Gandasuli Ditandai

71 7 0
                                    

Di pinggir jalan tampak orang yang sedang berkerumunan. Mereka mengerumuni sesuatu—tepatnnya seonggok tubuh tak bernyawa yang bersimbah darah. Entah bagaimana kejadiannya orang itu bisa tergeletak di tepi jalan dengan leher yang tersayat benda tajam. Darahnya meler ke mana-mana. Orang-orang yang menyaksikan terlihat miris, bahkan sampai ada yang muntah karena tidak kuat melihat luka yang menganga. Daksin yang hendak pergi ke pasar merasa terpancing dengan kerumunan itu. Dia mencoba mendekat dan melihat apa yang ada di sana. Matanya seketika terbelalak saat melihat tubuh seorang wanita tergolek tak bernyawa dengan leher yang tergorok. Kemudian mata Daksin terfokus pada kening si mayat, di sana terukir sebuah tanda—tanda yang sangat dia kenal. Tanda itu seperti ular menggigit bulan sabit. Tidak tergambar jelas layaknya ular menggigit bulan sabit, hanya sebuah simbol saja. Tapi dia paham apa maknanya. Itu tak lain adalah tanda Badrataksaka Pralayadipati.

Di masa lalu, di mana pun tanda itu muncul, maka itu berarti kematian bagi para vadika. Jika tanda itu muncul, artinya akan terjadi pembersihan yang dilakukan oleh satu organisasi rahasia yang bertugas untuk membasmi para yatumatnara. Organisasi ini dibentuk pasca kekalahan Nyai Calon Arang yang bertempur melawan Mpu Baradah dan pasukan Kerajaan Kadhiri. Putra dari salah seorang prajurit yang gugur dalam perang itulah yang mendirikan organisasi tersebut.

Daksin punya pengalaman yang sangat buruk dengan mereka di beberapa masa—tepatnya saat dia dan Chandrika tinggal di Daha, ibukota Kadiri, serta saat tinggal di wilayah Kerajaan Singhasari dan juga Majapahit. Beberapa kali Daksin harus berhadapan dengan mereka hingga harus kehilangan empat nyawanya. Itu adalah masa-masa paling mencekam dalam hidup Daksin dan Chandrika. Mereka harus hidup seperti tikus, bersembunyi dalam lubang saat siang hari dan keluar pada malam hari, serta harus terus memasang mata setiap saat. Karena mereka bisa ada di mana saja. Buktinya, saat ini mereka ada di Gandasuli.

Daksin pikir mereka datang ke Gandasuli untuk menghabisi dirinya serta semua keluarganya. Dia segera mengurungkan niat untuk belanja ke pasar, dia berbalik arah dan mengambil langkah seribu. Melihat Daksin sudah kembali dan tak membawa belanjaan satu pun, Chandrika langsung menegurnya. Tapi wanita itu tidak menyahuti, melainkan langsung menarik Chandrika ke dalam rumah. Wajahnya pucat pasi, tangannya juga sedingin es. Chandrika dibuat khawatir dengan keadaan Daksin yang bagaikan habis melihat orang yang mati bangkit kembali. Daksin mendudukkan Chandrika di sofa yang ada di ruang keluarga, sebelum bicara dia memastikan kalau tidak ada orang lain di rumah itu. Erawati ke toko, Arima mengajar, dan Nilam juga Pitaloka sekolah. Sekarang baru pukul sepuluh pagi, jai tidak mungkin mereka tiba-tiba saja pulang.

"Kau ini kenapa?" tanya Chandrika yang kebingungan melihat gelagat adiknya.

"Mati aku! Tamat riwayatku! Mampus aku!" Daksin terus mengutuki dirinya sendiri.

"Bicara yang jelas," Chandrika menangkup wajah Daksin yang sangat pucat.

"Lihat ini!" Daksin yang tak punya kuasa untuk menceritakan apa yang dia saksikan memutuskan untuk menyerahkan ponselnya.

"Eh, sejak kapan kau punya ponsel?" Chandrika tidak langsung melihat layar ponsel, dia malah menggoda Daksin yang entah kapan membeli ponsel itu.

"Jangan bercanda, ini masalah hidup dan mati kita," ucapan Daksin sontak membuat kening kakaknya itu berkerut.

"Kau ini kesambet apa?"

Chandrika melihat layar ponsel yang menunjukkan tubuh seorang wanita tergeletak di tepian jalan dengan leher yang tergorok. Ada gambar beberapa orang yang mengerumuni. Kemudian mata Chandrika melotot saat Daksin memintanya fokus pada kening wanita dalam foto. Chandrika melihat tanda sekte Pralayadipati terukir dengan sangat jelas. Wajah wanita itu sontak juga pucat, tapi tak sepucat Daksin. Dia gemetar, tapi tak seheboh adiknya. Dia tahu ini masalah besar, menyangkut hidup dan mati seluruh anggota keluarganya.

"Akan terjadi pembersihan, aku takut," Daksin menggigil.

"Selama kita bersama-sama, tidak perlu ada yang kau risaukan." Chandrika adalah seorang mahavadika—jujur dia juga takut—tapi dia harus tampak tenang agar bisa menenangkan adiknya yang ketakutan setengah mati.

"Setiap aku dibunuh, memang aku hanya kehilangan satu nyawa. Tapi satu nyawa itu setara dengan seratus tahun usiaku. Sekarang nyawaku hanya tinggal dua, artinya umurku hanya tinggal dua ratus tahun saja. Aku tidak mau mati lagi, kau harus membereskan mereka semua."

"Kita akan membereskannya bersama-sama, tapi jangan sampai ini diketahui oleh Nilam dan Pitaloka," Chandrika memeluk adiknya untuk mengurangi rasa takut yang menghantui.

"Apa?" Daksin keluar dari pelukan Chandrika. "Nyawa mereka juga dalam bahaya, mereka harus tahu. Dia sekarang bagian dari kita, kau lupa? Mereka juga akan menghabisi Nilam dan Pitaloka," lanjut Daksin. Bukannya mendengarkannya bicara, Chandrika malah melamun, seperti memikirkan sesuatu. "Kau dengar aku atau tidak?" lamunan Chandrika dibubarkan oleh Daksin. "Apa yang kau pikirkan?"

"Tidak—ah—aku hanya merasa kalau ini adalah arti dari mimpi yang kita alami."

"Kau pikir begitu?"

"Kalau ini benar, berarti yang harus kita lindungi adalah Arima dan Erawati."

"Kenapa begitu?" tanya Daksin.

"Di mimpiku, aku melihat mereka dibakar di tiang pancang oleh mahavadika," jawab Chandrika, suaranya bergetar.

"Tapi aku melihat kau yang terbakar di tiang pancang, sedangkan anak-anakmu mati mengenaskan ditangan orang yang baru saja membakarmu. Tidak hanya anak-anakmu yang dalam bahaya, kau pun sama," Daksin mengingatkan. "Apa kau yakin mimpi itu tidak hanya simbol saja?"

"Aku tidak tahu," Chandrika menggeleng lemah. "Mungkin itu hanya simbol saja, mungkin juga itu akan sungguh terjadi," wanita itu hanya sedang membuat penghiburan. "Tapi, di dalam mimpiku itu Arima dan Erawati hidup, mereka keluar dari kegelapan memakai jubah. Ada orang lain bersama mereka, sayangnya dia juga berjubah. Dan orang itulah yang menghabisi mahavadika."

"Tunggu dulu, siapa mahavadika yang kau maksud? Dyah Manasa atau Ibu?"

"Bukan keduanya," jawaban Chandrika langsung membuat kening Daksin mengernyit.

"Lalu siapa?" tanya Daksin. "Tunggu—tidak mungkin—jangan-jangan yang kau maksud adalah k—itu pasti tidak benar, bukan?"

"Ya, akulah mahavadikaitu." Daksin langsung tak sanggup berkata-kata lagi setelah mendengar jawabankakaknya. "Saat aku menceritakannya pada mereka aku tidak menyebutkan kalau ituaku. Sebenarnya aku sedang memancing mereka agar mereka masuk ke dalam mimpikudan melihat apa yang terjadi. Dan, aku berhasil membuat mereka masuk ke dalammimpiku. Tapi sayangnya, saat itu aku tidak mendapati keberadaan mereka. Jadi,aku tidak yakin mereka sudah tahu atau belum kalau mahavadika yang kumaksudadalah aku sendiri."

MANDRAGUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang