«Empat puluh tiga»

12.3K 787 7
                                    

Happy Reading♡

.


.


Alex meraba-raba meja samping tempat tidurnya. Begitu benda yang dicarinya tersentuh, Alex langsung membuka ponselnya itu sekedar mengecek pukul berapa. Sebab dia tidur lebih awal dari biasanya tadi.

Menyesuaikan cahaya yang masuk matanya, Alex mengerjap pelan. Ia kemudian bangkit hendak mengambil minum.

Terbangun tiba-tiba di larut malam seperti sudah biasa baginya, maka dari itu ia mengambil minum untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

Namun, sesuatu sukses menarik perhatiannya membuat Alex menahan langkah dan niatnya untuk mengambil minum. Alex melirik kamar Adel yang pintunya terbuka dan lampu masih menyala.

Itu artinya, si pemilik kamar belum tidur.

Namun, bukan itu yang menarik perhatiannya. Melainkan suara Dita yang terdengar dari tempatnya berdiri.

Dita terdengar berbincang biasa dengan Adel. Awalnya Alex tak peduli, tapi sayup-sayup mendengar ucapan Dita membuatnya kali ini merapatkan tubuh ke tembok mendengarkan pembicaraan mereka.

"Ada alasan kenapa kamu nerima perjodohan ini?"

Alex tersentak, tak disangka pertanyaan yang tadi ia ucapkan pada Dita kini ditanyakan langsung pada Adel.

Alex tak bisa menangkap wajah Adel dari tempatnya berdiri, padahal Alex sangat ingin melihat ekspresi wajahnya.

"Ke–kenapa Mbak Dita tanya begitu? Sudah pasti ada, karena Mama yang minta, kan? Apapun Adel lakuin kalau mama yang minta, Adel usahain itu."

Dita terlihat menggeleng lemah. "Bukan. Yang lain, adakah alasannya?"

"Mbak Dita aneh, tiba-tiba tanya kayak gitu." Suara Adel terdengar menjawab.

"Bilang sama Mbak, Adel. Mbak Dita pengen denger."

Beberapa detik setelahnya, Alex tak mendengar apapun selain keheningan. Alex menunggu jawaban apa yang akan Adel katakan, semoga saja tak membuatnya kecewa.

"Karena ...." Adel menggantungkan ucapannya, terlihat ragu.

"Karena?" Dita menuntut pertanyaan.

"Karena kondisi keuangan keluarga kita yang nggak memungkinkan." Adel menarik napas dalam kembali melanjutkan.

"Mbak Dita banting tulang sampai impian Mbak Dita jadi taruhan, aku juga yang harus gapai cita-cita atau seenggaknya sampai bisa lulus SMA, atau mama yang udah mulai sakit-sakitan."

Alex seharusnya tak terkejut, seharusnya ia biasa saja karena tahu jika alasan itu tak akan terdengar enak di telinga. Tangannya terkepal di sisi tubuh, menahan diri untuk tidak emosi seperti biasa.

Dita mengerutkan kening terlihat tak suka dengan pengakuan Adel. "Apa maksud kamu, Adel?"

"Adel pikir dengan ini Tante Sarah sama Om Dion bisa bantu keluarga kita. Seperti sebelumnya Papa sama Mama bantu keluarganya Alex."

Belum sempat Dita menjawab, Adel kembali melanjutkan. "Mbak Dita kerja buat Adel, buat keluarga. Atau mama yang tetap maksa kerja meski sering sakit, Adel nggak bisa lihat semua itu, Mbak."

Dita menatap sendu mata adiknya yang sudah berair itu. Entah ia harus marah atau apa kini, ia tak tahu.

"Tapi kamu salah, Adel."

"Adel tahu, Adel salah. Maaf." Setelahnya Adel merunduk dalam. Saat itulah air matanya mengalir dalam diam.

Dita mengalihkan pandangan. Jujur, ia marah, tapi ia tak cukup bisa memarahi adiknya. "Mama sama Papa pasti sedih kalau tahu kamu manfaatin orang kayak gini."

ALEXON [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang