Pitaloka dan Nilam bersalaman pada ibu serta nenek mereka. Seperti biasanya, mereka selalu berangkat berdua dengan wajah berseri. Mereka tampak sangat akrab, seperti halnya Arima dan Erawati. Tapi semua itu tidak benar. Apa yang disaksikan Chandrika, Erawati, dan Arima tentang Pitaloka dan Nilam semuanya tak benar. Yang sebenarnya adalah, mereka tak sedekat itu. Mereka hanya berpura-pura akrab di hadapan keluarga saja. Pitaloka sebenarnya sangat benci pada Nilam, tapi Nilam justru sebaliknya. Dia selalu sayang pada Pitaloka meskipun Pitaloka selalu ketus padanya.
Perpecahan antara Pitaloka dan Nilam terjadi sejak mereka duduk di bangku kelas satu SMA. Semuanya gara-gara Anggara, seorang pemuda yang populer di SMA Padmavati. Pitaloka sudah menaruh hati pada Anggara sejak masa orientasi, tapi dia terus memendam perasaannya dan tidak menceritakan perasaannya itu pada Nilam. Saat Pitaloka hendak menyatakan perasaannya pada Anggara di tengah semester, di saat yang sama Anggara justru tengah menyatakan perasaannya pada Nilam. Ketika itu, Nilam yang tak tahu perasaan Pitaloka pada Anggara pun menerima cinta Anggara karena dia tak dapat memungkiri bahwa dia juga menyukai pemuda itu.
Sifat Pitaloka pada Nilam pun berubah, dia jadi ketus, sinis, dan juga kasar. Saat ditanya kenapa Pitaloka seperti itu, Nilam hanya mendapatkan berbagai kata kasar yang membuat hati Nilam perih. Hingga suatu ketika, Nilam tanpa sengaja mendapati buku harian Pitaloka yang berisi kekesalannya pada Nilam dan Anggara serta perasaannya pada Anggara yang sudah lama dia pendam. Nilam merasa bersalah. Pitaloka marah besar saat Nilam membaca buku hariannya, lantas bersumpah tidak akan pernah memaafkan Nilam sekalipun Nilam sekarat dan mati di kemudian hari. Nilam menerima itu, tapi dia meminta agar mereka berdua tetap terlihat akrab saat di depan keluarga. Pitaloka setuju, karena dia tak ingin membuat hubungan ibu dan bibinya retak yang akan menghasilkan kesedihan pada nenek.
Tak lama setelah Pitaloka dan Nilam berangkat, Arima dan Erawati juga berangkat kerja, meninggalkan Chandrika di rumah sendirian. Arima bekerja sebagai dosen di Fakultas Okultisme dan Pengetahuan Supranatural Nusantara di Universitas Niskaladriya. Sedangkan Erawati bekerja sebagai Herbalis di apotek herbal yang dibangun ibunya sejak belasan tahun yang lalu. Setelah dua putrinya berangkat kerja, Chandrika melakukan pekerjaan rumah seperti biasanya. Menyapu halaman, menyiram bunga, mengepel lantai, semuanya dia lakukan tanpa menggunakan kekuatan sihirnya. Dia melakukan semua itu layaknya manusia biasa.
Chandrika yang sudah menyelesaikan pekerjaan rumahnya memutuskan untuk memasak, tapi ternyata bahan makanannya sudah habis. Dia pun mengambil kunci mobil dan pergi berbelanja. Tak lama setelah kepergian Chandrika ke pasar, seekor ular kobra hitam meliuk-liukkan tubuhnya yang panjang hingga dua meter itu, dia meliuk masuk ke dalam halaman rumah Keluarga Mandraguna. Dia terus meliuk-liuk hingga sampai di teras rumah, matanya menatap ke segala penjuru. Lidahnya beberapa kali menjulur untuk mendeteksi adanya makhluk lain. Dia bergerak maju, berusaha untuk masuk melalui celah pintu, tapi celah itu terlalu sempit. Ular itu pun memutuskan mencari celah lain yang lebih besar dari besar tubuhnya. Dia pun melihat ada jendela yang terbuka, lantas dia pun masuk ke dalam rumah melalui jendela yang terbuka itu. Entah apa yang ular beracun itu cari di dalam rumah, apa dia ingin membuat sarang atau hanya ingin menumpang berteduh saja, hanya si ular itu sendiri yang tahu.
Sebuah mobil berjalan perlahan masuk ke dalam halaman rumah Keluarga Mandraguna. Orang yang ada di dalam mobil itu tak lain adalah Chandrika. Dia turun dari mobil dan membawa barang-barang belanjaannya ke dalam rumah. Saat Chandrika masuk ke dapur dan meletakkan barang belanjaannya di dekat kulkas, ada seekor ular kobra hitam yang menatapnya dari atas meja makan. Chandrika berbalik dan terkejut melihat ada ular di atas meja makannya. Melihat reaksi kaget Chandrika, ular itu tidak bereaksi, entah berusaha mematuk atau menyemprotkan bisa dari mulutnya. Dia hanya menatap ular itu dengan tatapan kesal, bukannya takut atau panik. Sedangkan si ular hanya menjulur-julurkan lidahnya saja. Tiba-tiba ular itu melompat dan bertambah besar hingga berubah menjadi sosok wanita tanpa busana.
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasía"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."