Kabut pikiran

25 4 0
                                    

[Selamat membaca]

Sukma tak ketinggalan menyalami mbok, lalu berangkat menuju sekolah lebih awal. Pagi itu sangat sejuk, rintik-rintik hujan masih menghiasi, lembut angin menerpa halus hijab putih gadis gemuk itu. Memutar sepeda ke arah jalan menuju tempat ia menimba ilmu.

Pisang goreng yang tersisa di bungkus mbok untuknya, tangan sebelah memegang stang sepeda yang tak tahu mereknya lagi, tangan kanannya memegang pisang goreng pengganjal perutnya yang kosong. Setidaknya perut itu tak mengeluarkan bunyi drum yang besar saat di kelas nanti.

Kabut asap terbentang di antara rerumputan pinggir jalan, mentari pun tak berani unjuk diri. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Keranjang depan sepeda masih kuat membawa tas dan botol bekas air mineral yang diisi ulang tiap harinya.

Kali ini mbok isi dengan teh hangat sisa tadi pagi, sukma habiskan di perjalan hingga tiba di depan rumah dita. Sahabatnya yang satu ini kerap menunggunya di rumah, karena jalan ke sekolah melintasi rumah Dita. Tak lupa sukma mengkode Dita dengan menyodorkan botol minum yang sudah kosong agar diisi kembali. Senyum gadis cabi itu selalu ditunggu oleh orang tua Dita, kata mereka menggemaskan.

Dita yang baiknya selangit menjadi tempat ternyaman setiap keluh kesah menghampirinya. Mereka saling membahas topik yang seru, dari kejadian-kejadian aneh yang Sukma alami setiap hari, bahkan yang terburuk. Gadis berkuncir satu itu, sering menceritakan hal apa saja yang ia lihat dan ia baca, termasuk perasaanya.

"Sukma kamu percaya ramalan bintang? Aku rasa apapun yang diramal gak sesuai dengan diriku, mereka hanya menebak secara umum melalui sifat manusia. Yang pemalu, heboh, jodoh kamu seperti ini, karir kamu di tahun depan kayak gini. Tapi gak hanya ramalan bintang yang ku baca di satu majalah, majalah lain juga, kamu tahu apa?" Dita merilik sukma yang terus berpikir keras sambil mengayuh.

"Apa yang kamu dapat dit?." Penasaran sukma memuncak

"BERBEDA. Tidak sama dengan majalah yang ku baca di awal, seperti diacak aja. Iya gak, menurutmu gimana?." Mengangkat sebelah alisnya.

"Aku pernah baca, tapi ku abaikan. Kan kita gak boleh percaya dengan ramalan apapun kecuali dari qur'an dan hadits nabi, juga masih ada lagi, kayak pendapat para ulama itu termasuk, itu yang ku tahu, heeeee." Memarkirkan sepeda di tempat parkir sekolah.

"Iya sih bener kamu bilang, tapi kalau jodoh kamu penasaran gak sih?" Mata menatap langit dengan seribu khayalan indah.

"Emang kenapa? kamu lagi nyari jodoh yaa, atau...." Berjalan mundur pas di hadapan dita tak lupa ledekan pemanis untuk sahabatnya.

"Atau apa? jangan bilang kamu pikir aku mau nikah abis kita lulus sekolah? Iya!" dita memicingkan mata.

"Yaaaa..... kali aja kamu udah mau membangun rumah tangga kayak mbokku nikah abis sekolah." Memutar badan berjalan kedepan.

"Iya kali, suk. Gak lah." Duduk bersebelah di pertengahan kelas.

"Oia nih... pisang goreng mbok aku sisain, makan!" seraya membuka bungkusnya

"Wahh... ini yang ku tunggu, makasih yaa." Mengunyah dengan nikmat.

***

Sudut terminal ramai seperti biasanya, duduk depan kedai bu wulan, lebih sering sarah lakukan sembari menunggu bus yang datang membawa penumpang. Sarah mengingat-ngingat dengan perlahan, gambaran ayat suci yang mewarnai ingatannya pagi itu. Mencuri waktu pagi lebih baik, walau hanya sekedar mengulang hafalan pendek tugasnya. Sekitar lima menitan tak terasa telah lewat di lahap sang penuntut ilmu serpihan. Serpihan kecil itu di yakininya, akan membawa keberkahan bagi hidup dan jiwanya.

REYSA [Reyvan & Sarah] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang