Malam yang indah bagi sejoli yang tengah dimabuk asmara. Arima dan Gajanendra, sepasang suami istri yang masih menikmati suasana pengantin baru mereka. Perkawinan yang masih seumur jagung menyisakan aroma indahnya kenangan malam pertama. Setelah menikah beberapa bulan ini, mereka berdua telah melakukan hubungan suami istri sebanyak tujuh kali, dan mereka selalu melakukannya saat bulan purnama.
Di kamar mereka, Arima dan Gaja tengah bermesraan. Saling bercanda dan tertawa, serta menggoda dan merayu. Hingga mereka sama-sama mencapai puncak gairah, mereka pun saling berpagutan. Dalam setiap hubungan yang mereka lakukan, selalu ada kenikmatan lain yang Arima dan Gaja rasakan. Selalu ada sensasi baru pada setiap malam panas itu. Dan, keesokan harinya Arima selalu merasa kelelahan. Namun, staminanya akan kembali seperti semula seiring bergantinya hari.
Semakin malam ranjang semakin panas. Arima dan Gaja saling melepaskan cinta dan gairah yang telah lama membuncah. Dinding kamar dan segala yang ada di dalam kamar itu menjadi saksi tercapainya puncak kenikmatan dalam hubungan mereka. Lelah bersimbah peluh. Arima dan Gaja tertidur lelap. Tepat saat jam berdentang dua belas kali, tanda bahwa sekarang tepat pukul dua belas malam, Gaja terbangun dan segera berpakaian. Dia keluar dari kamar meninggalkan istrinya yang terlelap. Gaja berjalan menuju bilik senyap milik Katriyani, Ibunda tercinta. Di dalam sana, Katriyani sedang khusuk bermeditasi. Merasakan kedatangan sang putra, dia membuka mata.
"Saatnya sudah tiba, Ibu," ujar Gaja pada Katriyani. "Tujuh chakra dalam diri Arima sudah berhasil aku lumpuhkan. Malam ini ibu sudah bisa mengambil kekuatannya."
Katriyani tersenyum. Dia berdiri, tangannya meraih sebuah mangkuk perak dan botol berisi darahnya yang sudah dimantrai semenjak Arima dan Gaja resmi menikah. Gaja menuntun ibunya menuju kamar. Arima masih tertidur lelap. Jelas sekali kalau dia kelelahan. Kenikmatan membuatnya terlena dan tidak waspada. Sikapnya yang keras kepala akan membawanya dalam bencana.
Katriyani naik ke atas ranjang selagi Gaja menyalakan lilin dan kemenyan. Dengan darah dalam botol yang sudah dituangkan dalam mangkuk perak, Katriyani menggambar rajah pada kening, leher, dada, perut, dan bawah pusar. Dia mulai merapal mantra-mantra. Rajah yang dilukis dengan darah meresap masuk ke dalam tubuh Arima. Tubuh tanpa busana Arima berpendar sejenak. Cahaya itu bertahan hanya beberapa detik saja.
Katriyani mendekatkan mulutnya ke ubun-ubun menantunya. Dari ubun-ubun itulah dia menyerap segala kekuatan yang ada dalam diri Arima. Setelah menghisap seluruh kekuatan Arima, tubuh Katriyani yang semula melemah kini menjadi bugar bak wanita tiga puluh tahunan. Kulitnya yang keriput kembali mulus, rambut yang mulai memutih kembali menghitam. Dia bangkit dari ranjang, wajahnya penuh rasa kepuasan. Satu rencananya berhasil dia lakukan.
"Sekarang kau bisa menarik kembali mustika Banyumanik yang kau tanamkan di dalamnya selama ini." Katriyani memerintah putranya untuk mengambil mustika milik Gaja yang dimasukkan ke dalam tubuh Arima semenjak malam pertama.
Gaja mengangguk. Dia mulai konsentrasi, bibirnya berkomat kamit merapal mantra-mantra. Tak lama kemudian, dari organ intim Arima memancarkan cahaya tiga warna, merah, kuning, dan biru. Tiga pijar cahaya itulah yang disebut dengan mustika Banyumanik. Wujudnya memang seperti cahaya, bukan batu permata. Berkat mustika itu, sihir Katriyani mampu melemahkan pertahanan Arima yang diperoleh dengan meminum darah Mandraguna. Demi memenuhi rencananya ini, tepat setelah putranya menikahi Arima, Katriyani menyuruh Gaja untuk melakukan puja pada Dewi Sunihara setiap bulan baru. Mustika Banyumanik adalah anugerah dari Sang Dewi yang Gaja dapatkan melalui sarana puja dan meditasi.
Jauh di dalam lubuk hati Gaja yang terdalam, dia tulus mencintai Arima putri Chandrika. Akan tetapi, dia tidak bisa—dan tidak akan pernah bisa—menolak perintah ibunya. Mustahil bagi seorang Jabang Mayanara menolak setiap perintah atau permintaan wanita yang telah melahirkannya. Yang Kuasa menciptakan setiap Jabang Mayanara untuk mematuhi segala perintah dan permintaan ibu mereka. Begitulah hukum yang telah ditulis oleh Yang Maha Kuasa untuk setiap Jabang Mayanara. Mereka tak ubahnya sebuah alat atau senjata bagi wanita yang melahirkan mereka. Tugas mereka akan selesai hanya jika ibu mereka memutuskan ikatan jiwa di antara mereka. Namun agaknya, Gaja tidak akan menerima kebebasan. Selamanya dia akan mengabdi untuk ibu yang dia cinta, hormati, sekaligus dia takuti. Karena hanya di tangan Katriyanilah hidupnya bergantung. Sungguh malang nasib Gaja si Jabang Mayanara.
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasía"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."