Telah Bangkit

93 11 0
                                    

Erawati menarik Nilam ke tepian kolam hanya dengan lambaian tangannya saja. Di sisi lain kolam ada Daksin yang juga menarik Pitaloka hanya dengan satu lambaian tangannya saja. Untuk membuat mereka cepat sadar, mereka membakar badiang dan mengasapi Pitaloka dan Nilam. Tak lama dua gadis tujuh belas tahun itu tersadar dari pingsan.

"Bagaimana perasaan kalian?" tanya Chandrika.

Segera setelah dia tersadar, Pitaloka berseru, "Ah! Aku merasa—hmm—entahlah, perasaan macam apa ini. Aku merasa berbeda."

"Ini hanya aku saja atau kalian juga melihat ada cahaya ungu yang menyelimuti kalian seperti sebuah jubah?" Nilam merasa aneh.

"Yang kau lihat itu adalah aura magis, kita semua memilikinya. Tapi, hanya beberapa orang yang bisa melihatnya. Dan kau jadi salah satunya," Chandrika menanggapi.

"Apa itu aneh?" Nilam murung.

"Tidak sama sekali, kau istimewa. Karena kamu punya apa yang orang lain tidak punya dan kamu bisa melihat apa yang tidak bisa mereka lihat. Itu adalah bakatmu, sebuah anugerah dari Yang Mahakuasa," hibur Chandrika. "Masing-masing dari kita punya bakat yang berbeda-beda. Kita ambil saja contoh: Ibumu sangat mahir dalam meracik ramuan, bibimu pandai dalam yudacara ...,"

"Apa itu?" tanya Nilam.

"Yudacara adalah sihir yang digunakan dalam pertempuran. Biasanya sihir jenis ini diaplikasikan melalui senjata-senjata," jawab Arima mewakili.

"Bagaimana dengan nenek berdua?" tambah gadis itu lagi.

"Aku amat sangat ahli dalam kalacara—hmm, mungkin kau biasa menyebutnya sebagai black magick," jawab Daksin, dia tersenyum bangga.

"Lantas nenek?"

Sebelum Chandrika menjawab, Daksin lebih dulu menyerobot dan memberikan jawaban dari pertanyaan yang sebenarnya ditujukan pada kakaknya. "Dia bisa segala jenis karmanatwa."

"Hei?!" seru Pitaloka tiba-tiba. "Bagaimana denganku?"

Chandrika tersenyum, lalu menjawab Pitaloka, "Kau adalah vadika yang sangat kuat, Pitaloka. Kau lebih kuat dari yang kau bayangkan. Akan ada waktu di mana kau akan menemukan kekuatanmu yang sejati."

"Kau ini memang selalu bicara banyak, ya? Tidak pernah berubah," Chandrika berdiri dan meninggalkan Daksin. "Kalian berdua bangunlah, sekarang mari kita coba kemampuan kalian."

Berhubung mereka tidak bisa mencoba kemampuan di tempat sakral itu, Chandrika mengajak mereka keluar dari sana dan pergi ke sisi lain hutan. Chandrika meminta dua putri dan dua cucunya untuk saling berdekatan. Dia menjentikkan jarinya sekali lalu muncullah lingkaran api yang tergambar di atas tanah. Api tidak begitu besar itu melingkar mengelilingi mereka berenam. Tiba-tiba, sebagian sisi lingkaran api padam saat Chandrika, Daksin, Erawati, dan Arima keluar dari lingkaran. Pitaloka dan Nilam cukup terkejut. Mereka berempat yang sudah berada di luar lingkaran berjalan ke empat arah dan membuat lingkaran api mereka sendiri hanya dengan satu jentikan jari saja. Angin malam dingin berembus sekejap, sedikit menerbangkan gaun hitam mereka yang panjang menyapu tanah.

Arima memilih untuk unjuk gigi pertama kali. Dia melepas bunga kamboja yang terselip di antara rambutnya yang terkepang rapi. Tangannya yang membawa bunga kamboja terulur ke depan, dia memejamkan mata dan saat matanya terbuka, ada kilatan cahaya merah yang terlihat jelas. Bunga kamboja sontak terbakar menjadi burung api yang berkobar-kobar mengerikan. Berikutnya Erawati yang menunjukkan kemampuannya. Dia mencabut satu bulu burung hantu yang menjadi hiasan rambutnya. Dia melakukan hal yang sama seperti kakaknya, tapi saat matanya terbuka, yang muncul adalah kilatan cahaya kuning. Bulu burung hantu itu melayang di udara dengan sendirinya, lalu berubah menjadi gasing angin yang berdesing. Suaranya sedikit membuat telinga terasa geli.

Daksin mengambil gilirannya, dia mengulurkan kedua tangannya ke depan. Dia melakukan hal yang berbeda dengan Arima dan Erawati. Matanya terpejam, kemudian muncul kilatan cahaya biru saat matanya terbuka. Embun-embun yang ada pada dedaunan bergerak perlahan dan berkumpul di telapak tangan Daksin. Sekarang giliran Chandrika, dia berjongkok dan memungut sedikit tanah dengan tangan kanannya. Dia terpejam, lalu membuka matanya. Bersamaan dengan matanya yang terbuka itu, kilatan hijau bak zamrud menghiasi mata wanita berusia lebih dari satu abad itu. Tanah yang dia genggam sontak berubah menjadi ribuan kupu-kupu berwarna putih.

"Ada banyak sekali jenis-jenis karmanatwa di dunia ini dan mereka memiliki sumber yang berbeda-beda. Ada yang bersumber dari entitas suci, seperti dewa-dewi. Ada yang bersumber dari alam, seperti yang sedang kami lakukan saat ini. Dan, ada juga yang berasal dari dalam diri kita sendiri." Sembari menunjukkan kebolehannya, Chandrika juga memberikan sedikit pelajaran dasar tentang magis—karmanatwa.

"Magis atau karmanatwa yang bersumber dari alam biasanya mengambil magis dari elemen-elemen dalam kehidupan, seperti: api, air, tanah, dan angin. Empat energi magis itu kemudian disebut sebagai Danghyang Caturnawa. Manusia juga bagian dari alam, kita tercipta dari empat unsur yang ditambah dengan elemen kelima, yaitu roh suci. Penggunaan elemen roh hanya saat kalian hendak mengakses magis dalam diri kalian sendiri ...,"

Nilam menyela penjelasan Daksin, "Jika elemen hanya ada empat, lantas elemen apa yang berhubungan dengan kami?"

"Elemen dasar sendiri terbagi menjadi tiga. Elemen bumi, yaitu: air, api, tanah, dan angin. Elemen langit, yaitu: bulan dan bintang. Dan elemen ilahi, yaitu: roh suci. Kalian tentunya berhubungan dengan elemen langit," jelas Chandrika.

"Daripada kalian penasaran, cobalah cari tahu," saran Arima.

"Pejamkan mata dan konsentrasi, bayangkan kalian berdiri di luar angkasa. Biarkan energi kosmik menerpa dan membangkitkan kekuatan dalam diri kalian," bimbing Erawati kemudian. Seperti yang Erawati ajarkan, Pitaloka dan Nilam memejamkan mata dan membayangkan mereka berdiri di antara bintang-bintang dalam tata surya. "Apa yang kalian lihat?"

"Aku melihat bintang-bintang yang bertebaran kemudian berkumpul menjadi satu membentuk satu sosok," jawab Nilam.

"Sosok siapa?" tanya Erawati.

Nilam diam beberapa saat, dia mencoba mencermati apa yang dia saksikan, kemudian menjawab setelah dia yakin, "Bintang-bintang itu membentuk sosok diriku."

"Bagaimana denganmu, Pitaloka?" ujar Arima dengan suara lembut, namun tegas.

"Aku melihat seorang wanita duduk di atas seekor lembu. Tangan kanannya memegang bulan sabit, begitu pula tangan kirinya. Di atas pangkuannya ada bulan purnama yang bersinar terang dengan cahaya putih keemasan," jawab Pitaloka. "Siapa dia?"

"Kau yang harus cari tahu, tetap konsentrasi." Setelah diarahkan demikian, Pitaloka kembali konsentrasi dan memusatkan pandangannya pada cahaya yang menyelimuti wajah wanita anggun nan agung itu. "Sudah kau temukan?" tanya Arima kemudian.

"Itu wajahku sendiri," jawab gadis itu dengan sedikit nada heran.

"Buka mata kalian,"pinta Chandrika. Pitaloka dan Nilam pun membuka mata, mereka merasa sedikitsilau saat pertama kali membuka mata. "Itulah kekuatan kalian. Semesta telahmenentukan kekuatan yang sesuai dengan kalian. Pergunakan kekuatan kaliandengan bijak. Apa pun boleh kalian lakukan dengan kekuatan yang kalian miliki.Perlu kalian ketahui bahwa baik dan buruk segalanya akan kembali pada kalian.Itulah hukumnya, siapa menebar benih akan menuai, siapa bermain api akan terbakar.Ada harga dalam setiap karmana yangkalian lakukan, jadi selalu ingat pesanku ini baik-baik."

MANDRAGUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang