Kalah Jadi Abu

47 1 0
                                    

Dengan kondisi tubuhnya yang masih luka-luka, Dalu memaksakan diri untuk melawan Erawati. Sisa kekuatannya dia gunakan untuk berubah wujud menjadi makhluk semacam ashura, persis seperti yang Lalita lakukan sebelumnya. Jika Lalita menyerupai ular, Dalu berubah menyerupai burung gagak. Erawati hanya mencibir, menurutnya ilmu Dalu itu masih kelas teri. Dalu sontak merasa dilecehkan. Dia menjapa satu mantra dan itu membuat setiap helai bulunya luruh lalu berubah menjadi burung gagak. Burung-burung hitam legam itu berkoak-koak mengitari Dalu.

"Kamu akan menyesal telah meremehkan kekuatan Dalu," seru Anggara.

Dalu melepaskan gagak-gagaknya ke arah Erawati, namun wanita itu tak tinggal diam. Dia mengarahkan keris ilat kilatnya ke depan dan kilat pun menyambar-nyambar menghancurkan gagak-gagak itu jadi abu. Erawati tersenyum penuh kemenangan. Anehnya, Dalu tidak merasa tersudut, ada seringai di bibirnya. Tak lama kemudian, abu-abu itu beterbangan dan berubah menjadi gagak-gagak yang baru. Kali ini mereka lebih kejam dan ganas. Matanya merah dan aromanya busuk. Belum sempat Erawati melepaskan serangannya, dia sudah diserbu.

Erawati segera ditolong oleh Arima menggunakan mantra bajracandrasa dan membabat habis gagak-gagak yang mengeroyok Erawati. Selain itu, kilatan petir yang muncul tersebut juga langsung menumbangkan Dalu. Anggara terperangah, dia tak menyangka Dalu bisa semudah itu ditumbangkan. Dia berniat kabur. Arima bertindak cepat, dia menggerakkan ranting-ranting untuk membelit Anggara. Erlangga mengawasi pemuda itu.

Erawati berdarah-darah. Nilam berlari menghampiri ibunya, dia hampir terjatuh. Ananta mengejar. Dia pun membantu mengevakuasi Erawati. Daksin dari kejauhan bertanya-tanya siapa pemuda yang membopong Erawati dan dibantu oleh Nilam. Untuk menghabisi rasa penasarannya, dia pun menghampiri. Akhirnya, setelah cukup dekat, Daksin mengetahui siapa pemuda itu adanya.

"Kau seorang Jabang Mayanara?! Apa yang kau lakukan di sini?" Daksin mencengkeram pundak Ananta dan mencampakkannya.

Arima ikut mendekat, "Ada apa, bibi?"

"Pemuda ini Jabang Mayanara. Dia pasti berniat menghabisi Erawati, Nilam, dan kita semua." Mata Daksin menatap penuh kebencian dan kewaspadaan.

"Tidak ... tidak ...," Ananta tergagap, "aku sama sekali tidak berniat jahat."

"Siapa yang mau percaya, hah?!" Daksin sinis.

"Dia sudah menolongku tadi. Aku rasa dia benar-benar tidak berniat jahat pada kita," Nilam membela Ananta. Dan itu cukup membuat Daksin dan Arima melongo.

Tiba-tiba terdengar jeritan. Semua menoleh. Jauh di sana Erlangga ditikam oleh Dalu yang telah bangkit lagi. Tangannya yang berkuku setajam pedang menghunjam dada Erlangga dari belakang. Lantas, lelaki sekarat itu dilemparkan ke arah Anggara. Erlangga kemudian dicekik oleh Anggara yang sudah lepas dari ikatan. Pemuda itu menghisap daya hidup Erlangga hingga bapak satu anak itu mati mengering. Dia hancur jadi abu meninggalkan pakaiannya belaka. Arima benar-benar murka, semuanya murka. Arima berlari mendekati Anggara untuk membalas kematian Erlangga.

"Kau tetap di sini! Urusan kita belum selesai." Daksin menekankan pada Ananta agar jangan beranjak. Lalu dia lari menyusul Arima yang mungkin akan dalam bahaya.

Arima berseru, "Aku akan menghabisi kalian berdua!!!" dia mengeluarkan setangkai bunga yang terbuat dari emas murni. Pada bagian ujungnya yang menyerupai bunga teratai mekar sempurna dengan mahkota dan kelopak yang tampak tajam. Itulah yang disebut dengan puspacakra. "Hadapilah kematian kalian!" Arima melepaskan senjata puspacakranya.

Puspacakra melesat cepat sembari berputar bagaikan bor. Senjata mematikan itu tak akan berhenti sebelum mencicipi darah mangsanya. Ke mana pun mangsanya lari, dia akan mengejar. Setebal apa pun dinding penghalang, itu akan sia-sia di hadapannya. Puspacakra Arima ini serupa dengan senjata Adipati Karna yang menghabisi Gathotkaca. Bentuknya indah bagaikan bunga padma, namun mematikan layaknya cakrasudarsana. Kematian Dalu dan Anggara sudah dipastikan akan terjadi. Apa pun yang mereka lakukan akan sia-sia.

Dalu dan Anggara melakukan gerakan seirama, gerakan itu mirip sebuah tarian. Dari tarian tersebut, mereka mendatangkan sebuah gelombang energi jahat yang sangat pekat. Mereka berusaha melawan puspacakra dengan ilmu mereka. Upaya Anggara dan Dalu ini hanya akan sia-sia belaka. Mereka tetap akan mati juga. Namun agaknya, mereka berdua ingin mati dengan terhormat, mati memerjuangkan hidup mereka sendiri. Dan, pada akhirnya energi yang dua ashurka itu gunakan untuk menahan laju puspacakra mulai melemah. Beberapa detik sebelum tubuh mereka terkoyak, terdengar suara menggema di seluruh hutan. Suara itu meminta Arima untuk menghentikan senjatanya. Arima menghentikan puspacakra. Anggara dan Dalu terkulai.

Semua yang ada di sana terperangah melihat Pitaloka. Dia telah berubah dari gadis biasa menjadi wanita berselimut keagungan. Rambut hitamnya yang panjang tergerai indah. Sedikit berkibar-kibar tertiup angin semilir lembut. Gaun hitamnya panjang hingga menyapu tanah. Matanya menatap tajam bagai elang. Daksin melihat ada aura keemasan menyelimuti cucunya. Aura itu mirip sekali dengan aura Dyah Mandraguna, ibu Daksin dan mendiang Chandrika. Daksin gemetar, dia langsung bersimpuh. Arima melenyapkan puspacakra ke dalam dirinya, dia kemudian—entah bagaimana—jatuh bersimpuh. Ketika Nilam hendak bangkit dan memanggil Pitaloka, dia buru-buru ditahan oleh Erawati yang sudah sadar. Dia pun ikut bersimpuh bersama yang lain. Ananta pun ikut bersimpuh dan dia tak tahu kenapa dia melakukannya.

"Aku telah mengetahui semua kejahatan kalian. Untuk itu, kalian berdua akan dihukum." Aura yang Pitaloka pancarkan sungguh menggetarkan jiwa Anggara dan Dalu. Mereka ingin kabur, namun tanah di mana mereka berpijak seolah tak mengizinkan. "Dari kosong kembali ke kosong. Keberadaan kalian akan dihapuskan menuju ketiadaan. Segala kenanggan dan ingatan terhadap kalian akan sirna bersama sirnanya diri kalian."

Tubuh Pitaloka bercahaya. Matanya menyala bagai obor. Rambutnya berubah putih keperakan. Dia membuka mulutnya. Dari dalam mulutnya itu terdengar desisan yang mengerikan. Suara itu bagaikan api yang mengamuk dan membakar jenazah hingga menjadi abu. Dalu rikuh. Dia ingin lari, tapi dia seperti tertarik oleh suatu kuasa tak kasat mata. Dia tak kuasa menahan diri lagi, dia hanya bisa mengikuti tarikan yang ada. Dalu melayang menuju mulut Pitaloka yang menganga. Gadis itu menjerit kesakitan. Dia memohon pengampunan. Nasi telah menjadi bubur. Dia telah lebur dan masuk ke dalam mulut Pitaloka. Dalu tak ubahnya seekor anai-anai yang terbang masuk ke dalam perapian dan mengakhiri kehidupannya sendiri.

Pitaloka menatap Anggara yang membatu, "Waktumu telah tiba, Anggara." Pemuda itu menitikkan air mata karena saking takutnya.

Pitaloka mencengkeram kepala Anggara dengan tangan kiri. Tangan kanannya memegang belati. Bagaikan tak ingin membuang waktu lagi, Pitaloka segera menghunjamkan belati itu tepat di jantung Anggara. Pemuda itu tak punya kesempatan untuk mengerang kesakitan, lidahnya sudah keburu kelu. Dan selanjutnya, belati itu menggorok lehernya. Dihempaskanlah ke tanah tubuh Anggara yang sudah tak bernyawa. Pitaloka, sang mahavadika, membuka mulutnya lebar-lebar. Dia menginjakkan kaki kanannya ke atas dada Anggara. Tubuh tak bernyawa itu sontak jadi abu dan abu tersebut masuk ke dalam mulut sang mahavadika.

MANDRAGUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang