Saat sedang minum, mata Daksin mengarah ke jendela yang mengarah langsung ke arah halaman belakang. Di sana terlihat ada sesuatu yang terang dan menyala-nyala. Daksin segera keluar ke halaman belakang dan betapa terkejutnya dia saat melihat ada api yang membakar rumput di halaman belakang. Dengan sigap, Daksin langsung meniup—bukan tiupan biasa—api tersebut hingga padam. Di tempat di mana api berkobar tadi meninggalkan bekas gosong yang tidak biasa. Ada pola yang terbentuk. Mata Daksin terbelalak melihat pola yang ditinggalkan api tadi.
Bentuknya adalah lingkaran sempurna dengan bentuk busur di dalamnya dan ada anak panah yang seolah-olah siap untuk dilepaskan dari senar busur untuk menghujam siapa pun yang ada di hadapannya. Sejak tahun 1121 Saka, simbol itu dijadikan sebagai ancaman kematian bagi para vadika. Jika simbol itu muncul di tanah mereka, itu artinya kematian mereka sudah di depan mata. Ini bukanlah simbol milik sekte Pralayadipati. Dari dulu sampai sekarang, belum ada yang tahu pasti siapa yang suka memberikan ancaman dan menghabisi para penyihir.
"Semuanya cepat kemari!!!" panggil Daksin lantang.
Segera, semua yang ada di dalam rumah lari bersamaan mendatangi Daksin. Mereka berdiri melingkari simbol yang terukir di atas tanah mereka. Suasana hening. Sedikit mencekam. Angin dingin berembus merapa kulit mereka.
"Apa ini?" tanya Erawati yang berdiri di sisi kiri Daksin.
"Seperti sebuah sigil," tutur Nilam setelah melihat pola di tanah.
"Ini adalah ancaman kematian bagi kita. Ashurka sudah menandai kita sebagai mangsa mereka kali ini," Daksin menjawab pertanyaan Erawati yang tadi.
"Ashurka?" Pitaloka yang tadi berjongkok kini berdiri.
"Ashurka, begitu kami menyebutnya. Tidak ada yang benar-benar tahu apa nama organisasi itu."
"Apa yang mereka kejar?" tanya Nilam.
"Mereka memburu para penyihir untuk kesenangan, mengambil kekuatan mereka, dan juga untuk menciptakan kesetaraan yang mana hanya boleh ada satu kelompok yang berkuasa, yaitu mereka sendiri," Daksin menjelaskan.
"Apa ada yang pernah membongkar kedok mereka, maksudku, apa sudah ada yang tahu mereka ini sebenarnya siapa?" Erawati yang baru mendengar hal ini jadi penasaran.
"Desas-desus yang tersebar selama ini mengatakan kalau mereka adalah orang-orang dari berbagai aliran yang memiliki pandangan berbeda dengan mayoritas orang di mana mereka berasal. Kabarnya mereka ada yang berasal dari kelompok vadika. Adanya anggapan seperti itu, didasari oleh kesaksikan dari korban yang selamat, para pembunuh itu memiliki ciri khas yang hanya ada pada orang-orang dari aliran-aliran tadi. Alasan keberadaan mereka tidak terlacak adalah karena mereka mendapat bantuan dari para ashura yang menjadi musuh para Dewata ...,"
"Lalu?" sela Arima.
"Ditambah lagi, mereka selalu mengenakan topeng iblis saat beraksi. Selain menutupi identitas mereka, topeng itu juga menyamarkan aura ataupun bau manusia mereka, sehingga membuat siapa pun yang melihat akan mengira bahwa mereka adalah ashura," lanjut Daksin.
"Apa mereka bekerjasama dengan sekte Pralayadipati?" ulik Pitaloka.
"Siapa yang tahu?" Daksin mengeratkan piyamanya. Angin pagi membuat tulangnya terasa ngilu. "Kelompok ini tidak lebih baik dari para lampus—anggota sekte Pralayadipati. Mereka sama-sama kejam dan haus darah. Jarang sekali ada penyihir yang selamat dari tangan mereka bila mereka sudah menandai korban-korban mereka. Yang membedakan hanyalah tujuan mereka saja. Sekte Pralayadipati bertujuan untuk memurnikan tempat-tempat yang dinodai dengan keberadaan para penyihir yang dianggap sebagai makhluk nista. Sedangkan sekte yang satu ini hanya ingin mendapatkan kekuatan penyihir yang mereka buru untuk menguasai dunia."
"Bagaimana mereka bisa sampai di kota ini?" Arima baru kali ini mendengar soal para ashurka. "Selama ini Ibu tidak pernah membicarakan mereka sama sekali."
"Selama ini mereka seolah lenyap selama sepuluh dekade terakhir. Tapi tiba-tiba mereka hadir di kota ini dan mengancam kita," sahut Daksin.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Nilam.
"Nanti sore kita jenguk nenek kalian dan bicarakan ini dengannya. Dia harus tahu masalah ini dan biarkan dia yang mencari jalan keluarnya." Saat ini Daksin memang tak tahu harus berbuat apa. Jujur saja, selama ini yang selalu menyelesaikan masalah ada Chandrika, sedangkan dia hanya bisa membuat masalah saja. "Nilam, Pitaloka, kalian cepat mandi dan berangkat sekolah. Matahari sudah tinggi." Saat ini jam memang sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. "Kalian juga siap-siaplah kalian bekerja," tutur Daksin pada dua keponakannya. Setelah dua cucu dan dua keponakannya masuk ke dalam, Daksin bergumam, "Aku harus melakukan sesuatu. Sampai saatnya nanti kakak bebas, aku akan melindungi keluarga kita sampai titik darah penghabisan." Setelah berkata demikian, Daksin menghapus simbol di tanah itu dengan satu lambaian tangan.
Semuanya sudah selesai mandi dan berpakaian. Daksin pun sudah menyiapkan sarapan dengan secepat mungkin. Dengan sedikit keajaiban, dia bisa menyelesaikan masakannya dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh menit. Yang dia siapkan adalah susu hangat dan roti bakar. Berhubung jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, maka Pitaloka dan Nilam berangkat sekolah diantarkan oleh Erawati, karena arah ke SMA Padmavati dan toko herbal milik Erawati kebetulan searah. Setelah menurunkan dua gadis itu tepat di depan gerbang sekolah, Erawati berpesan agar Pitaloka dan Nilam tetap waspada dan harus tetap bersama.
Mobil Erawatimeninggalkan jalanan. Pitaloka melihat jam tangannya, sudah pukul tujuh kuranglima belas menit. Mereka berdua buru-buru ke kelas sebelum bel masuk berbunyiatau mereka harus menghabiskan satu jam pelajaran untuk membersihkan kamarmandi dan gudang.

KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasi"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."