Rajah Kutukan

61 3 0
                                    

Dari pukul tujuh sampai jam istirahat, sekolah berjalan normal-normal saja. Tapi saat bel tanda jam istirahat berbunyi, tersiar kabar bahwa ada seorang anak yang naik ke atap gedung sekolah untuk bunuh diri. Kabar itu pun terdengar hingga ke telinga kelas XI-3 di mana Pitaloka berada dan kelas XI-5 tempat Nilam berada. Semua penghuni sekolah berkerumunan di halaman sekolah, semuanya mendongak ke atas. Di atas gedung sekolah, seorang gadis sudah berdiri di tepian atap gedung dan bersiap untuk terjun. Teman-temannya memanggil nama gadis itu. Mirna, nama siswi itu. Dia terkenal sebagai siswi yang pandai, berprestasi, ramah, dan juga terbuka. Tapi sekarang, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja ingin mengakhiri hidupnya. Beberapa guru berusaha menghentikannya dengan ikut menyusul ke atap.

"Ayo, Mirna, kita turun. Jangan seperti ini, Nak," bujuk Astuti, guru BK SMA Padmavati. "Ayo kita bicara dari hati ke hati."

"Bicara?" Mirna terkekeh. "Percuma, Bu Guru tidak akan mengerti apa yang aku rasakan, apa yang kupikirkan. Aku terlalu gila untuk menjelaskan, sedangkan Ibu guru terlalu waras untuk mendengarkanku."

"Dengarkan aku kalau begitu, pikirkan kedua orang tuamu, adikmu, teman-temanmu," Astuti masih berusaha membujuk Mirna untuk tidak bunuh diri.

"Aku bukan bagian dari mereka, mereka juga bukan bagian dariku. Aku bukan bagian dari siapa pun," semua kata-kata yang keluar dari mulut Mirna membuat Astuti pusing.

"Kamu salah. Kamu penting bagi keluarga kamu, bagi teman-temanmu juga. Jangan berpikir bahwa dengan bunuh diri semua masalah akan selesai. Mari kita bicarakan masalahmu dan cari jalan keluarnya bersama-sama," kali ini yang membujuk Mirna adalah walikelas sekaligus guru Sejarah, Pramono namanya.

"Kalian berdua diamlah! Mirna akan segera menjadi permaisuri tuanku. Kalian jangan menghalang-halangi." Astuti dan Pramono terbelalak saat mendengar suara yang keluar dari mulut Mirna bukanlah suara Mirna sendiri, melainkan suara seorang laki-laki yang terdengar begitu berat.

Astuti dan Pramono tak dapat bergerak, mereka seolah terpaku dengan kilatan mata Mirna. Saat Mirna melompat dari atap gedung, barulah mereka tersadar kalau mereka baru saja membiarkan seorang siswi melakukan bunuh diri. Di bawah sana, tubuh Mirna sudah tergeletak di hadapan semua penghuni sekolah yang sontak berhamburan. Darah merah mengalir ke mana-mana, Mirna tidak langsung mati. Tubuhnya masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Samar-samar mulutnya bergumam memanggil-manggil nama Pitaloka dan Nilam. Semua orang menjadi terheran-heran saat mendengar Mirna memanggil nama dua gadis itu di penghujung hidupnya. Takut dan penasaran bercampur dalam iri Nilam dan Pitaloka, bersama-sama mereka mendekati Mirna yang sekarat. Dengan suara tersendat-sendat Mirna meminta Nilam dan Pitaloka untuk mendekatkan telinga mereka. Dua gadis itu melakukannya dengan perasaan was-was bercampur jijik.

"Aku bukan yang terakhir. Akan ada lagi. Ada monster di dalam. Bunuh monster. Gudang. Ruang bawah tanah. Kepala Sekolah. Aku melihat. Kamu akan melihat. Mereka lapar. Kuil Agung tidak aman. Kehancuran. Kalian akan mati." Setelah menyelesaikan semua kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Nilam dan Pitaloka, akhirnya napas terakhir Mirna melayang. Gadis malang itu akhirnya meninggal.

Chandrika sangat senang saat keluarganya datang untuk menjenguknya. Selain membawa kabar gembira bahwa teman Arima bersedia membantu kebebasannya, sayangnya mereka juga membawa kabar buruk bahwa mereka sudah mendapatkan ancaman kematian dari kelompok ashurka. Wajah Chandrika langsung mengeras, dia sama sekali tidak menyangka keadaan jadi semakin buruk setelah kepergiannya. Daksin juga menceritakan mimpinya semalam. Arima dan Erawati protes karena tadi pagi Daksin tidak cerita pada mereka. Daksin pun berkilah bahwa dia berencana menceritakan saat mengunjungi kakaknya di penjara. Tidak hanya Daksin yang membawa kabar buruk, Nilam dan Pitaloka juga punya kabar yang tak kalah buruk. Mereka menceritakan kejadian tadi di sekolah.

"Apa yang harus kami lakukan, Nek?" tanya Nilam.

"Untuk berjaga-jaga, pergilah ke mandir dan meditasi di sana untuk mengumpulkan energi sebanyak-banyaknya. Hanya itu yang dapat kusarankan saat ini. Kalau sampai terjadi sesuatu pada kalian, aku tidak akan peenah memaafkan diriku sendiri." Jelas sekali bahwa Chandrika menyesalkan keadaan yang terjadi saat ini. Saat dia harus mendekam di penjara, keluarganya justru tengah bersiap menghadapi kematian.

"Ibu jangan berkata seperti itu, kami akan menjaga diri dengan baik. Lagipula, bibi Daksin akan melindungi kami semua. Aku yakin bibi juga sama kuatnya dengan Ibu." Erawati menenangkan ibunya yang tampaknya tengah menyalahkan diri sendiri.

"Kau tenang saja, kali ini aku tidak akan mengecewakanmu," Daksin meyakinkan kakaknya bahwa dia akan melindungi keluarganya.

"Maaf, waktu berkunjung sudah habis," seorang sipir memberitahukan.

"Kami akan menjenguk nenek lagi," ujar Nilam.

"Oh ya, besok Gaja akan kemari. Dia butuh beberapa keterangan dari Ibu," Arima menambahkan.

"Aku akan menunggunya," Chandrika tersenyum. Ada kepedihan dalam senyum itu.

Mereka berlima meninggalkan kantor polisi. Sesampainya mereka di rumah mereka terkejut akan sesuatu. Pohon flamboyan yang ada di halam depan tampak kering. Daunnya yang tadi pagi masih lebat kini mulai berguguran. Bunga-bunganya yang sebelumnya masih mekar dengan indah kini sudah layu. Batang pohon itu menghitam seperti habis dibakar hingga hangus. Kulitnya mengelupas dan luruh menjadi abu. Pohon itu sekarat, tapi masih berdiri tegak. Mereka semua miris melihat pohon kesayangan Chandrika jadi seperti ini.

Daksin kemudian menduga-duga apakah ini ada hubungannya dengan mimpi semalam di mana sosok mirip Chandrika menghilang masuk ke alam pohon ini. Nilam berkeliling melihat keadaan phon itu, kemudian dia menemukan sesuatu yang aneh. Dia memanggil yang lain untuk melihat apa yang dia temukan. Pada bagian batang paling pangkal, mereka melihat sebuah simbol—lebih tepatnya sebuah rajah. Daksin mengenal rajah itu, kalau Chandrika di sini pasti dia juga tahu tentang rajah yang bernama yamaraja. Rajah itu ditulis dengan aksara Jawa kuno yang dikombinasikan dengan simbol-simbol seperti ular, bintang, dan bulan, serta angka-angka dalam aksara Jawa.

"Bibi tahu apa ini?" tanya Erawati.

Daksin menghela napas, lalu menjawab, "Pada zaman penjajahan Belanda, vadika aliran kiri, pengiwa, menggunakan sihir seperti ini untuk mengirimkan penyakit ke markas-markas Belanda, menghancurkan bangunan yang sudah kokoh berdiri, dan meracuni persediaan pangan mereka. Pada masa itu, keberadaan pengiwa cukup membuat Belanda ketar-ketir sehingga mereka harus membayar pengiwa lain untuk membunuh yang menentang mereka."

"Apa alasan dia memasang kutukan di tanah kita? Seingatku kita tak pernah membuat masalah dengan pengiwa," kening Arima berkerut, dia berpikir keras. "Atau, kita pernah, hanya tidak menyadari?"

Daksin kemudian teringat satu kejadian, lalu dia menceritakannya pada mereka, "Aku dan Chandrika dulu pernah terlibat perselisihan dengan seorang pengiwa wanita yang cukup kuat. Itu terjadi pada masa pendudukan VOC. Namanya Kedasih. Waktu itu dia bekerjasama dengan pemerintah VOC sebagai pelindung dan pelancar segala rencana VOC. Kemudian dia harus berhadapan dengan kami yang membela dan melindungi masyarakat. Untuk memberikan pelajaran pada Chandrika, Kedasih mencoba untuk menghabisiku ...,"

"Dan berhasil?" ulik Nilam.

"Dia menggunakan bajrageni saat itu, dan ya, aku mati. Sayangnya Kedasih tidak tahu kalau aku hidup lagi dan mengadu pada Chandrika. Chandrika pun memutuskan untuk balas memberikan pelajaran pada Kedasih. Mereka bertarung mati-matian di hutan Kalang. Kedasih kalah, dia mendapatkan luka parah dan rasa malu. Harga dirinya hancur saat itu juga. Chandrika membutakan mata kiri dan memotong setengah dari daun telinga kiri Kedasih yang celaka itu, agar dia selalu ingat bahwa jangan bermain api dengan Chandrika."

"Apa bibi yakin Kedasihlah pelakunya?"

"Kedasih hanyalah satu dari sekian banyak musuh Chandrika. Jadi bisa jadi pelakunya bukan Kedasih, melainkan pengiwa lainnya. Tidak masalah siapa yang memberikan kutukan pada pohon flamboyan kesayangan Chandrika, yang penting sekarang adalah menghapus kutukan ini," ungkap Daksin.

Untungnya sejak zamanpenjajahan Belanda maupun pendudukan VOC, Chandrika dan Daksin sudah pernahmenangani hal-hal semacam ini. Jadi, Daksin tahu harus berbuat apa sekarang inidan dia akan mengajarkannya pada keponakan dan juga cucu-cucunya.

MANDRAGUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang