Apa yang harus di tunggu?

5 1 0
                                    


  [Selamat membaca]

Susunan waktu telah lama memajang, meluas melebihi batas. Puzzle mulai memenuhi bilik-bilik lama mereka. Berganti dari malam ke malam, dari bulan ke bulan. Merasuki relung jiwa terdalam, tak mampu menoleh dan hanya menatap satu tangkai mawar ditaman. Mengulang, lalu menyadarkan kembali agar pikirannya waras. Menormalkan tekanan hati yang selama ini tak mampu ditahan. Membubuhi penawar ke penawar rindu yang lain.

"Yaah... ini hanya perasaan sekilas karena sering bertemu." Mengelus dadanya pelan. "Kamu tau cinta dari mata ke hati? Nah, sekarang kamu lagi ngalamin hal itu. Tenang! Selama mas rey gak pulang, perasaan itu pasti hilang." Kembali Sarah menenangkan perasaan yang bergejolak untuk kesekian kalinya.

Mendarat angin sore di tempat duduknya. Pondok kayu depan rumah luas ini, tempat favorit sarah menghafal dan sesekali menunggu seseorang. Tapi tak semestinya ia begitu. Entah sampai kapan pria itu tetap di Jakarta? Dan katanya dia sedang ke luar kota untuk waktu yang lama. Sarah tahu, Rey vakum dari pekerjaannya sudah lama. Begitu pula Andre yang tak ingin adiknya hanya diam di rumah. Membuat kesibukan adalah cara yang ampuh sebagai obat alternatif penghilang bayangan seseorang. Dan itu juga, untuk meneruskan bisnis saudara kandung itu.

"Jika terus di ulur? Apa ada masalah sar? Kan enggak, kamu tetap kerja dan sekarang mas Rey tetap ngasih nafkah setiap bulan ke kamu. Lalu.... Masalahnya dimana?" Lagi dan lagi ia bawa dirinya dalam perdebatan sengit yang terus mencari titik terang.

"Ohhhh Sarah...." Menopang dagu dengan perasaan resah, rindu dan seakan ada yang hilang dari dirinya.

Dari arah kiri, suara yang baru beberapa Minggu dikenalnya. Kini menjadi keributan-bising setiap sore heningnya. Pria yang satu tugas dengan pak Mul setiap hari.

"Hei...disini lagi? Pasti ngafal. Kan...."pria berseragam itu menebak sembari mendekat. Lalu duduk di pondok kayu sebelahnya.

"Iya."

"Oia, aku sempat bilang ke kamu kalau kita pernah ketemu. Tapi katamu belum ingat. Gimana? Sekarang sudah ingat?" Senyum gembira mewarnai bicaranya.

"Belum kepikiran." Senyum. "Bagaimana mau ingat, sementara pikiranku saja dipenuhi perasaan yang tak terkendali dan terus berulang-ulang aku harus menenangkan diri." Katanya dalam hati. "Coba mas bilang dimana dan kapan kita ketemu." Sarah memberi saran.

"Kemarin sudah ku bilang. Tapi, mungkin kamu lupa. Kemarin kita ketemu pas kamu di terminal. Lalu kamu jawab, banyak yang orang yang aku jumpa. Jadi, aku biarkan saja perbincangan kita terputus disana." Pria itu mengingat kan.

"İya. Sekarang coba lebih detail lagi."

"Ok, pas itu. Aku baca buku tulis yang terbuka. Disana ada puisimu. Lalu kamu datang dan mengambil dari tanganku. Lalu ku borong semua dagangan kamu."

"Ohh... iya aku ingat. Terus ada cewek kamu datang kayak marah gitukan. İya..iya Aku ingat."

"Bukan. İtu adikku. Dwi namanya. Sekarang lagi persiapan study tour di sekolah. Mungkin dua Minggu lagi."

"Sama, adikku juga."

"Oh ya. Siapa nama adikmu sar?"

"Sukma, panggilannya." Sarah mengayun-ayunkan kaki.

"Tunggu.. Sukma Bitari. Benar?"

"İya betul. Biasanya yang aku tau sahabat adikku itu namanya....."

Langsung pria itu jawab. "Dita Maharani. Betul toh?"

"İya."Sarah bingung.

"Wong aku yang sering ngantar Dwi belajar ke rumah si Dita. Terus adikmu-sukma disitu juga. Yaa aku tahu. Tapi, kali ini aku gak tahu kalau kamu mbaknya Sukma. Kalau dah tahu dari dulu aku main ke rumah mu sar." Senyum merona pria itu.

REYSA [Reyvan & Sarah] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang