Dia Sarah..istriku

9 1 0
                                    


[Selamat membaca]

Menimbang hari-H hanya menunggu tanggal, kebingungan pun tak bisa dielakkan lagi olehnya. Untuk menanyakan semua itu ke lelaki yang akhir-akhir ini sibuk dengan kerja, ia sangat canggung luar biasa. Sedikit melirik ke paras tampan lelaki itu, namun mana mungkin dia peka dengan hanya memandang sekilas tanpa mengatakan sepatah katapun.

Akhirnya sarah memberanikan diri untuk menanyakan ini dengan mamanya rey, bagaimana dan seharusnya ia lakukan pada saat hari itu tiba. Sebelum pertanyaan itu dilontarkannya ke wanita pemilik rumah ini, gadis itu mengepal tangan sembari memberi pertanyaan kepada mayang, teman sebayanya. Setelah mayang mengetahui cerita awal dari pernikahan ini. Sempat ia belalakkan matanya hingga tampak bulat membesar dari kejauhan, mayang terkejut dan menimbang dari berbagai macam rasa yang perlu disamakannya pada keadaan sarah saat ini.

Ibu dua orang anak itu, amanah dan penyayang, sangat terasa pemikiran luas dari asam-manis pengalamannya selama ini. Sarah rasa, ada berbagai macam rahasia yang disimpan wanita di depannya ini. Entah berapa orang yang mengadu dan menceritakan masalahnya atau hanya sekedar menjadi pendengar yang baik. Terkadang ia menggantikan peran ibu dan seorang mbak dalam penghidupannya di kota besar ini. Tak banyak ia menggantungkan pengharapan dengan suami yang menafkahinya. Hanya mata uang yang berbicara sopan padanya. Dan tangan kanan yang saling bertemu di hari-hari tertentu, untuk menyelesaikan masalah hidupnya.

"Gimana may, menurutmu?" mengayunkan kaki yang menggantung di kursi samping dapur.

"Hmm, lebih baik kamu kalem dan ikuti apa yang mas rey bilang nanti sar. Akupun kurang paham kalau pergi ke acara nikah di gedung itu. Apalagi mas rey yang hanya sekedar pura-pura bahagia didepan mantan kekasihnya. Terus kalau kamu tanya sama mama mas rey, mungkin jawaban kami sama, karena baru-baru ini mas rey dan mamanya dekat kembali. Memang susah yaa, punya anak yang beda pemikirannya. Susah ditebak Sar!"

"Emang kayak gitu yaa."

"Tapi, bukannya mas rey mau bicara empat mata sama kamu yaa. Kan katamu kayak gitu kemarin."

"Iya, tapi mas rey belum ada waktu, ngelirik aja nggak, maksud aku membahas acara itu. Tapi gak ada tanda apa-apa may." mengerut dahi gadis itu.

"Di tunggu aja, mungkin besok, tapi sehari lagi kan sebelum hari-H."

"Iya, mungkin besok kali. Ehhh... sudah sore nih. Nanti telat, suami kamu udah nungguin tu."

"Heem. kapan-kapan aku ajak kamu ke rumah lagi yaa. Mau gak?" berjalan menuju pagar.

"Nahhh itu yang ku tunggu-tunggu, tapi kapan yaa? Kalau aku dan kamu pergi, siapa yang jagain mama, aku juga pengen ketemu anak kamu."

"Iya juga, nanti deh kalau ada kesempatan ku coba izin ke mama, lagian gak lama, sebentar doang kok. Aku pergi dulu yaa."

"Pulang lagi bu may?" pak ujang menegur dipintu pos dekat pagar.

"Iya pak, pulang dulu, nanti pak dodi datang, tukaran shif kan?"

"Iya buk, hati-hati." melambaikan tangannya, lalu duduk menyeruput kopi hitam yang tampak ampas di baris bawah gelasnya.

"Aku pulang dulu yaa sar, assalamualaikum."

"Wa'alaikummusalam." sembari menutup pagar.

***

Puncak hari pun tiba, bagai merapi yang memuntahkan isi perutnya. Pria itu menelpon di malam buta dan hanya hari itu ia berusaha menyiapkan waktu untuk libur dari pekerjaannya. Seharian dari pagi, sarah dan reyvan akan berkeliling mencari gaun yang pas sebagai pasangan suami-istri serasi. Yang sering dilihat rey dari orang tuanya dulu, mereka memiliki baju pasangan yang senada. Senyum dan aura bahagia saat memakai bersama, kemudian memperlihatkan kepada dunia kalau mereka sedang merona. Dengan rasa syukur tanpa bertutur, hanya memandang dan berinsting percaya diri. Hal itu yang diimpikannya selama ini. Sekilas batinnya melukis adegan masa depan.

REYSA [Reyvan & Sarah] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang