Pengakuan

5 1 0
                                    

[Selamat membaca]

Rey memberhentikan kursi roda itu di depan tangga ke lantai dua, lalu melihat sarah. Dengan pelan rey menggendong istrinya menuju kamar. Sarah bersuara pelan di telinga rey.

"Mas, bagaimana kalau aku tidur di bawah aja."

"Tidak. Aku mau kamu dekat sama aku. Disini cuma kamarku yang nyaman. Jadi kamu istirahat disini aja." rey tak menggubris rasa malunya didepan wanita itu.

"Oh, kalau gitu di kamarku aja." Sarah kembali menawar.

"Tidak, disini lebih dekat ke kamar mandi. Kamu bisa leluasa." membaringkan sarah pelan.

Rey membuka hordeng dan pintu kaca itu. "Tenang, kamu tidur sama bu jumi. Aku di kamar kosong sebelah." Lalu kembali ke bawah untuk mengambil kursi roda. Bu jumi yang melihat mereka, juga tak ingin banyak tanya dan hanya menyiapkan makan siang. Pria tinggi itu kembali ke dapur dan mengambil makan siang untuk sarah. Dirasa kini semua terbalik. Dulu sarah yang mengambil makan siang, membantu membersihkan kamar, membaca buku yang diinginkannya. Kecuali urusan mandi dan ganti baju setiap pagi dan sore. Rey membiarkan itu menjadi urusan bu jumi.

Setelah beberapa hari berlalu di rumah itu. Pria tinggi itu sibuk dengan kegiatan barunya; mengajak sarah duduk di taman rumah sambil cerita banyak hal, dan mengganti setiap jadwal rapat di pekerjaannya. Tak pernah ia merasa direpotkan dengan pergantian itu. Hingga Rey kembali teringat dengan omongan Dinda yang ingin bertemu langsung di rumahnya. Sekalian menjenguk Sarah yang masih bertahan dengan kemurungan dan menahan rasa perih yang kadang-kadang timbul di sudut kaki dan memar yang belum kering di tubuhnya.

"Sarah, tunggu aku disini ya." menghampiri ardi agar menjaga sarah dari posnya. "Diawasi aja. Aku pergi ke dalam ambil minum dulu." Berlalu pergi. Sembari melirik gadis di kursi roda.

"Iya mas." Ardi kembali ke posnya, dan beberapa saat ia mendekati sarah yang hanya diam melihat taman di depannya, sambil memutar-mutar pena di jarinya dan memangku buku yang terbuka lebar. "Mbak sarah. Aku doain kamu cepat sembuh ya."

Sarah menoleh dan memberi senyuman sebisa mungkin.

"Hmm... kenapa mas rey yang ngerawat kamu. Kan kalau kecelakaanpun bisa di bayar biaya rumah sakit aja. Kenapa sampai tidur dikamar mas rey? Bukannya kamu cuma pembantu. Di kamar biasanya aja kan bisa. Tapi, aku bukan maksud loh yaa... cuma heran aja. Perhatiannya tu kayak berlebihan, kamu sadar gak sar?" ardi meluapkan semua keresahan, yang tak kunjung diperolehnya dari pak mul atau pun bu jumi tentang hubungan yang menurutnya gak wajar ini.

Gadis itu kembali melirik pria yang berdiri di sampingnya. Mencoba menjawab pertanyaan yang bertubi itu dengan singkat. Namun rey datang bersamaan dengan pak mul yang buru-buru menuju pagar, setelah mendengarkan bel dari luar. Dan perlahan Ardi menjauh sekaligus menyapa majikannya. Tanpa menunggu untuk mendapat jawaban darinya.

Suara gemuruh mobil melintas masuk dari pagar rumah itu. Setelah rey memberi minum gadis itu. Pria tinggi itu menjauh menyambut seseorang yang datang. Sarah memutar badannya yang kaku ke arah parkiran mobil. Tampak seorang perempuan yang dikenalnya. Ardi berjalan mendekati pintu pos, melihat kehadiran perempuan yang berpakaian modis dengan kacamata hitam menghias wajahnya. Sampai pria berseragam putih biru itu membiarkan rey menyambut kedatangan tamunya. Dan menyuruh Pak mul menjaga sarah di taman.

"Siapa pak mul?" ardi menyipitkan matanya. Penasaran.

"Tamu mas rey."

"Jangan-jangan tunangannya. Baguslah! cepat nikah. Kan enak rumah ini jadi berwarna. Ya gak pak mul." kembali ardi duduk dan sekali memperhatikan sarah di ujung taman. Tanpa diperintah, pria berseragam itu mendekat dan mendorong kursi roda sarah ke tempat yang lebih teduh. Kemudian membiarkan gadis itu menikmati kesendiriannya.

REYSA [Reyvan & Sarah] [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang