Chandrika mengumpulkan anggota keluarganya. Semuanya ada di ruang tamu, kecuali Gaja, Arima, dan Erlangga. Nilam diintrogasi oleh Chandrika, gadis itu tak berkutik. Dia tak dapat berbohong lagi, semuanya sudah terbongkar. Benar kata pepatah lama, bangkai akan tercium meskipun sudah tersimpan dengan rapi. Erawati adalah orang yang paling tidak terima dengan kebongan yang dilakukan oleh Pitaloka dan Nilam. Erawati murka bahkan sampai hampir melayangkan tangannya ke wajah Nilam, namun buru-buru dicegah oleh Pitaloka.
Chandrika, Daksin, dan Erawati sungguh menyesalkan apa yang sudah terjadi, selama ini mereka berharap tidak ada rahasia di dalam keluarga. Namun, Nilam dan Pitaloka malah menyimpan rapat kejadian seperti ini dari keluarga yang lebih tua. Dua gadis yang sudah bersekongkol untuk menyembunyikan kebenaran itu pun tidak bisa melakukan hal lain selain meminta maaf sambil berlutut dan memeluk kaki Chandrika yang begitu murka hingga matanya memerah bak batu merah delima. Ini adalah hal yang mengerikan ketika melihat seorang wredha menampakkan wujud murkanya yang mengerikan, siapa pun yang ada di hadapannya akan hancur tak tersisa. Permintaan maaf Nilam dan Pitaloka belum bisa meredam amarah Chandrika. Rambutnya yang putih itu mulai memerah bak rambut api dan tubuhnya berubah hitam kebiruan.
"Chandrika, tenangkan dirimu," Daksin berusaha meredam amarah Chandrika. "Mereka sudah minta maaf, kau harus meredam amarahmu. Kau tidak boleh menunjukkan wujud murkamu di hadapan anak dan cucumu ini."
Rambut api yang berkibar-kibar mulai padam. Rambut putih keperakan kembali muncul. Kulit Chandrika kembali ke warna asal, begitu juga dengan biji matanya. Dia berjongkok dan membangunkan Nilam dan Pitaloka dari sikap bersimpuhnya. Chandrika memeluk mereka erat. "Lupakan yang sudah terjadi. Yang lalu biarlah berlalu. Jadikan ini sebagai pelajaran hidup. Ini bukan hanya pelajaran bagi Nilam dan Pitaloka, tapi untuk kita semua juga. Kita adalah keluarga, keluarga ada untuk saling menjaga tanpa ada rahasia di dalamnya." Daksin dan Erawati kemudian ikut menghambur dalam pelukan.
"Lalu apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" tanya Erawati.
"Pertama, aku ingin kau tahu bahwa Gaja, Kakak iparmu, adalah Jabang Mayanara yang akan menghancurkan keluarga kita. Dialah yang akan menggenapi kutukan dari Kalyani." Erawati sontak menganga, sebelum dia bisa berkomentar, Chandrika melanjutkan pernyataannya. "Ibunya, wanita bernama Katriyani itu, di masa lalunya adalah wanita yang gila. Dengan pemikiran naifnya dia memanggil Caladanawa ke dunia ini agar dia bisa mendapatkan seorang Jabang Mayanara. Tidak ada yang tahu apa tujuannya melahirkan Gaja ke dunia ini. Dia sama berbahayanya dengan Kedasih, wanita yang sempat membunuhmu dan juga Arima."
"Kenapa Ibu baru bilang sekarang? Kenapa tidak bilang dari dulu? Jika ibu dan bibi mengatakannya waktu itu, aku tidak akan membiarkan Kakakku menikahi orang yang akan menghancurkan keluarga kita," Erawati menyesalkan kenapa ibu dan bibinya tega merahasiakan hal ini. "Kalian membuatku merasa menjadi adik yang tidak berguna. Seharusnya aku bisa meyakinkan Arima untuk tidak menikahi Gaja."
"Lantas bagaimana dengan Jabang Mayanara yang lahir dari rahimku? Apa dia juga akan menjadi penyebab kehancuran keluarga kita?" sela Nilam.
"Berdasarkan penuturan Bhawani, Jabang Mayanara yang berasal dari rahimmu itu ada dalam asuhan seorang pengiwa licik yang ingin menguasai Nusantara. Bisa jadi, Jabang Mayanara yang dia besarkan itulah yang akan menjadi sumber kekuatannya," jawab Chandrika.
"Jadi, Jabang Mayanara yang mana yang akan menjadi penyebab kehancuran keluarga kita?" sekarang Pitaloka angkat bicara. "Biar bagaimanapun juga, Jabang Mayanara yang dibesarkan Saroya adalah anak dari Nilam, bukan? Apa dia akan menghabisi ibu dan keluarganya?"
"Keduanya mungkin saja menjadi penyebab kehancuran keluarga kita. Untuk Jabang Mayanara yang berasal dari rahim Nilam, aku merasa ragu kalau dia akan mengingat Nilam sebagai Ibunya ...,"
"Kenapa?" tanya Nilam.
"Kau tidak melahirkannya, kau mencoba membunuhnya. Sebaliknya, Saroya telah membesarkannya meskipun melalui bantuan Dewi Dakshineshwari. Besar kemungkinannya, Saroya menghasutnya untuk menghancurkanmu dan kita semua. Tapi ...," Chandrika menggantung kata-katanya.
Nilam menyela, "Tapi kenapa, Nek?"
"Kalau kau bisa meyakinkannya untuk meninggalkan Saroya dan memihak kita, maka kehancuran keluarga kita bisa dicegah. Tidak ada yang bisa mengalahkan Jabang Mayanara, kecuali Jabang Mayanara yang lainnya. Lagi, kita semua juga bisa mendapatkan kekuatan baru dan sudah dipastikan kalau tidak ada yang akan membahayakan keluarga kita lagi," lanjut Chandrika. "Sayangnya kita tidak tahu seperti apa wajah Jabang Mayanara yang diasuh Saroya."
"Kita urus saja Jabang Mayanara lain waktu, kita fokus saja mengurus Kedasih. Kita singkirkan saja dia lebih dulu," usul Daksin. Semuanya memerhatikan Daksin. "Kita tidak tahu di mana dia saat ini dan apa yang dia rencanakan. Ditambah lagi, dia bisa menjadi siapa saja."
"Aku ingat!" sentak Chandrika tiba-tiba.
"Apa?" tanya Daksin.
"Potongan kain Kedasih yang kutemukan dalam genggaman Arima waktu itu. Kita bisa melacaknya menggunakan kain tersebut."
Chandrika pergi ke kamarnya dan mengambil sebuah kotak kecil berisi potongan kain Kedasih yang dia pungut dari genggaman tangan Arima waktu tragedi di hari pernikahan beberapa waktu silam. Sekembalinya Chandrika dari kamar, dia menyuruh Daksin untuk menyiapkan bokor. Erawati diminta untuk menyiapkan dupa dan lilin. Sedangkan Pitaloka dan Nilam bertugas untuk menyiapkan arang. Setelah semuanya dikumpulkan, mereka duduk melingkar di lantai yang ada di ruang tamu. Daksin meletakkan bokor di tengah-tengah lingkaran. Erawati memasang lilin di sekeliling mereka dan dupa di empat penjuru. Nilam memasukkan arang ke dalam bokor, lalu Pitaloka meniup api dari mulutnya. Arang terbakar. Lantas, Chandrika melemparkan potongan kain Kedasih ke dalam bara api. Mereka kemudian bergandengan tangan dan merapalkan mantra bersama-sama.
"Ong wilahing Pukulun Hyang Dewi Ratri wilahing Ong... Socadalu socasewu kartika ratrimani ri akasa... Bhul kebhul gandha arum dupa saha kemenyan ri kisma... Ong Danghyang lemah geni banyu angin sami mbiantu mami... Duduhana marangisun dununge si suta aran Kedasih... Golekana si suta ri mandhala saha ernawadriya... Golekana si suta ri sagung sasana sing hana bomantara saha basundra... Iki sing dadi panjalukisun mugi datan duksina... Ong wilahing ong."
Wanita-wanita dengan usia yang bervariasi itu merapalkan mantra sebanyak tiga kali. Asap dari bokor mulai membumbung, bergulung-gulung, dan menampakkan gambaran-gambara seperti layar proyektor. Dupa di empat penjuru tampak terbakar lebih cepat, tampaknya Catur Danghyang telah datang dan menghisap habis dupa persembahan tersebut untuk mengganti energi mereka yang telah dilepaskan untuk memberikan gambaran melalui asap dalam bokor. Asap masih bergulung-gulung, tampak pemandangan hutan dan sebuah ponok kecil. Selanjutnya, asap ganti menampakkan sosok Kedasih yang sedang meditasi di atas ranjang. Setelah menunjukkan hal itu, asap yang bergulung-gulung bak awan badai seketika meledak. Mereka berseru histeris, lalu terbatuk-batu dan bersin, karena asap tersebut menggelitik hidung dan tenggorokan mereka.
"Di mana itu?" Erawati buka mulut.
"Aku tahu tempat itu," jawab Chandrika. "Hutan Gandamayu," mata Chandrika berkilat. "Tetaplah di sana dan nantikan mautmu, Kedasih."
"Malam ini juga kitahabisi ular betina itu," Daksin yang notabene sangat membenci Kedasih tampaksangat berapi-api, dia bersemangat sekali untuk mengakhiri hidup musuhbebuyutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasy"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."