gadis itu menuju mobilnya.

REYSA [Reyvan & Sarah] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang