Di dalam sel yang dingin, tertidur seorang wanita paruh baya. Chandrika orangnya. Wanita yang tidak bersalah tapi dikambinghitamkan atas perbuatan yang tak dia lakukan. Dia meringkuk di atas sebuah kasur lantai yang sudah mulai tipis dan berselimutkan kain putih bergaris-garis. Dia larut ke dalam mimpinya. Di alam mimpi, dia berada di rumahnya tapi tak satu pun menyadari keberadaannya. Kemudian datang sosok menyerupai dirinya masuk ke dalam rumah dengan belati di tangan.
Dia mencoba memeringatkan Daksin dan yang lain agar tidak memercayai sosok itu. Namun, Arima dan Erawati yang teramat girang melihat kedatangan sosok itu langsung menghambur ke dalam pelukan. Saat itu juga, sosok menyerupai Chandrika itu menikam Arima dan Erawati bergantian. Di ujung ruangan Daksin bersama Pitaloka dan Nilam melihat hal itu, mereka ketakutan dan mulai panik. Setiap upaya yang Chandrika lakukan, semuanya sia-sia belaka. Daksin, Nilam, dan Pitaloka tak mendengar apalagi menyadari keberadaannya di sana. Yang mereka lihat hanya sosok menyerupai dirinya.
Perselisihan terjadi. Chandrika palsu beradu kekuatan dengan Daksin yang dibantu Pitaloka dan Nilam. Mereka kalah dengan sekali serangan, semuanya rubuh di atas lantai. Setelah itu, Chandrika palsu melemparkan Nilam ke arah dinding dan mengimpit kakinya dengan lemari. Kaki Nilam remuk, dia jatuh tak bernyawa. Pitaloka dan Daksin lari ke lantai atas, namun Chandrika palsu menggunakan kabel untuk mencekik Pitaloka dan menggantungnya hingga mati. Tinggal Daksin seorang, Chandrika palsu mengejar sambil melemparkan bola-bola api dari telapak tangan. Daksin terbakar, dia meronta dan merintih hingga ajal menjemput. Api yang berkobar-kobar lantas membakar kediaman Mandraguna
Chandrika yang melihat semua keluarganya dibantai oleh sosok menyerupai dirinya hanya bisa jatuh terisak. Dia menjerit meminta tolong, tapi langit seolah menelan semua jeritannya hingga dia terbangun dari tidur dan tersadar kalau itu hanya mimpi. Dia merasa was-was dengan keadaan keluarganya pasca kepergiannya yang mendadak tadi siang. Dia harus mencari tahu keadaan mereka. Jadi, Chandrika meminta segelas air pada seorang sipir dan dia segera mendapatkan air itu.
Chandrika membawa gelas berisi air itu ke sudut sel, dia duduk di sana lalu menyecap sedikit air dalam gelas. Lantas dia menunduk sambil memejamkan mata, dia berkonsentrasi sambil merapal mantra. Setelah menyelesaikan japa mantranya, dia mengusap kedua kelopak matanya dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu mencelupkan dua jari itu ke dalam gelas. Sejurus kemudian, muncul gambaran-gambaran yang menunjukkan keadaan di rumahnya. Daksin sedang berbincang dengan Erawati dan Arima, sedangkan Nilam dan Pitaloka sedang tidur di kamar mereka masing-masing. Wanita itu pun merasa lega, karena keluarganya masih baik-baik saja. Mungkin mimpi tadi hanya gambaran kekhawatirannya saja atau peristiwa itu sebenarnya masih belum terjadi—setidaknya untuk waktu dekat ini.
***
"Kalian berdua kalau mau tidur, ya tidur saja. Aku masih mau di sini," ujar Daksin yang melihat mata kedua keponakannya itu sudah mulai sayu.
"Kalau gitu kami istirahat dulu," Arima bangun dari sofa.
"Iya, lagipula besok kamu juga harus mengajar, bukan?" tanggap Daksin.
"Bibi juga harus istirahat," ujar Erawati.
"Tenang saja, aku pasti istirahat," Daksin malah membalas kekhawatiran dari Erawati itu dengan memukul bokong wanita itu pelan. "Sudah sana!"
Arima dan Erawati kemudian meninggalkan ruang keluarga. Mereka masuk ke kamar masing-masing dan istirahat, karena malam sudah semakin larut. Di ruang itu, Daksin kembali termenung. Dia memikirkan bagaimana cara untuk membuat kakaknya dipastikan bebas dari tuduhan. Dia bersandar pada sofa dengan bertopang pada tangan kirinya, matanya menerawang bebas. Terkadang pupil matanya melebar, kadang juga menyempit. Sesekali bibirnya merekat erat, terkadang dia tampak seperti bergumam. Pikirannya terus berkecamuk. Saat ini keluarganya tengah menghadapi ancaman kematian, di sisi lain kakaknya justru tidak ada di sini untuk menjadi pelindung. Dirinya yang seharusnya mengambil tanggung jawab justru merasa tidak yakin bisa menjalankan tugas, karena melihat nyawanya tinggal sekali lagi. Jika tiba-tiba dia mati, maka tidak akan ada lagi yang menjaga keluarga.
Suara detik jarum jam menjadi irama yang menemani keheningan yang menyelimuti Daksin. Desau angin malam membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Suara nyanyian jangkrik di halaman terdengar bersahutan. Tanpa sadar, Daksin jatuh tertidur. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari, waktu yang konon katanya menjadi saat-saat paling ngeri karena makhluk-makhluk astral mulai bersiap untuk pulang dari perburuan ke sarang mereka. Pukul tiga lebih lima belas menit, Daksin terbangun dari tidurnya. Dia baru saja bermimpi buruk. Di dalam mimpi itu, Chandrika pulang ke rumah. Tapi keadaannya tampak sangat berbeda, matanya merah dan kulitnya pucat kebiruan. Tangannya memegang sebuah belati kuno dengan gagang berbentuk harimau.
Chandrika berusaha menikamnya, tapi untungnya dia bisa melawan balik sebelum belati itu merenggut nyawa terakhirnya. Chandrika palsu itu terlempar hingga ke halaman, kemudian dia lari dan bersembunyi ke dalam pohon flamboyan yang tumbuh di taman. Yang membuat Daksin lantas terbangun adalah, tiba-tiba pohon itu bergerak bagaikan hidup dan menghantamnya dengan dahan yang begitu besar beberapa kali. Untunglah itu hanya mimpi. Daksin sudah ketakutan setengah mati akan kehilangan nyawa terakhirnya.
Daksin bangun dari sofa,lalu berjalan ke dekat jendela untuk melihat keadaan di luar rumah. Semuanyatampak tenang-tenang saja, tidak ada yang mencurigakan. Hanya ada lalu-lalangkelelawar yang menangkapi serangga di udara. Daksin mundur menjauh darijendela, dia kemudian terkenang mimpinya tadi. Dia menimbang-nimbang apakira-kira arti mimpinya itu. Hati kecil Daksin meyakini kalau sosok yang munculdalam mimpinya itu bukanlah Chandrika, dia tidak tahu siapa sosok itusebenarnya tapi yang pasti bukan sang kakak. Tiba-tiba Daksin merasa keringpada kerongkongannya, dia berjalan ke dapur untuk menyejukkan kerongkongan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasy"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."