Sebelum tengah malam, enam orang wanita dengan usia yang bervariasi berjalan dalam kegelapan malam. Berbekal lentera kecil mereka menorobos hutan cemara yang ada di puncak bukit Widarbha yang tak jauh dari rumah mereka. Pada dasarnya, rumah mereka ada di kaki bukit Widarbha dan jauh dari pemukiman penduduk. Jadi mereka tak perlu khawatir akan datangnya tamu tak diundang nantinya. Mereka tak lain adalah Chandrika, Daksin, Arima, Erawati, Pitaloka, dan Nilam. Malam ini bulan bersinar dengan terang dan malam inilah yang akan menjadi malam di mana Pitaloka dan Nilam akan merasakan aliran kekuatannya untuk pertama kali.
Pitaloka dan Nilam benar-benar baru dalam hal ini, mereka sama sekali tak tahu harus melakukan apa malam ini. Pitaloka pun terheran, dia beranggapan kalau dirinya memang titisan sang nenek buyut, lantas kenapa dia tak mengingat apa-apa yang berhubungan dengan hal ini. Chandrika menjelaskan, bahwa itu terjadi karena jiwa Pitaloka belum mencapai kebangkitan. Saat jiwanya telah mencapai kebangkitan, maka semua kenangan dari masa lalu yang terkubur dalam-dalam akan dapat dia ingat kembali. Dan, selama jiwanya belum mencapai kebangkitan, maka Pitaloka akan hidup dengan kenangannya sendiri.
"Kapan aku bisa mencapai kebangkitan jiwa?" tanya Pitaloka lagi.
"Wah, itu masih lama, Sayang. Perjalananmu masih panjang," jawab Chandrika. "Tidak ada patokan pada usia berapa jiwa yang terlahir kembali akan mencapai kebnagkitan, karena setiap jiwa punya kapasitasnya masing-masing. Tapi yang pasti, saat mereka mencapai kebangkitan maka kekuatan mereka yang sejati turut bangkit juga."
"Aku penasaran, disebut apa hal-hal yang para vadika pelajari?" tanya Nilam kemudian.
"Sejak zaman dulu, semua pengetahuan tentang sihir disebut karmana, sedangkan energi yang ada di dalamnya disebut karmanatwa. Pelaku karmana atau orang yang memiliki karmanatwa masing-masing disebut vadika atau penyihir. Dan, masing-masing penyihir punya sebuah kitab di mana segala macam bentuk karmana dituliskan di dalamnya. Setiap penyihir punya jenis kitab yang berbeda-beda. Vadika punya kitab, biasanya, masing-masing keluarga juga punya kitab kedua yang diciptakan oleh mereka sendiri dan hanya dipraktikkan oleh anggota keluarga itu saja. Sebagai contoh, kita punya Primbon Mandraguna." Nilam yang kebetulan sangat menyukai hal-hal yang berbau klenik menyimak penjelasan Chandrika dengan sangat antusias.
"Kita sudah sampai," ujar Erawati menyela perbincangan Nilam dan Chandrika.
"Luar biasa," Pitaloka terkagum-kagum. "Selama ini tempat ini ada di sini, tapi kami tak pernah tahu. Padahal waktu kecil kita selalu bermain di sini, bukan?" Pitaloka menggapai pundak Nilam.
"Tempat ini berada di balik rerimbunan dan dulu Ibu selalu melarang kita untuk bermain di sekita sini. Itu menjelaskan segalanya," sambung Nilam.
"Sejak memutuskan tinggal di Gandasuli, aku memutuskan untuk membangun tempat ini. Dan, di sinilah biasanya aku dan ibu kalian melakukan kebaktian kepada Ibu Bumi dan Bapa Angkasa. Kolam ini melambangkan Ibu Bumi, pilar dengan air mancur di tengahnya adalah perlambangan dari Bapa Angkasa. Empat batu berdiri di empat penjuru menjadi perlambangan empat elemen, empat penjaga penjuru, dan empat pelindung diri ...,"
"Nenek membangun semua ini sendirian?" tanya Nilam.
"Aku lakukan seorang diri dengan sedikit menggunakan siddhi yang kupunya," jawab Chandrika.
"Siddhi?" giliran Pitaloka yang bertanya.
"Energi supranatural yang bersumber dari entitas ilahiah. Bisa diperoleh melalui meditasi, faktor keturunan, ataupun pemberian," jawab nenek Chandrika.
"Dia bahkan tidak meminta bantuanku," ungkit Daksin yang saat itu memang tidak tahu menahu kalau kakaknya hendak membangun mandir ini. "Dia sangat kuat dan juga egois," tambah Daksin dengan suara sedikit mendesis seperti ular.
"Sudahlah, kita mulai saja sekarang ritualnya," kacau Chandrika, dia paling tidak suka kalau Daksin sudah membicarakan masa lalu.
"Kami harus apa?" Nilam bertanya mewakili Pitaloka juga.
"Kalian masuklah ke dalam kolam dan berbaring," Chandrika mengarahkan.
Nilam dan Pitaloka melepaskan semua pakaian yang mereka kenakan, kemudian segera masuk ke dalam kolam. Airnya begitu dingin, hampir seperti air es. Mereka menatap langit yang dihiasi bulan purnama yang bersinar penuh tanpa adanya mega mendung menghalangi. Chandrika pergi ke timur dan meletakkan bokor berisi beras kuning dan bunga cempaka di atas meja batu. Daksin pergi ke selatan dan meletakkan pelita di sana. Arima pergi ke barat dengan membawa bokor berisi air kembang dan meletakkannya di meja batu. Sedangkan Erawati pergi ke utara dan membakar kemenyan di atas meja batu.
Mereka merapalkan mantra-mantra yang intinya memohon kehadiran para elemen alam: tanah, api, air, dan angin. Empat penguasa elemen: Danghyang Pertiwi, Dahana, Ernawa, dan Danghyang Maruta. Dan kehadiran empat penjaga penjuru: Tirtanata, Sinotobrata, Purbangkara, dan Warudijaya. Setelah itu, mereka berempat berdiri di empat penjuru mengelilingi kolam di mana Pitaloka dan Nilam berbaring di dalamnya.
Ritual tahap berikutnya berlanjut. Empat wanita vadika itu menembangkan mantra-mantra dengan suara yang lirih kemudian meninggi. Mereka tidak sekadar nembang biasa, ada energi magis yang mereka lepaskan ke awang-awang. Angin meraung-raung menerobos lebatnya daun-daun pohon dan semak. Suara katak yang ngorek dan denguhan burung hantu menjadi iringan tembang-tembang magis yang mereka lantunkan. Jika orang biasa yang mendengar lagu ini, mereka akan merasa merinding dan ketakutan, badan mereka akan panas dingin tak menentu. Namun jika para vadika yang mendengarnya, mereka akan seperti dimandikan dengan air sejuk di tengah panasnya musim kemarau.
Pitaloka dan Nilam yang semula terbaring dengan tenang mulai rikuh dengan suara-suara yang muncul oleh tembang-tembang magis. Mereka merasa seperti ada sesuatu yang bergerak masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori dan menyebar melalui pembuluh darah. Mereka merintih kesakitan saat tiga lubang hitam muncul di kening, dada, dan perut mereka.
Pitaloka dan Nilammenegang, mereka melayang ke udara—tidak lagi mengapung di atas air kolam.Titik-titik hitam itu mulai bercahaya, berawal dari tengah titik hitam yangmemunculkan bintik keunguan yang lama kelamaan menyebar dan menghapustitik-titik hitam besar itu menjadi cahaya ungu sepenuhnya. Cahaya ungumemancar bak air yang mengucur dari air mancur dan menyatu dengan air di kolam.Cahaya ungu yang menjadi lambang bagi energi magis itu begitu melimpah danhampir memenuhi air kolam yang menjadi perlambangan Ibu Pertiwi. Air kolam yangsemua bening menjadi berselimutkan benda padat semacam busa berwarna ungu yangtampak lembut dan bergulung-gulung. Benda aneh itu hilang dengan sendirinyaseiring redupnya cahaya ungu yang memancar dari kening, dada, dan perut Nilamdan Pitaloka. Mereka pingsan seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasy"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."