Bulan purnama bersinar terang di langit malam ini. Bintang-bintang menghiasi langit malam bak manik-manik berkilauan. Desau angin berembus menerpa rimbunnya pepohonan. Angin malam dingin merasuk hingga ke tulang, membuat setiap sendi seakan membeku. Bagi sebagian orang, malam seperti ini memang sangat indah bila dinikmati bersama keluarga atau orang terkasih. Sebagian orang beranggapan, bahwa purnama adalah malam sakral di mana bulan menampakkan wujud sempurnanya. Seluruh bumi akan dimandikan dengan energi murni.
Pada malam semacam ini, dingin dan sepi, tiga orang wanita berjalan di dalam kegelapan hutan. Mereka berjalan semakin ke dalam, jauh dari pandangan orang-orang hingga mereka menemukan tanah yang sedikit lapang, tanah yang terpapar bulan purnama. Mereka berhenti di sana, lalu meletakkan barang bawaan di dekat pohon.
"Aku sangat berharap putri kalian bisa ikut dalam ritual ini. Segera!" ujar wanita yang paling tua. Rambutnya yang putih tampak keperakan terpapar sinar bulan.
"Tapi, Ibu, aku ingin Pitaloka hidup dengan normal seperti anak-anak seumurannya," jawab salah satu dari dua wanita yang berusia empat puluhan.
"Aku pun menginginkan hal yang sama untuk Nilam," sahut wanita yang satunya.
"Dengar, Arima dan Erawati! Aku merasakan kekuatan mereka semakin kuat setiap kali usia mereka bertambah. Cepat atau lambat mereka akan tahu siapa mereka sebenarnya. Jangan sampai kekuatan mereka itu melukai diri mereka sendiri atau orang lain. Sudah menjadi kewajiban kita untuk mengajari mereka tradisi ini. Mengarahkan mereka untuk mengendalikan kekuatan yang mereka miliki." Wanita tua dengan rambut putih berkilauan ini adalah Chandrika, ibu dari Arima dan Erawati. "Beberapa bulan lagi, mereka akan berusia tujuh belas tahun, kalian tidak akan bisa menutupinya lagi. Kekuatan yang sudah kalian tidurkan sejak mereka bayi akan bangkit. Dan, tak ada yang bisa mencegah itu."
"Baiklah, kita bicarakan itu lagi nanti, sepulang dari sini," Arima—anak yang tertua—memutuskan untuk menghentikan perdebatan itu. "Kita mulai saja ritualnya."
Chandrika menghela napas panjang. "Kau selalu saja mengalihkan pembicaraan," gumam wanita tua itu. Arima hanya tersenyum, begitu pula Erawati.
"Bukannya kami tidak suka membicarakan hal ini, hanya saja waktunya kurang tepat," tutur Erawati, dia merangkul bahu Chandrika.
Chandrika, Arima, dan Erawati saat ini berdiri di dalam lingkaran yang terbuat dari garam dan bunga kering. Pada tangan mereka, ada sebuah badiang. Malam ini mereka menggunakan campuran daun serai, pinus, dan daun kenikir kering. Semuanya dijadikan satu, diikat dengan tali yang terbuat dari daun siwalan yang sudah dililit.
"Agni," ucap Chandrika dengan suara lembut.
"Dahana," sambung Arima, dia melirik Erawati untuk melanjutkan mantranya.
"Apyu," lanjut Erawati.
Sontak, muncul lingkaran api di sekeliling mereka. Apinya tidak berawarna merah, melainkan kebiruan. Secara bergantian, diawali dari Chandrika, mereka mengayunkan badiang yang mereka pegang searah jarum jam. Lalu, mereka meniup badiang mereka masing-masing. Dari mulut mereka bertebaran bintik-bintik merah semacam bara api yang membuat ujung badiang terbakar.
Kemudian mereka saling berbaris dan berjalan membentuk lingkaran sambil mengucapkan, "Bhumi wibisun soma shaktisun." Mereka berputar sebanyak tujuh kali putaran. Setelah badiang mereka mati dengan sendirinya, mereka bergandengan tangan kemudian mengucapkan mantra bersama-sama. "Ong wilahing Pukulun Hyang Dewi Ratri wilahing Ong... Hyang Dewi Ratri dyah kawartisundhari ri mandhala saha wyati."
***
"Anak-anak sudah tidur," Arima turun dari lantai atas di mana kamar putri dan keponakannya berada.
"Duduklah," Chandrika menepuk sofa meminta Arima untuk duduk bersamanya.
Tak lama kemudian, Erawati keluar dari dapur dengan tiga gelas teh yang dibawa di atas nampan. "Mari kita lanjutkan bahasan yang tadi," ujarnya sambil membagikan gelas pada ibu dan kakaknya.
"Aku harus mengatakan sesuatu pada kalian, sesuatu yang sudah mengusikku beberapa bulan terakhir." Wajah Chandrika tampak menegang, malam ini dia akan mengatakan sesuatu yang telah dia pendam. "Setiap malam purnama aku selalu mendapatkan mimpi yang sama berulang kali. Mimpi yang sangat mengerikan yang bahkan tidak pernah aku bayangkan dalam keadaan sadar."
"Jangan membuat kami penasaran lagi, cepat ceritakan pada kami," desak Erawati.
"Semuanya tampak gelap dan dingin. Gagak bernyayi bersama anjing yang menggonggong. Kabut memenuhi seluruh desa. Aku mendengar kalian menjerit meminta tolong, jadi aku berlari memanggil kalian. Tapi, saat aku menemukan kalian, kalian sudah terbakar di atas tiang pancang. Aku melihat mahavadika berada di sana menangisi kematian kalian. Aku ingin menghampiri kalian juga, tapi entah mengapa aku membeku di tempat.
Tak ada yang bisa kulakukan untuk kalian. Kemudian aku dikejutkan oleh kedatangan dua orang berjubah yang mendekati mahavadika dari depan. Mahavadika tampak waspada dengan kedatangan dua orang itu. Dua orang itu membuka tudung kepala mereka, dan aku terkejut lagi. Ternyata mereka adalah kalian ...,"
"Bagaimana bisa?" sela Erawati.
"Iya, bagaimana itu mungkin? Bukankah dengan mata kepala ibu sendiri ibu melihat kami dibakar?" sama seperti Erawati, Arima pun merasa heran. "Apa yang mereka lakukan pada mahavadika?"
"Mereka bicara, tapi sayangnya aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan," jawab Chandrika.
"Bagaimana dengan Pitaloka dan Nilam? Apa mereka baik-baik saja di dalam mimpi Ibu?" tiba-tiba Erawati teringat putri dan keponakannya.
"Itu juga yang aku bingung, aku sama sekali tidak melihat mereka di sana." Chandrika menghela napas lalu menyecap tehnya yang mulai dingin. "Tapi ada orang lain di sana," lanjut wanita yang sudah berusia lebih dari lima ratus tahun itu.
"Orang lain? Siapa?" Erawati buru-buru bertanya karena saking penasarannya.
Chandrika pun menjawab, "Terlalu gelap, aku tak melihat wajahnya. Dia tampak begitu kuat, karena dia berhasil menumbangkan mahavadika dan mengambil semua kekuatannya." Bulu kuduk Erawati dan Arima mendadak merinding.
"Apa ada vadika yang lebih kuat dari nenek?" telisik Arima.
"Ibuku tidak pernahbercerita tentang musuh terkuatnya, karena memang dialah vadika terkuat padaabad itu. Tak ada yang lainnya," jawab Chandrika.
![](https://img.wattpad.com/cover/289125558-288-k867518.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasy"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."