Menemani

0 1 0
                                    

[Selamat membaca]

Mereka serupa dengan gelapnya taman lama, hanya mendapat peruntungan dengan sinar bulan. Mereka bagai orang bisu dengan pandangan duka yang membabat habis kebahagian. Mereka memasang pantulan wajah yang sama dengan apa yang dilihatnya. Merasuki setiap hati dengan keheningan, lalu berbisik pelan mengharapkan ini tidak akan terjadi kembali. Angin senja membawanya melayang, tak sadarkan diri. Tenggelam dalam sakitnya luka dan bius penghantar tidur yang tak dapat di kendali. Bahkan tak mampu menyebut nama seseorang yang sangat ingin ditemui.

Sukma menggenggam kuat tangan yang terkulai lemas. Dengan bayang-bayang harapan dari serpihan kekhawatiran. Mbok tak kuasa menahan tangis melihat cucunya, dan tak henti berdoa akan kesembuhan bagi wanita yang berbaring di sampingnya. Yusuf terus berulang kali menghubungi rey di luar kamar. Namun tak juga dijawab. Sementara Dimas dan keluarga baru sampai menjelang azan magrib. Dengan penuh takzim mereka menenangkan diri untuk sholat berjamaah di mushola dengan dimas sebagai imam. Sukma yang menjaga sarah karena tidak shalat saat itu.

Saat keadaan lengang, rey datang dengan napas terengah-engah. Sontak sukma terkejut dengan keadaan rey yang memar pelipis dan luka di ujung bibirnya. Sambil berdiri, menjauh ke arah lain. Sukma membiarkan rey mengambil jarak dekat dengan mbaknya. Tanpa ragu pria itu memeluk sarah dengan air matanya yang terus meluap. Dan beberapa kali mencium kening istrinya. Sukma berusaha mencairkan suasana dengan menyampaikan yang baru terjadi saat rey pergi tanpa sepengetahuan mereka.

"Mas, tadi mbak sarah sempat sadar, tapi cuma sebentar. Dokter juga udah kesini. Dan pas itu paman yusuf telpon ke mas rey tapi gak diangkat. Sekarang mereka lagi sholat dan makan malam. Sebentar lagi datang." berkerut kening gadis berpipi cabi itu.

Sambil menghapus air mata dan ingusnya. "Maaf, mas tadi ke kantor polisi." mengambil tisu membersihkan luka dan keringat yang hampir membasahi seluruh mukanya.

"Aku mau ke toilet dulu. Nanti kalau paman yusuf datang, Bilang aku ke belakang. Yaa." rey pergi membenahi segalanya. Dan membiarkan sukma dengan anggukkannya.

Pria itu tak kuasa menahan emosi dan kesedihan yang meluap. Dengan menahan nafas dan menghembuskannya lagi, ia meredam dengan menggelar sajadah dan mengadu bagai anak kecil yang kehilangan arah pulang. Memohon maaf atas segala ketidak pedulian yang selama ini dibiarkannya. Terus-menerus ia tercekat di tenggorokannya, seakan aliran nafas tak mampu mengalir dengan baik dari hidung dan mulutnya. Dan diakhir sujud panjang, ia meminta untuk menjaga kekasihnya dari segala yang membahayakan gadis bermata indah itu.

Tak ingin terlalu lama, ia mengakhiri semua pengaduannya. Lalu beringsut dari mushola ke kamar istrinya. Pertama ia memandang dimas yang sedang berbicara dengan yusuf dan satu pria yang tak dikenalnya. Membungkuk badannya yang ringkih karena belum makan dari pagi. Menuju paman yusuf yang langsung berdiri melihat rey datang.

"Kamu kemana aja. Di telpon gak diangkat." menyuruh rey duduk di sampingnya.

"Maaf paman, maaf paman, maaf....hik..hik..."kembali ia merasakan tercekat nafasnya di tenggorokan dan kini sesak di dadanya menjadi-jadi. Dan berulang ia mengatur nafasnya yang seakan-akan hilang. "Aku baru dari kantor polisi. Dan handphone ku lowbat." menunjukkan handphonenya.

Yusuf menepuk-nepuk bahu rey yang hampir layu dari tulang punggungnya. "Apa kamu sudah tau siapa pelakunya."

"Minum air ini dulu." dimas mengambil sebotol air mineral baru dari plastik belanjaan dan langsung membukanya.

Rey melirik suara yang dikenalnya. Lalu mengambil botol air mineral dan meminumnya.

"Pelan-pelan nak! Kita akan dengerin kamu." ustadz saiful berusaha menenangkan rey yang tak terkendali dengan kesedihannya.

REYSA [Reyvan & Sarah] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang