«Enam puluh dua»

22K 863 3
                                    

Happy Reading♡

.

.

Belum ada semenit dosen pembimbing keluar saat jamnya selesai, Adel langsung membereskan buku-bukunya, memasukkan ke dalam tas juga ada beberapa yang ia bawa.

“Mau ke mana, Del? Buru-buru amat.”

Adel meringis lebar. “Hehe, ada janji. Duluan, ya!”

“Lah, bukannya kita juga ada janji? Katanya mau cari buku yang kemarin itu? Jadi, kan?”

Perkataan temannya itu sukses membuat Adel menepuk keningnya, ia melupakan janjinya dengan Nia.

“Aduh, Ni. Nggak bisa lain kali?”

Nia mengedikkan bahunya. “Ya ... itu terserah Lo, sih. Kan yang butuh Lo, gue cuma nemenin.”

Adel memejamkan mata merutuki diri dalam hati, ia benar-benar melupakan itu.

“Nanti, deh. Lima belas menit doang, gue ada janji.”

Setelahnya Nia membiarkan Adel pergi entah ke mana. Cewek itu melangkah setengah berlari ke arah luar kampus, menjumpai seseorang yang kini bersandar di mobil warna hitam itu.

“Ngapain ke sini?”

Alex menegakkan punggung begitu Adel di hadapannya. “Hehe, kangen.”

Adel merotasikan bola mata. “Kangen apanya, kemarin kita baru ketemu!”

Lima menit sebelum kelas berakhir tadi, Adel mendapat chat dari Alex. Mengatakan bahwa cowok itu berada di kampusnya dan akan menunggu Adel menemuinya meski Adel bilang ia masih lama.

“Ya gimana, gue pengen ketemu lo,” jawab Alex. Cowok itu lalu mengedarkan pandangan. “Udah selesai, kan? Waktunya pulang, ayo gue anter sekalian jalan-jalan dulu.”

“Nggak, deh.”

Jawaban dari Adel sontak membuat Alex menatap cewek itu. “Apanya yang nggak?”

“Gue masih ada urusan. Lo pulang dulu aja.”

Alex memberikan tatapan tidak percaya. “Gue bela-belain datang ke sini, lho.”

Adel menggaruk pelipisnya, bingung harus menolak bagaimana lagi. Ia memang masih ada urusan, janjinya dengan Nia.

“Tapi gue emang masih ada urusan.”

Alex mundur selangkah, menatap Adel dengan tatapan dalam. “Sama Langit?”

“Kok Langit?” Adel mengerutkan keningnya.

“Ya nggak ada kemungkinan juga Lo bisa sama dia,” gumam cowok itu lalu kembali mengernyit. “Cincinnya kenapa nggak dipakai?”

“Dipakai, kok.” Adel mengeluarkan kalung di lehernya, hingga sebuah cincin terlihat di sana.

“Kenapa harus disembunyiin?”

“Yang penting dipakai, kan?”

Alex mengalihkan pandangan, alisnya mengerut seakan tak suka dengan balasan Adel atas ucapannya.

Meski begitu, Adel tak peka. Ia mengangkat pergelangan tangannya, melihat sebuah jam tangan di sana lalu kembali menatap Alex. “Udah dulu, ya. Lo langsung pulang aja. Gue nggak papa, kok. Beneran!”

Alex berdecak samar. “Lama nggak? Gue tunggu aja.”

“Nggak usah, pulang aja dulu.”

“Males, gue udah terlanjur di sini.”

ALEXON [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang