13. Bertemu Kulkas 4 pintu.

164 35 144
                                    

"Merindukan seseorang yang tidak perduli akan kehadiranmu memang sangat menyakitkan," ucap Rena, ia berbicara kepada dirinya sendiri.

Tak mudah untuknya jatuh hati kepada seorang cowok, sebab rasa trauma lantaran  sering menyaksikan ayahnya memukuli bunda membuatnya berfikir bahwa semua cowok itu sama, hanya pandai menyakiti perasaan perempuan.

"Mengapa harus sesayang ini gue sama Rean? Kenapa  harus jatuh cinta kepada seseorang yang telah memiliki kekasih? Hidup berantakan makin amburadul bangsat!"

Rena memilki kebiasaan aneh yaitu berbicara pada sendiri, bukan karena dia gila ataupun tidak waras, hanya saja pikirkan jauh lebih tenang saat melakukan hal itu. Meski tidak ada yang mendengar curahan isi hatinya. Namun tak apa, lebih baik begitu. Bukan pula tak ingin berbagi duka, Rena rasa tidak ada gunanya bercerita jika keluh kesahnya dijadikan konten gosip oleh orang lain.

"Rin, kenapa berbicara sendiri? kalau ada masalah cerita sama saya, jangan dipendam sendirian," ujar Rean, dia asal masuk kamar Rena tanpa mengetuk pintu dahulu, semoga saja cowok itu tidak mendengar perkataannya.

"Gue tau lo cuma kepo bukan perduli, sana ih pergi!" Rena melempar bantal penuh iler ke wajah Rean.

Rean mendekati Rena, bibir cowok itu menyentuh pipi Rena. Bagaimana ia bisa melupakannya kalau Rean terus-terusan bersikap manis begini?

"Kampret monyet. Kalau mau uwu uwu sama pacar lo aja sana. Kenapa sih hobi banget cium pipi gue? Kalau sampai orang lain melihat bahaya! Gue yang kena imbasnya, jujur gue muak di tuduh pelakor oleh semua orang, capek!"

Coba saja Rean bukan sahabatnya, dan bukan pula cowok yang ia sayangi setulus hati, Rena sudah menghabisi cowok itu. Rean bersikap manis seolah sangat mencintainya dilain sisi ia juga yang menyadarkan Rena bahwa sampai kapanpun, bagaimanapun Rean tak akan pernah bisa Rena miliki.

"Habisnya kamu sangat mengemaskan." Seperti biasanya Rean malah terus mendekati Rena, kali ini ia mencubit pipi tembam gadis itu.

"Ngeselin banget sih jadi orang? Rasanya gue pengen nampol lo! Astaga golok mana golok?"

"Bar-bar banget sih jadi cewek? Gak bisa kalem sedikit gitu, contoh dong Alka."

Perkataan Rean tadi membuat Rena naik darah, ia benci di banding bandingkan dengan orang lain. Saking emosinya Rena mengigit tangan Rean, cowok itu merintih kesakitan.

"Iya Alka mah cantik, dia kalem baik hati rajin menabung dan tidak sombong. Tidak seperti gue brengsek hobi ikut balapan liar cuma bisa bikin lo khawatir. Gue mah apa atuh."

"Kamu marah? Yasudah saya minta maaf."

"Bodoamat!" Rena nyaman menjadi diri sendiri terserah mereka mau suka atau tidak, selagi dirinya tidak merugikan orang lain apa masalahnya?

"Ngambek aja terus Rin, dengan begitu saya bisa lihat wajah kamu yang cantik."

"Jijik tau gak sih? Gombalan elo gak bermutu."

"Rindu, kamu jangan bersikap begitu doang! Dengan cara apa supaya saya mendapatkan maaf darimu hmm?"

"Berhenti membandingkan bandingkan gue dengan pacar elo itu, Alka dan gue berbeda lo gak usah berharap gue berubah."

"Rin, hari ini kamu mau ngapain?" Rena jadi semakin kesal, Rean mah gitu gak jelas orangnya, malah mengalihkan pembicaraan.

"Hari ini pengen potong rambut, habis itu lanjut rebahan baca wattpad sambil ngemil," kata Rena.

Perasaan baru beberapa minggu lalu ia memotong rambutnya. Namun sudah panjang lagi saja, Rena menyukai gaya rambut pendek sebab tak perlu repot merawatnya.

𝐶𝑎𝑛'𝑡 𝐵𝑒 𝐴𝑙𝑜𝑛𝑒 ||𝑺𝑬𝑳𝑬𝑺𝑨𝑰||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang