Malam harinya, sekitar pukul setengah delapan, Gaja dan ibunya tiba di rumah Arima. Mereka berdua disambut hangat oleh Chandrika. Di sisi lain, Daksin memasang tatapan awas pada Ibu Gaja yang tak lain adalah Katriyani. Dia mencoba menyelidiki apakah wanita itu masih di bawah pengaruhnya ataukah tidak. Perasaan Daksin seketika lega saat Katriyani sama sekali tidak menunjukkan ekspresi kalau dia pernah bentrok dengan Daksin. Mereka seolah baru pertama bertemu. Tidak ada orang tahu kejadian itu kecuali Daksin dan Chandrika yang dia beri tahu.
Tepat pukul delapan mereka semua makan malam. Di tengah-tengah makan malam, Arima mengatakan pada adik dan putrinya bahwa dia akan menikah dengan Gaja. Sontak saja Pitaloka dan Erawati tersedak, Daksin memberi minum Erawati dan Nilam memberi minum Pitaloka. Arima tersenyum penuh kemenangan karena berhasil memberikan kejutan untuk keluarganya. Erawati langsung mengomel pada Arima yang tega merahasiakan hal sebesar ini darinya, dia juga mengomeli ibu dan bibinya yang ikut-ikutan sok merahasiakan hal ini. Arima tiba-tiba memasang wajah datar, dia sama sekali tidak berkomentar atau menunjukkan air muka bahagia atau terkejut. Sepertinya dia syok atau malahan tak begitu senang dengan kabar tersebut.
Sepulangnya Gaja dan Katriyani, Arima dan yang lain sama sekali tidak mendapati Pitaloka membantu membereskan meja makan. Arima menyadari, mungkin putrinya itu syok dengan kabar ini. Padahal niat hati Arima hanyalah untuk memberikan kejutan saja, sama sekali tidak bermaksud membuat Pitaloka jadi seperti ini. Arima langsung menuju kamar Pitaloka di lantai atas. Sayangnya, putrinya itu tak dia dapati berada di kamar. Maka mencarilah Arima ke kamar mandi hingga teras belakang, tapi hasilnya nihil.
Chandrika meminta Arima untuk tidak panik, mungkin saja Pitaloka sedang membutuhkan waku untuk menyendiri dan sebaiknya Arima memberi Pitaloka waktu untuk sendiri. Di lain pihak, Pitaloka berada di mandir seorang diri. Dia duduk di tepi kolam suci yang airnya sangat bening hingga bisa dipakai berkaca. Pitaloka melihat wajahnya sendiri, lalu dia terpejam. Dalam pikirannya kemudian memunculkan gambaran-gambaran dengan nuansa buram, suram, dan sedikit berkabut. Gambaran itu semacam kilas balik, hanya saja Pitaloka tidak kuat merasakan sakit kepala yang timbul yang disebabkan oleh munculnya kilasan itu. Berdirilah Pitaloka dan berjalan meninggalkan mandir.
Di rumah semua orang sedang menunggunya. Pitaloka datang memasuki ruang keluarga di mana tangga menuju kamarnya berada. Dia yang awalnya masa bodoh saat memasuki ruangan tiba-tiba dihentikan oleh Arima yang menyambar tangannya dan mendaratkan sebuah tamparan di pipi anak itu. Semuanya terperanjat kaget. Arima marah besar pada Pitaloka yang pergi tanpa pamit dan membuat semua orang menjadi khawatir. Chandrika tak punya hak untuk menghentikan Arima, karena dia tahu kalau dia melakukan itu maka putrinya itu akan semakin marah. Awalnya Pitaloka membeku, dia tak berkata ataupun mengaduh kesakitan setelah menerima tamparan keras dari ibunya. Sejurus kemudian, Pitaloka melayangkan tangannya tepat di pipi ibunya. Bunyi benturan yang sangat keras terdengar saat telapak tangan Pitaloka menghantam pipi Arima hingga dia jatuh dan ujung bibirnya mengucurkan darah. Semuanya lebih terkejut lagi saat melihat hal itu.
Chandrika melangkah menghampiri Pitaloka dan menegurnya. Sontak Pitaloka menatap Chandrika dengan tatapan seperti harimau kelaparan yang bersiap menerkam mangsanya. Jantung Chandrika untuk beberapa saat seolah berhenti berdetak. Wanita itu merunduk sambil memegangi dadanya yang nyeri. Arima yang tadi terjatuh segera memegangi ibunya. Tidak ada yang mengerti apa yang terjadi pada Pitaloka. Di situ Nilam hanya membisu, pasalnya dia menyaksikan tubuh Pitaloka tengah terbakar dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Saat ini, Pitaloka lebih mirip seperti iblis api dan itulah yang membuat Nilam gemetaran dan tak sanggup berkata-kata. Daksin pun hanya diam, dia dengan sangat jelas merasakan hawa panas yang begitu menyengat bak dirinya sedang berdiri dalam kepungan api yang berkobar. Ada apa gerangan, pikir Daksin. Pitaloka berlalu begitu saja tanpa satu patah kata pun. Sesampainya di kamar, tiba-tiba Pitaloka jatuh di lantai. Tubuhnya kejang dan dia meraung-raung. Semuanya segera berlari ke kamar gadis itu. Mereka terkejut saat melihat Pitaloka terbaring di lantai dengan tubuh berasap dan kulit yang putih bersemu merah. Matanya hanya menampakkan bola mata putih saja. Mulutnya tak henti-hentinya meraung-raung seperti harimau, dalam sekejap raungannya berubah menjadi jeritan tertahan. Tangannya mencakar-cakar lantai.
"Sudah dimulai," gumam Chandrika. "Ini adalah pembukaan yang pertama menuju kebangkitan."
"Daripada bicara saja, lakukanlah sesuatu!" pinta Arima, dia berlari hendak menolong putrinya.
"Tidak ada cara lain selain membiarkan proses ini berjalan," jawaban pasrah Chandrika meruntuhkan hati Arima seketika.
"Malangnya dirimu, Nak," Arima berkata lirih. Air matanya membayang di pelupuk mata. "Kenapa harus putriku? Kenapa?!" Arima jelas tak terima putrinya jadi seperti ini.
Pitaloka berhenti merintih dan kejang-kejang, matanya yang semula hanya putih kini mulai menampakkan warna cokelat tua. Kesadaran Pitaloka kembali. Asap yang mengepul juga sirna seketika bak embun yang menguap terpapar sinar mentari pagi. Kulit Pitaloka yang kemerahan kembali ke warna asal, kuning langsat yang menawan. Meskipun kesadarannya kembali, tapi Pitaloka masih terbaring tanpa mengucapkan satu kata pun. Matanya masih menatap kosong.
Chandrika menghampiri Arima yang memeluk Pitaloka erat-erat. "Yang pertama selalu menyakitkan, tapi yang kedua hingga kedua belas akan jauh lebih menyakitkan. Kita tidak bisa apa-apa selain memberinya dukungan. Dia sangat membutuhkan kita, terutama kamu."
Nilam melihat aura membara yang menyelimuti Pitaloka sudah lenyap dari tubuhnya, hawa panas yang dirasakan Daksin pada Pitaloka juga sirna. Arima meraih kepala putrinya dan mendekapnya erat sambil sesekali menciumi pucuk kepalanya. Hati Arima yang semula dipenuhi kemarahan terhadap perilaku Pitaloka yang terlampau kasar tadi mendadak sirna setelah tahu kalau putrinya telah menghadapi masa-masa yang sulit. Tiba-tiba Arima merasa bersalah, seharusnya orang yang pertama kali tahu kalau dia hendak menikah dengan Gaja adalah Pitaloka, tapi dia justru merahasiakan hal ini. Kalau tahu akan berujung seperti ini, maka tidak akan ada niatan untuk sok-sokan memberi kejutan pada putri semata wayangnya.
Arima dan Erawati bekerjasama mengangkat Pitaloka yang masih belum sadar sepenuhnya ke atas ranjang. Chandrika berlalu ke bawah diikuti oleh Daksin, sedangkan Nilam tetap di sana menemani Pitaloka. Chandrika di bawah berniat membuatkan ramuan untuk Pitaloka. Daksin turut membantu—membantu ngerecoki. Pasalnya dia terus saja mengomel soal kejadian ini. Dia berpendapat kalau ini adalah pertanda buruk. Dia menghubung-hubungkan kejadian ini dengan rencana pernikahan Arima dan Gaja. Chandrika malas menanggapi, tapi Daksin malah semakin menjadi. Dengan serta merta dia mengungkit cerita lama, ribuan tahun yang lalu di mana kakak Mandraguna yang bernama Kalyani mengutuk Mandraguna dan seluruh keturunannya dengan kutukan yang keji. Ada beberapa kutukan yang Kalyani berikan. Salah satunya, dia mengutuk semua keturunan Mandraguna akan hancur di tangan Jabang Mayanara.
Merasa bahwa Daksin benar-benar sudah kelewatan meracau, akhirnya Chandrika menyumpal mulutnya dengan bunga mawar. Daksin menyemburkan bunga yang menyumbat mulutnya tepat mengenai baju Chandrika. Lantas dia menyuruh kakaknya itu untuk memikirkan semuanya baik-baik dan coba menghubungkan semuanya dengan masa lalu yang hanya mereka berdua saja yang mengetahuinya. Chandrika termenung, sepertinya dia mulai menanggapi serius racauan adiknya.
Dia rasa Daksin ada benarnya juga. Kalau ini benar, maka keruntuhan Keluarga Mandraguna sudah dekat. Kemudian mereka berdua dikejutkan oleh Nilam yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang ramuan. Nilam menanyakan apa ramuan untuk Pitaloka sudah siap atau belum. Kebetulan sekali ramuan itu sudah siap, Chandrika meletakkannya di atas nampan dan berniat membawa ke kamar Pitaloka. Akan tetapi, Nilam mengambil nampan itu dan bersikeras ingin membawanya ke kamar Pitaloka. Chandrika dan Daksin hanya tersenyum melihat betapa Nilam menyayangi sepupunya.
"Pikirkan lagi," bisik Daksindengan suara mendesis. Dia kemudian berlalu mengikuti Nilam yang beberapalangkah di depannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/289125558-288-k867518.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasy"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."