Chandrika langsung bangkit dan mencari Arima yang asli. Napasnya memburu, air matanya tak henti-hentinya mengucur. Dan, dia pun menemukan tubuh Arima yang tergolek tak bernyawa di ruang yang biasa digunakan untuk melakukan ritual dan membuat obat. Chandrika menjerit histeris, dia menangis sejadi-jadinya. Dipeluknya tubuh tak bernyawa yang bermandikan darah itu. Gaja berlari menghampiri suara Chandrika, setelah dia menemukan Chandrika, dia juga menemukan istrinya yang mati mengenaskan.
"Kalau kau sampai melukai Pitaloka, kau akan berhadapan denganku," seru Erlangga. Lalu, dia berlari keluar kamar dan menuju suara tangisan yang begitu menyayat hati dari seorang ibu. Sama seperti Gaja, Erlangga hanya bisa jatu bersimpuh dan memukul-mukul tanah. Dia menangis tertahan, dadanya serasa mau pecah.
Daksin ingin melihat Arima, tapi dia tak bisa meninggalkan Pitaloka seperti itu. "Kuhabisi kau!" Daksin siap untuk melepaskan serangan.
"Sekali saja kau melangkah atau membuat perlawanan, bersiaplah melihat darah segar mengucur deras dari leher anak ini," ancam Arima.
"Kau pikir kau bisa membunuhku semudah itu?" suara itu keluar dari mulut Pitaloka.
"Jangan banyak bicara atau belati ini akan menggorokmu," ancam Arima palsu.
Tiba-tiba saja, dalam sekejap mata, tubuh Pitaloka berubah menjadi kabut hitam. Daksin dan Katriyani terkejut, begiu pula Arima palsu yang keji. Arima panik, dia mulai menerka-nerka apa yang akan dilakukan oleh Pitaloka berikutnya. Belum habis terkejutnya, Kedasih, Daksin, dan Katriyani kembali dibuat terkejut saat tubuh Nilam yang tadi tergeletak tak sadarkan diri juga berubah menjadi seekor anjing hitam sebesar domba. Matanya nyalang menatap Arima, lalu dia menggeram menampakkan taring yang berjajar.
Arima palsu waspada, dia bersiap melakukan serangan jika sewaktu-waktu anjing itu menyergapnya. Benar saja, anjing hitam mengerikan itu melompat dan menggigit bahu Arima palsu. Dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh menjebol jendela kamar. Dengan belati di tangannya, Arima palsu menusuk leher anjing yang menggigitnya hingga gigitan itu lepas. Lalu, Arima palsu itu kembali ke wujud aslinya. Daksin dan Katriyani untungnya sempat melihat wajahnya sebelum dia kabur dengan ilmu amblas bumi.
Daksin dan Katriyani berbalik arah, mereka terkejut dengan kehadiran sosok berjubah hitam yang wajahnya tutup cadar hitam. Kabut hitam juga menyelimuti tubuhnya, sehingga Daksin dan Katriyani tak tahu siapa adanya sosok itu. Daksin memberanikan diri bertanya siapa gerangan sosok itu, lalu perlahan-lahan dia membuka cadar dan tudung yang menutupi kepala. Kabut hitam yang menyelimutinya sirna juga. Kini, tampaklah wajah dari sosok yang tadi menyaru sebagai Pitaloka. Daksin melotot, ada rasa tak percaya yang begitu besar. Bagaimana dia bisa percaya kalau ini nyata saat orang yang sudah mati tiba-tiba berdiri di hadapannya dalam keadaan yang luar biasa baik.
Sosok itu adalah orang yang sangat dekat dengan Daksin, dia yang selalu membelanya saat Chandrika memarahinya habis-habisan. Orang itulah yang memberi Daksin kalung yang menjadi tanda kehidupannya. Wanita itu tak lain adalah Sona Mandraguna, kakak Chandrika dan Daksin. Sosok bernama Sona itu menyapa Daksin. Dan, wanita yang mampu berubah menjadi ular itu tak sanggup lagi menahan air mata. Dia berlari menghampiri sang kakak dan menghambur dalam pelukan yang dia rindukan.
Daksin baru teringat sesuatu. "Aku harus memberitahu Chandrika."
Masih di tempatnya, Chandrika memeluk anaknya yang sudah tiada dalam balutan baju pengantin penuh darah. Pakaian yang dia kenakan pun ikut ternoda oleh darah. Saat dia hendak mencium tangan putrinya, dia mendapati sesuatu ada dalam genggaman Arima. Ada sebuah potongan kain hitam kecil. Chandrika langsung berasumsi kalau itu adalah kain dari si pembunuh. Daksin masuk ke ruangan itu dan memeluk Chandrika dari belakang. Di situ dia kemudian berbisik kalau Sona masih hidup dan sekarang dia ada di sini. Chandrika menganggap itu hanya candaan, dia sama sekali tidak percaya. Lantas, Sona muncul dari belakangnya, menyapa dengan suara yang hangat. Chandrika menoleh dan sungguh masih tak percaya kalau orang yang saat ini dia lihat adalah Sona. Air mata Chandrika menetes tak terkendali, Sona datang mendekati dan menyeka air mata adiknya. Dipeluknya ibu yang telah kehilangan dua putri yang menjadi alasannya untuk tetap kuat menghadapi hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasía"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."