Bak Tertelan Bumi

49 2 0
                                    

Chandrika lantas menggiring semuanya ke ruang keluarga dan membicarakan semuanya. Untuk menjaga privasi, Chandrika meminta orang-orang yang menghias rumahnya untuk istirahat dulu. Setelah rumah sepi dari pekerja, Chandrika segera meminta Erlangga untuk menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi, pria itu sibuk mengamati ruangan tamu yang dihiasi bunga melati dan sedap malam. Dia kemudian berujar secara tiba-tiba, dia mengatakan kalau suasana ini mengingatkannya saat hari pernikahannya dengan Arima bertahun-tahun silam. Chandrika mendesak Erlangga agar segera bicara. Pria itu kemudian menceritakan perjalanan panjangnya lima belas tahun yang lalu.

"Lalu kenapa kamu tidak kembali pada kami?" tanya Pitaloka sinis.

"Aku tidak berani langsung pulang ke Gandasuli, jadi aku menunggu waktu yang tepat sambil mengumpulkan keberanian. Sepuluh tahun kemudian, aku kembali ke Gandasuli tapi aku mendapati kalian bahagia tanpaku. Aku selalu mengawasi kalian. Dan, aku juga berduka saat Sanjaya pergi meninggalkan keluarga ini. Aku bolak-balik Semanu-Gandasuli hanya untuk melihat keadaan kalian dari kejauhan," Erlangga mengisahkan. "Aku sangat merindukan kalian semua, terutama kamu dan ibumu, Pitaloka," lanjutnya.

"Dasar pengecut!" celetuk Arima.

"Iya, memang benar aku pengecut. Aku mengakui itu," Erlangga menerima cemoohan Arima dengan lapang dada. "Kau boleh marah ataupun benci padaku, tapi jangan buang aku dari keluarga ini."

"Ada atau tidaknya kamu di sini, itu tidak berpengaruh banyak bagiku ataupun Pitaloka. Kami berdua baik-baik saja tanpamu," ujar Arima dengan nada kemarahan.

"Kalau kau tidak mengizinkanku datang untukmu, setidaknya izinkan aku datang untuk Pitaloka," Erlangga terus memohon.

Tiba-tiba Pitaloka berdiri dan bicara dengan nada meninggi. "Untuk apa kamu datang untukku? Kalau kamu ingin bertanggung jawab sebagai ayah, maaf harus mengecewakanmu, karena saat ini aku sama sekali tidak membutuhkanmu. Memanggilmu dengan sebutan ayah saja aku enggan, apalagi harus hidup bersama denganmu." Mata Pitaloka berkilat-kilat, tangannya meremas erat, dan bibirnya mengatup. Kemarahannya memuncak.

Erlangga mendekati Pitaloka dan meraih tangan gadis itu. "Ayah mohon, Sayang, izinkan ayah menjadi ayahmu."

"Lepaskan!!!" Pitaloka yang merasa risih langsung mengibaskan tangannya yang ada dalam jangkauan Erlangga. Amarah yang menggebu membuat Pitaloka tanpa sengaja melemparkan ayahnya hingga membentur dinding. Dan, pingsan!

Arima dan yang lain membelalak lebar. Mereka tak menyangka kalau Pitaloka akan melempar Erlangga hingga seperti tadi. Nilam yang melihat aura hitam kemerahan memancar dari tubuh Pitaloka pun berusaha untuk mendekati untuk meredam amarahnya. Belum sempat Nilam menggapai pundak sepupunya itu, Pitaloka lebih dulu berlari menuju pintu dan keluar rumah. Nilam mengejar Pitaloka yang lari menjauh dar rumah menuju bukit belakang rumah di mana biasanya semua anggota Keluarga Mandraguna menjalankan ritual. Anehnya, tiba-tiba jejak kaki Pitaloka berakhir di depan sebuah batu setinggi satu setengah meter yang dikelilingi bunga kenikir liar yang tumbuh lebat. Dia berseru memanggil-manggil nama Pitaloka, tapi sama sekali tidak ada yang menyahut.

Pitaloka menghilang bak tertelan bumi. Nilam basah kuyup karena hujan yang turun rintik-rintik. Dia menggigil kedinginanan. Kakinya yang tanpa alas kaki dan berlumuran lumpur sudah tidak dia hiraukan lagi. Dan, beberapa bagian bajunya juga terkena cipratan lumpur saat berlari mengejar Pitaloka tadi menambah kacau penampilannya. Nilam jatuh bersimpuh, dia tak peduli lagi kalau dia duduk di atas tanah basah nan berlumpur. Sesekali dia memanggil nama Pitaloka dalam keputusasaan.

Nilam bangkit, meski tubuhnya lemah tak berdaya. Dia kedinginan dan juga putus asa. Saat dia berbalik arah memunggungi batu besar yang di mana jejak kaki Pitaloka berakhir, tiba-tiba muncul sosok berjubah hitam yang berselimut kabut putih keluar dari batu besar itu. Kedatangannya tidak Nilam sadari. Sosok itu mengulurkan tangan, meraih pundak Nilam, lalu menarik gadis itu masuk ke dalam batu. Nilam menjerit histeris, tapi jeritannya lenyap seketika setelah seluruh tubuhnya terbawa masuk ke dalam batu bersama sosok berjubah hitam.

Hari semakin sore, Nilam dan Pitaloka belum kembali. Erlangga bahkan sudah sadar sedari tadi. Arima dan Erawati jadi khawatir dengan dua gadis itu, lantas Erlangga yang baru saja tersadar dari pingsannya memutuskan untuk mencari putri dan keponakannya. Arima dan Erawati langsung berseru untuk ikut dalam pencarian. Chandrika dan Daksin memilih tetap tinggal di rumah, siapa tahu Pitaloka dan Nilam pulang saat yang lain tengah mencari. Dan, benar saja, Nilam dan Pitaloka muncul entah dari mana memasuki halaman rumah. Daksin yang sedari tadi berdiri di dekat jendela mengawasi keadaan langsung berlari menekati Chandrika yang termenung, lalu berkata dengan histeris kalau Nilam dan Pitaloka sudah kembali.

Dua wanita tua itu berlari keluar rumah menyambut dua gadis yang tadi sempat menghilang. Daksin langsung memeluk Nilam dan Pitaloka bergantian, begitu pula Chandrika. Saat ditanya dari mana saja mereka, dua gadis itu hanya saling pandang lalu serempak mengatakan kalau ceritanya panjang. Tanpa curiga atau penasaran lebih lanjut, Chandrika dan Daksin langsung menyuruh mereka untuk mandi dan menghangatkan tubuh mereka di dekat perapian. Jangan sampai mereka jatuh sakit, karena besok adalah hari pernikahan yang ditunggu-tunggu oleh Arima dan Gaja.

Selagi Chandrika membuatkan teh dan menyalakan perapian untuk Nilam dan Pitaloka yang baru kelar mandi, Daksin menghubungi ponsel Erawati dan mengabarkan kalau Nilam dan Pitaloka sudah pulang ke rumah. Erawati tampak lega dan memberitahukan kalau Nilam dan Pitaloka sudah pulang pada Arima dan Erlangga. Mereka berdua ikut bernapas lega. Kemudian, kembalilah mereka ke rumah, karena langit mulai bergemuruh lagi.

Angin dingin menusuk juga mulai berembus menerpa kulit mereka yang berbalut baju setengah basah akibat gerimis rintik-rintik. Melihat Arima kedinginan, Erlangga langsung berinisiatif untuk melepas jaket kulitnya dan memakaikan pada Arima. Wanita satu anak itu tidak bisa menolak, karena dia memang sangat kedinginan. Erawati menyadari sesuatu, dia melihat sinar-sinar cinta di mata Arima. Saat Erlangga berjalan lebih dulu di depan mereka, Erawati mengambil kesempatan untuk bicara pada Arima tentang perasaannya pada Erlangga. Dan, kakaknya itu segera salah tingkah. Jelas sudah kalau Arima masih mencintai Erlangga.

"Jangan bahas ini lagi, besok aku akan menikah dan memulai hidup baru. Lagipula, dia hanyalah masa lalu," ternyata Arima tak nyaman dengan topik itu.

"Tapi kau akan melukai dirimu sendiri," ujar Erawati.

"Kau bercanda, ya?" Arima tertawa sinis. "Aku cinta pada Gaja."

"Tapi kau juga cinta pada Erlangga, bukan?" Erawati terus mendesak.

"Sudah cukup! Kalau kau bicarakan ini lagi, kita tidak perlu bicara selamanya." Arima berasil membungkam Erawati. Tak ingin membuat kakaknya marah, Erawati memutuskan diam.

Di rumah, semua anggota keluarga berkumpul di ruang keluarga untuk membahas masalah Erlangga, Arima, dan Pitaloka. Dari diskusi keleuarga itu, masalah dapat diselesaikan dengan kepala dingin. Pitaloka bersedia menerima Erlangga sebagai ayahnya yang sejujurnya telah dia rindukan. Arima pun begitu, dia mengembalikan hak-hak Erlangga sebagai ayah bagi Pitaloka, namun dengan satu syarat. Dan, syaratnya Erlangga tidak boleh lagi tinggal di rumah ini, karena besok adalah hari pernikahan Arima dan Gaja. Segera, Gaja akan menjadi ayah sambung bagi Pitaloka.

Erlangga tidak keberatan dengan syarat yang Arima berikan, toh dia juga sudah membeli rumah di sekitar sini. Jadi, sewaktu-waktu dia bisa datang mengunjungi Pitaloka. Di tengah perbincangan, tiba-tiba Erlangga mengungkit kisah lama, kisah di mana dia dan Arima kali pertama bertemu. Arima memintanya jangan mengungkit itu lagi, namun Pitaloka dan Nilam penasaran. Erlangga dengan wajah berseri-seri menceritakan kalau dulu pertemuannya dengan ibu Pitaloka sangatlah unik.

Sedang asyik bercerita,Arima yang tampak tak nyaman sekaligus malu-malu meminta agar ceritanya dihentikan.Dan, dia meminta agar Erlangga segera pulang karena hari semakin larut dananak-anak harus istirahat untuk hari pernikahan besok. Jelas sekali kalau ibuPitaloka itu ingin mengusir Erlangga, tapi dia menggunakan cara yang palinghalus. Erlangga mengerti dengan itu, lalu dia pamit pulang. Dipeluknya denganerat tubuh putri yang selama ini dia rindukan, lalu dia tinggalkan sebuahkecupan di keningnya yang dulu selalu dia kecup sebelum menidurkan bayiPitaloka.

MANDRAGUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang