Sidang Keadilan

57 3 0
                                    


Kedatangan Bono di pengadilan langsung disambut oleh Arima dan Daksin, wajah lelaki itu tampak sangat ketakutan. Bagaimana tidak, tiba-tiba dia mendapatkan panggilan dari pengadilan untuk memberikan kesaksian atas kasus pembunuhan terhadap Ningrum yang mana dia sama sekali tidak tahu menahu soal kejadian itu.

"Jadi karena ini Mbak Rima waktu itu datang ke rumah saya? Kenapa tidak terus terang saja, Mbak?" Bono meremas kepalanya, dia pusing. "Apa yang harus saya katakan pada pada hakim?"

"Maaf, karena waktu itu kami tidak memberitahumu," Arima menepuk pundak Bono. "Anggap saja kau memang tidak melihat kejadian itu, tapi kau dipaksa oleh seseorang untuk membuat kesaksian palsu."

Bono terkesiap, "Apa saya akan dipenjara kalau mengatakan itu?" dia bertambah takut. "Saya tidak mau dipenjara, Mbak."

"Tidak, Bono, kamu tidak akan dipenjara. Karena kamu ada di bawah tekanan dan ancaman," jawab Daksin.

"Bukankah itu dua kali kesaksian palsu?" pertanyaan Bono ini langsung membuat Arima dan Daksin mengatupkan bibir. "Tidak bolehkah saya mengatakan kalau saya tidak tahu menahu soal itu?"

"Dia benar, Bibi. Kita tidak bisa melukai nurani seseorang," dengan lesu Arima mengatakan hal itu.

"Dengar, Bono. Jika kamu mengatakan kamu tidak melihat kejadian itu, maka hakim akan curiga. Karena apa? Karena saat itu kamu sendiri yang melaporkan kakakku kepada polisi. Dan kamu juga bersaksi bahwa kamu menyaksikan apa yang dilakukan kakakku pada Ningrum." Bono jadi tak mengerti, keningnya berkerut.

"Apa maksudmu? Kau tahu aku tidak ada di sana. Toh, kejadian itu terjadi setelah aku pindah rumah. Mustahil aku ada di sana dan melihat kejadiannya langsung."

"Aku percaya padamu, kami percaya padamu. Tapi masalahnya, apa hakim akan percaya?" Bono langsung menunduk dan meremas kepalanya. "Jika kamu mengatakan seperti yang aku perintahkan, aku akan menjamin kebebasanmu."

"Bagaimana dengan pelaku yang sebenarnya?" tanya Bono.

"Sebenarnya ada dua pelaku dalam kasus ini. Pertama adalah orang yang membunuh Ningrum dan yang kedua adalah orang yang menyaru menjadi dirimu lalu memberikan kesaksian." Jawaban Arima sontak membuat Bono kebingungan. Sudah pasti dia tak mengerti apa yang Arima maksud.

"Menyaru menjadi diriku? Yang benar saja!"

"Kau percaya ilmu gaib, sihir, dan semacamnya?" tanya Daksin.

Meski tidak tahu kenapa Daksin menanyakan hal itu, dengan sedikit ragu-ragu Bono menjawab, "Antara percaya dan tidak percaya, sih."

"Akan kuanggap kepercayaanmu jauh lebih besar. Dengar, di luar sana ada seseorang dengan ilmu sihir, dia orang yang jahat dan sangat membenci kakakku pastinya. Dia memanfaatkan pembunuhan Ningrum itu untuk menyingkirkan kakakku dan setelah itu menghabisi kami satu per satu." Bono mendengarkan, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi Daksin dapat merasakan gelobang ketakutan, bingung, penasaran pada auranya. "Kami tidak bisa menjelaskan detailnya padamu, keadaannya tidak memungkinkan. Dan yang pasti, pelaku pertama sudah tertangkap. Dia akan mengakui kesalahannya dan menyerahkan diri pada polisi."

Sebelum bicara, Bono menelan ludahnya, "Apa dia akan hadir di persidangan? Bagaimana dengan orang yang menyaru sebagai diriku? Apa kalian juga akan menangkapnya?" sekalinya bicara, Bono mengajukan banyak pertanyaan.

"Iya, aku suah memastikan kalau dia akan datang dan menyerahkan diri. Untuk pelaku kedua, akan segera kami urus setelah ini," jawab Arima. "Saat kau bersaksi, katakan kalau kau diancam oleh orang ini," ujar Arima sambil menunjukkan foto pelaku pembunuhan terhadap Ningrum. "Apa kau mengerti?" Arima memastikan, kemudian Bono mengangguk tanda bahwa dia mengerti.

"Sebenarnya kalian ini siapa?" mendengar pertanyaan Bono, bukannya menjawab pertanyaan itu, Arima dan Daksin saling pandang kemudian tersenyum penuh. Dan itu membuat Bono semakin penasaran. "Aku merasa kalau kalian bukan manusia biasa. Kalian bicara seolah kalian tahu semua hal tentang ilmu gaib, supranatural, mistik, dan magis. Kadang terdengar kalau kalian sudah hidup ratusan tahun lamanya. Tidak hanya kalian berdua, tapi juga Bu Chandrika dan Mbak Erawati."

"Pertanyaan tentang siapa kami tidak perlu kujawab, kamu cukup percaya dengan apa yang kamu percayai," Daksin menepuk pundak Bono tiga kali.

***

Sidang berjalan lancar. Hakim menyatakan Chandrika tidak bersalah. Bono melakukan persis seperti yang Daksin dan Arima perintahkan, dia mengakui kalau dia diancam oleh Wanardi—yang saat itu juga hadir di persidangan—untuk bersaksi bahwa dia melihat kejadian itu, jika tidak maka semua keluarganya akan dihabisi. Wanardi langsung berdiri saat Bono menunjukknya, dia mengakui bahwa dia yang membunuh Ningrum dan mengancam Bono. Dia bersedia untuk menyerahkan diri pada polisi untuk dihukum. Hakim saat itu juga menetapkan Wanardi sebagai tersangka dan dijatuhi hukuman seumur hidup. Setelah sidang selesai, Wanardi segera dibawa oleh polisi. Dia sama sekali tidak melakukan perlawanan, bahkan air mukanya sama sekali tidak tampak. Lebih dari itu semua, Keluarga Mandraguna kini lengkap kembali.

***

"Senang sekali rasanya bisa kembali bersama keluarga." Mata Chandrika berkaca-kaca. "Terima kasih, Gajanendra," ujar Chandrika sambil menepuk pipi pengacara yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri. "Terima kasih untukmu juga, Daksin dan Arima. Tanpa kalian mungkin sulit bagiku untuk bebas."

"Rasanya keluarga ini tidak lengkap tanpa nenek," tutur Pitaloka sambil menyantap makan malamnya. "Jangan tinggalkan kami lagi, ya, Nek?"

"Iya, nenek jangan tinggalkan kami lagi, ya?" Nilam ikut menimpali.

"Tidak akan," jawab wanita yang sangat menyayangi keluarganya itu. "Sudah cukup bicaranya, sekarang kita fokus makan."

Suasana makan malam Keluarga Mandraguna dan Gajanendra terasa begitu hangat. Kehadiran Chandrika di antara anggota keluarganya membuat rumah Keluarga Mandraguna terasa lengkap. Di satu sisi, kehadiran Gajanendra pada makan malam ini membuat suasana makan malam kali ini terasa spesial. Makan malam bersama keluarga yang utuh ditambah dengan kehadiran orang yang Arima cintai, yaitu Gajanendra. Nikmat mana lagi yang masih dapat Arima dustakan. Dalam hati dia berharap suasana semacam ini—kehangatan keluarga yang sesungguhnya—akan terus berlanjut.

Setelah meninggalnyaErlangga, suami Arima, ini adalah kali pertama dia mengajak lelaki makan malambersama keluarganya. Kalau bukan karena Chandrika yang memaksa Gajanendra untukmakan malam bersama keluarganya—sebagai ucapan terima kasih Chandrika atassemua yang Gajanendra lakukan dari awal hingga dia bebas dari penjara—makaArima tidak akan pernah berani mengajak Gajanendra untuk makan malam bersamakeluarganya. Daksin melihat aura yang terpancar dari tubuh Arima begituberbinar, sudah jelas kalau keponakannya itu sedang berbunga-bunga. Tapi disisi lain, dia melihat warna lain pada Gajanendra. Lebih tepatnya, aura lelakiitu sama sekali tidak berwarna, hanya tampak seperti hawa panas yang terlihatdi atas aspal yang terpapar sinar matahari tengah hari bolong. Sementara, Daksinakan diam. Tetapi, akan tetap mencari tahu kebenaran tentang GajanendraAswamuni.

MANDRAGUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang