Kediaman Keluarga Mandraguna saat ini hanya menyisakan tiga saudari yang usianya sudah ratusan tahun. Mereka tak lain adalah Sona, Chandrika, dan Daksin. Anggota keluarga yang lain, Gaja, Arima, dan Erawati, saat ini sedang bekerja. Sedangkan Erlangga saat ini sedang mengurus bisnisnya yang ada di Semanu. Chandrika mengajak Sona dan Daksin untuk sembahyang di mandir, ini adalah sembahyang pertama bagi Sona setelah ratusan tahun berlalu. Hari ini, rencananya Chandrika dan Daksin ingin sekalian mengucapkan syukur atas kepulangan Sona kembali pada keluarga. Sembahyang dan puja syukur berlangsung sangat hikmad. Setibanya mereka di rumah lagi, Sona meminta dua adiknya untuk berkumpul di kamar Chandrika, karena Sona ingin mengatakan sesuatu pada mereka.
"Apa yang begitu penting sampai suasana harus setegang ini?" tanya Daksin.
"Jangan buat kami penasaran," sambung Chandrika.
"Ada beberapa hal yang ingin aku katakan. Yang pertama tentang keberadaanku, yang kedua tentang kalian, dan yang ketiga tentang Pitaloka dan Nilam," jawab Sona.
"Ada apa? Apa yang terjadi?" Chandrika mulai panik.
"Kalian harus tahu bahwa aku tidak bisa selamanya berada di sini, karena aku harus segera kembali ke dunia bawah saat bulan mati. Kalau tidak segera kembali, kita semua bisa segera menghadapi maut. Adanya aku di sini, pertama adalah untuk melindungi Pitaloka dan Nilam. Kedua, membangkitkan Arima dan Erawati dari kematian. Dan, ketiga adalah untuk memastikan kalian berdua lepas dari ancaman yang akan datang dari musuh yang tidak terduga ...,"
"Musuh tidak terduga? Siapa? Apa?" buru Daksin.
"Musuh yang datang dari dari dalam. Begitu dekatnya sampai kalian tak menyadari kedatangannya. Sayangnya, aku tidak bisa mengatakan pada kalian siapa musuh itu. Jika aku mengatakannya, maka aku akan terkena hukuman dari Dewi Sunihara. Tapi jangan khawatir, Sang Dewi memerkenankan diriku untuk memberikan sedikit petunjuk. Dengarkan baik-baik!" Daksin dan Chandrika mulai menajamkan telinga.
Dahulu dia adalah gadis yang berjalan terlampau jauh. Sekarang dia adalah seorang ibu dengan tiga buah kaki. Dia punya satu putra yang sudah beristri dengan gadis berdarah murni. Harapannya menjadi penguasa Nusantara. Dengan senjata yang bernyawa, dia akan menghabisi kalian semua. Carilah ayam jantan yang menyangga dunia di atas kepalanya untuk menghabisi si putra. Niscaya, itu akan menghabisi si ibu yang celaka.
"Aku sudah mengingatnya," ujar Chandrika.
"Aku benci teka-teki," Daksin masih sempat-sempatnya menggerutu.
"Jika kalian menghabisinya, maka kalian berdua akan menyelamatkan semuanya," Sona menambahi. "Dan ...,"
"Masih ada lagi?" seru Daksin.
"Ini tentang pembunuh Arima dan Erawati ...,"
"Kedasih orangnya," sela Daksin bersemangat.
"Kalian juga harus berhati-hati dengannya, dia adalah ular berbisa yang sangat berbahaya. Jangan terlalu santai, senantiasalah ingat dan waspada. Kutukan bibi Katriyani akan kehancuran Keluarga Mandraguna masih belum terjadi, tapi kutukan itu pasti terjadi. Tidak ada yang tahu kapan tepatnya ...,"
"Wanita itu memang berbahaya. Dia boleh ular berbisa, tapi racunku akan membakar seluruh tubuhnya hingga tak tersisa," sela Daksin berapi-api.
Sona meraih tangan Chandrika, lalu Chandrika meraih tangan Daksin. Mereka saling menggenggam. Kemudian, berpelukan bak anak kecil yang sedang melepas kerinduan. Sona, Chandrika, dan Daksin adalah wanita-wanita tangguh. Mereka sudah hidup bertualang dari zaman ke zaman, melalui banyak petualangan dan bahaya bersama sampai akhirnya Sona meninggalkan mereka. Dan, kebenarannya sudah terungkap. Kini mereka bertiga sudah bersatu kembali. Tiga akar yang menopang pohon keluarga telah utuh lagi, maka tidak akan ada badai yang sanggup menumbangkan pohon Keluarga Mandraguna. Sebaiknya, para musuh segera menjauh. Sekali mereka terlibat dengan tiga wanita penopang Keluarga Mandraguna, maka sudah dipastikan mereka akan tinggal nama.
***
Sabtu malam di kediaman Keluarga Mandraguna. Semua anggota Keluarga Mandraguna—keluarga inti, menantu, mantan menantu—tengah bersiap untuk melakukan pelepasan Sona kembali ke dunia bawah. Katriyani sayangnya tidak ikut dalam acara ini, karena kesehatannya yang sedang terganggu. Kesannya ini seperti upacara kematian untuk Sona, tapi ini memanglah upacara kematian yang Sona minta sendiri. Sebab, ini adalah terakhir kali baginya untuk menjamah dunia manusia di mana semua orang yang dia sayangi tinggal. Setelah ini dia harus tinggal di dunia bawah sampai batas yang belum ditentukan. Persiapan yang begitu banyak sudah dijalankan semuanya hingga tak terasa waktu semakin sore. Bulan baru sebentar lagi muncul—sebenarnya bulan itu tidak akan tampak. Ketika matahari tenggelam sepenuhnya, Sona mulai berjalan keluar rumah untuk memulai perjalanannya menuju dunia bawah.
Suara-suara aneh mulai muncul dari perapian suci. Suara orang menjerit, merintih dan meraung-raung. Terdengar pula suara ringkikan kuda, lolongan anjing, koakan gagak, dan geraman kucing. Ini artinya gerbang antardunia sudah terbuka. Di halaman rumah mulai muncul kabut yang sangat tebal. Udara mulai dingin menusuk dan suasanya tiba-tiba menjadi penuh dengan ketakutan. Suara-suara aneh mulai terdengar, seolah-olah di balik kabut itu ada makhluk-makhluk mengerikan yang akan keluar.
Sona mulai berjalanmasuk ke dalam kabut. Bayangannya semula tampak, mulai kabur, dan lenyapsepenuhnya. Suara-suara mengerikan yang ada di dalam kabut semakin menjadi. Semuayang mendengar jadi merinding ria. Tapi, lambat laun suara-suara itu mulaiterdengar samar-samar seolah semakin menjauh seiring sirnanya kabut mengerikanyang menjembatani Sona menuju dunia bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantastik"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."