Ini adalah malam bulan purnama ketiga belas bagi Pitaloka, yang mana ini adalah pembukaan ketiga belas sekaligus yang terakhir. Tidak ada yang bisa mereka lakukan—seperti yang sudah-sudah. Membiarkan proses ini berjalan begitu saja dan berakhir dengan sendirinya. Mereka pikir ini akan berlangsung lima belas menit seperti malam yang sudah-sudah. Sekarang sudah lebih dari lima belas menit, dan Pitaloka masih seperti kesetanan. Mungkin, ini akan menjadi pembukaan paling menyakitkan—tiga belas kali lebih menyakitkan—bagi Pitaloka seorang. Ya, hanya dia seorang yang tahu betapa menyakitkannya itu.
Aura yang dia pancarkan semakin kuat. Barang-barang mulai berterbangan. Bagaikan badai masuk ke dalam rumah. Pitaloka juga terangkat ke udara, mengapung seperti tubuhnya tak berbobot barang satu gram. Arima mencoba mendekati tubuh Pitaloka, namun tangannya seperti terbakar api ketika dia menyentuh tangan sang putri. Tangan Arima memerah, hampir melepuh. Malam ini sungguh kacau. Agaknya ini adalah malam terburuk selama Pitaloka menjalani fase pembukaan.
Pitaloka melengking. Auranya meledak. Daksin sampai tersentak. Gadis itu lalu jatuh, untungnya segera ditangkap oleh Arima dan Erawati. Rumah saat ini berantakan sekali. Nilam, Chandrika, dan Daksin mulai berberes. Arima terus memeluk putrinya, sedangkan Erawati menyalurkan energi pada keponakan yang sudah seperti putrinya juga. Chandrika meminta Erawati untuk membuat ramuan pemulih, sedangkan dia sendirilah yang akan menyalurkan energi pada Pitaloka. Lama sekali gadis ini tak sadarkan diri. Sampai ramuan yang dibuat bibinya jadi, dia masih memejamkan mata—entah berada di mana kesadarannya saat ini.
Jauh di dalam diri Pitaloka. Dia tersadar di sebuah hutan yang gelap. Hanya ada cahaya bulan yang menjadi penerang. Cahaya bulan itu seolah menjadi lentera penuntun jalan bagi Pitaloka. Dia mengikuti bimbingan cahaya yang dihasilkan oleh permata di langit malam. Sampailah Pitaloka di sebuah gua yang sangat gelap—jauh lebih gelap dari hutan yang telah dia susuri. Dari dalam sana dia mendengar suara dengungan yang begitu nyaring. Bagaikan dengungan jutaan lebah. Dia dibuat ngeri karenanya. Hati kecil Pitaloka membimbingnya untuk masuk ke dalam gua. Dalam kegelapan gua, hanya insting yang Pitaloka andalkan. Tidak ada cahaya setitik pun. Sampailah dia di penghujung perjalanannya. Di depan sana ada seseorang berpakaian serba hitam tengah duduk dalam posisi meditasi. Dari tubuhnya itu memancarkan kilauan-kilauan cahaya menyilaukan. Sejurus kemudian Pitaloka menyadari satu fakta. Ternyata suara yang menyerupai dengungan jutaan lebah itu berasal dari sosok wanita yang tengah duduk bermeditasi di hadapannya.
Sosok itu berhenti mengeluarkan dengungan. Dia mengakhiri meditasinya. Matanya terbuka dan segera mendapati sosok Pitaloka di hadapannya, menatap dengan perasaan takut. Memang benar Pitaloka mulai gemetar. Sosok itu memanggil Pitaloka untuk semakin mendekat. Pitaloka berjalan perlahan. Kakinya terasa berat. Entah kenapa bisa seperti itu. Tubuhnya dingin dan menggigil. Jantungnya berdebar-debar. Gelisah rasanya.
"Siapakah engkau?" tanya Pitaloka. Suaranya bergetar penuh rasa takut.
"Aku adalah ibu semua vadika," jawab sosok itu. "Akulah vadika yang pertama dan yang utama," lanjutnya. "Di antara pancakula vadika, aku adalah Mandraguna. Dalam trirupha vadika, akulah ketiganya: wredha, madya, dan kumari. Di antara semua vadika, akulah Sang Mahavadika."
"Di mana aku berada sekarang ini?" Pitaloka tampak kebingungan. Dia terus merasa gusar.
"Kamu tidak berada di mana-mana. Kau tidak akan menemukan jika mencari, tidak akan melihatnya jika membuka mata, dan tidak akan merasakan keberadaannya jika mencoba untuk menyentuh. Tempat ini begitu dekat denganmu, namun kau sama sekali tidak bisa menyentuhnya. Tempat ini juga jauh, tapi tanpa jarak yang membentang."
"Apa maksudnya? Aku terlalu bodoh untuk mengerti kata-katamu, wahai Mahavadika," Pitaloka merasa kesulitan mencerna setiap perkataan sosok itu.
"Di sinilah yang disebut dengan Driyaloka. Letaknya berada di keheningan, kepekatan, kegelapan, dan kekosongan. Di dalam keheningan akan kau temui keramaian. Di dalam kepekatan akan kau rasakan kesemuan. Dalam kegelapan akan kau saksikan cahaya. Di dalam kekosongan akan kau dapati segalanya tercipta di sini."
"Apa sebenarnya Driyaloka itu?"
"Driyaloka adalah Semesta di mana Sang Hyang Pramana bertakhta. Ada tiga tingkat Driyaloka yang harus kau masuki. Manaloka, Rahsaloka, dan Karsaloka. Dan, kau sekarang berada di tingkat pertama, Manaloka. Di sini semua kehendak, angan, harapan, dan cita-cita dilahirkan."
"Lantas kenapa aku bisa ada di sini? Aku ingin pulang, bagaimana caranya? Keluargaku pasti sudah menunggu."
"Ini adalah saatnya kamu memilih, Pitaloka. Ingin menjadi siapa dirimu? Mandraguna atau Pitaloka?"
Pitaloka terdiam. Dia berpikir apa gerangan maksud pertanyaan tersebut. Lantas, dia pun memberanikan diri untuk menjawab, "Bukankah Mandraguna dan Pitaloka adalah sosok yang sama? Untuk apa aku harus memilih? Aku rasa ini adalah pertanyaan jebakan. Apa yang akan terjadi jika aku memilih Mandraguna dan apa yang akan terjadi kalau aku memilih Pitaloka?"
"Jika kau memilih Mandraguna, maka kau akan menjadi Mandraguna yang sama, yang pernah hidup ratusan tahun yang lalu. Kekuatan, kesadaran, dan kebijaksanaan semuanya sama. Akan tetapi, jika kamu memilih Pitaloka, kamu akan menjadi Mandraguna yang baru. Memulai semuanya dari awal lagi. Kau bisa jadi lebih buruk atau lebih baik dari Mandraguna yang sebelumnya. Sekarang pilihlah, ingin menjadi siapa dirimu?" sosok ini sungguh membuat Pitaloka dilema.
Jika Pitaloka memilih menjadi Mandraguna, maka semua ingatan tentang siapa dirinya saat ini akan sirna. Dia tidak akan ingat kalau namanya adalah Pitaloka. Tidak akan ingat punya ibu bernama Arima, ayah bernama Erlangga, dan ayah sambung bernama Gajanendra. Dan, pasti tidak akan ingat persahabatan yang telah dia sambung dengan Lalita, dan Dalu. Bahkan, dia pun akan lupa dengan Nilam. Sebaliknya, yang dia akan ingat adalah dirinya sebagai Mandraguna sang Mahavadika, ibu dari Chandrika dan Daksin. Setelah merenungkan semuanya masak-masak, Pitaloka pun membuat keputusan.
"Ini adalah hidupku. Aku terlahir sebagai Pitaloka. Aku putri dari Arima dan Erlangga. Cucu dari Chandrika. Saudari dari Nilam. Dan, sahabat dari Lalita, dan Dalu. Maka dengan tegas aku katakan, bahwa aku memilih Pitaloka sebagai hidupku."
Pasca Pitaloka menentukan pilihannya, sosok di hadapannya tadi berubah wujud menjadi Dakini Saptamukhanagini, si ular berkepala tujuh. Dia kemudian berubah wujud lagi, kali ini menjadi sebuah pijar cahaya yang amat terang. Dan, pijar cahaya tersebut membawa Pitaloka ke Driyaloka yang berikutnya, yaitu Rahsaloka.
Di dalam Rahsaloka, semua perasaan, emosi, bisikan-bisikan, dorongan, getaran, dan hasrat dilahirkan. Di sana Pitaloka berhadapan dengan sosok yang menyerupai dirinya. Sosok itu tak lain adalah Mandraguna sendiri. Pitaloka kembali diuji. Ujiannya begitu berat. Pitaloka menyadari kalau dirinya masih nol besar dan dia juga menyadari kalau dia bukan orang bijak. Maka, dengan tegas Pitaloka mengatakan pada Mandraguna, bahwa dia mengharapkan kepandaian dan kebijaksanaan Mandraguna manjing di dalam dirinya. Sebab, meskipun telah memutuskan untuk hidup sebagai Pitaloka, namun dia tak bisa memungkiri kalau dirinya adalah Mandraguna yang terlahir kembali. Mandraguna tersenyum, lalu tubuhnya berubah menjadi sosok wanita dengan mahkota harimau dan berkulit kuning langsat. Sosok itu adalah Dakini Sarduladhatu Setelah itu dia berubah menjadi pijar cahaya yang membawa Pitaloka ke Karsaloka.
Karsaloka adalah dunia di mana kehendak dan perasaan diwujudkan melalui sebuah tindakan yang nyata. Di alam ini Pitaloka di hadapkan pada sosok menyerupai sang nenek, Chandrika. Pitaloka mulai diuji. Berkat sudah manjing sifat bijaksana dari Mandraguna, Pitaloka kini mampu mengambil keputusan dengan cukup tepat. Dia tidak ingin menjadi seperti sang nenek. Dia sangat menghormati sang nenek dan sangat mengidolakan sosoknya. Akan tetapi, dia berkeinginan untuk bertindak dan mengambil keputusan sebagai seorang Pitaloka, bukan Chandrika. Sebab, hidup ini adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab dirinya sendiri. Meski demikian, Pitaloka juga tidak ingin menghilangkan Chandrika sebagai sosok panutan. Chandrika tersenyum, lalu berubah menjadi Dakini Vajrakalika kemudian jadi pijar cahaya. Bias menyilaukan itu kemudian menyadarkan Pitaloka.
"Akhirnya kamu sadar, Nak," Arima bahagia. Dia terus menciumi putrinya.
"Kau membuat kami khawatir," timpal Erawati.
"Semoga ini malam terakhir kita menyaksikan kamu tersiksa seperti tadi," begitu harapan Chandrika. "Sebab, aku pun ikut merasa tersiksa ketika menyaksikan kamu seperti tadi."
"Tidak akan!" jawab Pitaloka lemah. "Ini tidak akan terjadi lagi," lanjutnya. "Semuanya sudah berakhir. Penderitaan ini sudah berakhir. Aku tidak akan membuat kalian merasa khawatir lagi.
"Aku senang kau kembali,Pitaloka," Nilam segera memeluk sepupunya yang tadi sempat tak sadarkan diri beberapa waktu lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasy"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."