Tercium Busuknya

51 2 0
                                    

Gajanendra dalam perjalanan pulang dari rumah Arima, niatnya dia ingin segera pulang ke rumah. Ibunya pasti saat ini sudah menunggunya. Selagi pria yang akrab disapa Gaja itu menyetir mobilnya, di bawah jok belakang ada seekor ular hitam yang meringkuk. Dan si empunya mobil sama sekali tidak menyadari kalau ada penumpang gelap dalam mobilnya. Sampailah Gaja di rumahnya di Distrik Dwala, Gandasuli Barat. Rumah Gaja tidak begitu besar seperti rumah Keluarga Mandraguna, namun sangat simpel dan indah. Modelnya seperti rumah tradisional Jawa, yaitu rumah joglo, hanya saja tidak semuanya bagian rumah itu terbuat dari kayu.

Kesan pertama yang akan orang-orang dapatkan saat pertama kali melihat rumah itu adalah keanggunan dan aura mistis yang kental. Apalagi ditambah dengan keberadaan patung Dewi Bhayankari. Patung itu begitu besar dan memancarkan aura magis yang kental. Siapa pun yang berniat jahat dan memasuki halaman rumah ini, maka mereka akan segera lari terbirit-birit karena wajah Sang Dewi yang menampakkan sorot mata tajam menatap langsung ke luar.

Gaja turun dari mobilnya dan langsung masuk ke dalam rumah. Dia disambut oleh seorang wanita yang berjalan menggunakan tongkat. Dialah Ibu Gaja yang bernama Katriyani. Gaja tersenyum pada ibunya, lalu dia mendekati sang ibu dan menyentuh kakinya. Katriyani lantas mendoakan supaya putranya selalu sehat dan bahagia. Tampak jelas sekali kalau Gaja sangat menyayangi dan menghormati ibunya, begitu pula sebaliknya. Gaja duduk di ruang makan dengan wajah ceria.

Katriyani menyiapkan makan siang untuk putra kesayangannya. Meskipun sudah sedewasa ini, tapi Gaja tidak pernah menganggap dirinya adalah pria dewasa terutama di hadapan ibunya. Karena bagi Katriyani, putranya itu masihlah sangat muda. Tidak hanya menyiapkan makanan untuk putranya, Katriyani juga menyuapinya dengan penuh kasih sayang. Gaja gembira sekali setiap suapan nasi dari tangan ibunya masuk ke dalam mulutnya. Tapi tiba-tiba, Gaja berhenti mengunyah makanannya. Dia melihat sang ibu menitikkan air mata. Gaja dengan sigap meletakkan telapak tangannya di bawah wajah ibunya untuk mencegah jatuhnya air mata sang ibu. Jatuhlah air mata sang ibu di telapak tangan Gaja, kemudian dia mengusapkan air mata ibunya itu ke rambutnya.

"Kenapa Ibu menangis?" tanya Gaja sambil mengusap pipi sang ibu.

"Aku... aku hanya berpikir... siapa nanti yang akan menyuapimu saat aku mati?" air mata Katriyani jatuh membasahi pipinya. Gaja sigap menyekanya.

"Apa yang Ibu katakan? Jangan pernah berkata seperti itu lagi, aku tidak suka. Kita akan hidup bersama selamanya. Aku akan mencari cara agar Ibu bisa hidup lebih lama lagi. Kalau aku harus memberikan darahku agar Ibu bisa abadi, maka akan kulakukan."

"Tidak! Jangan kau lakukan itu! Aku lebih baik mati daripada harus melukaimu hanya untuk mendapatkan darahmu saja. Kehadiranmu lebih berharga daripada sebuah keabadian. Ingat, jangan pernah berpikir untuk memberikan darahmu padaku. Jika kau lakukan itu, maka kau bukan lagi anakku."

"Tapi aku sangat menyayangimu, Ibu. Dan aku ingin bersama Ibu selamanya," ujar Gaja yang saat ini bersimpuh sambil memeluk kaki ibunya.

"Sudah! Sudah! Bangunlah," pinta Katriyani. Gaja segera bangun dan duduk lagi di kursinya. "Ayo kamu makan lagi," Katriyani menyuapkan makanan lagi kepada Gaja.

"Aku sudah kenyang, sekarang Ibu yang makan. Biar aku yang menyuapi Ibu." Gaja mengambil piring makannya yang belum berkurang banyak, lalu menyuapkan makanan kepada ibu yang dia cintai.

Tanpa mereka berdua sadari, di sudut ruang makan ada seekor ular hitam bersembunyi di balik sebuah guci. Ular itu menatap lekat ke arah ibu dan anak yang saling mengasihi itu. Hati ular itu sungguh tersentuh melihat kasih sayang Katriyani yang begitu luar biasa dan cinta Gaja pada ibunya yang juga sangat melimpah. Ya, ular itu tidak lain adalah Daksin Mandraguna. Dalam wujud ularnya, Daksin teringat sosok ibunya yang sudah lama—lama sekali—meninggalkannya dan juga kakaknya.

MANDRAGUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang