Hujan dan Badai

47 2 0
                                    

Empat hari menjelang pernikahan Arima dan Gaja

Ketika semuanya sudah lelap tertidur, Chandrika membangunkan Daksin dan Nilam. Mereka bertiga mengemasi barang-barang yang mereka ambil dari ruang penyimpanan. Mandir adalah tujuan mereka malam ini. Untuk berjaga-jaga agar Arima, Erawati, dan Pitaloka agar tidak bangun, Chandrika membakar beberapa daun-daunan kering di atas arang membara yang ditampung di dalam bokor. Chandrika meletakkan bokor itu di depan pintu, kemudian dia merapalkan mantra-mantra yang mengakibatkan tiga orang yang ada di dalam terlelap jauh lebih dalam ke dalam tidur mereka sehingga mereka bisa menjalankan rencana dengan leluasa. Asap hasil pembakaran itu mulai mengepul ke udara dan masuk ke dalam rumah melalui ventilasi hingga sampai ke kamar Arima, Erawati, dan Pitaloka.

Chandrika, Nilam, dan Daksin bergegas menuju mandir untuk melakukan ritual rahasia dengan tujuan utamanya adalah untuk mendatangkan hujan agar pernikahan Arima dan Gaja ditunda—kalau bisa dibatalkan. Meskipun Januari masih masuk ke dalam musim penghujan, namun hujan yang turun sudah mulai jarang. Intensitas hujan pada bulan Januari biasanya terjadi dua sampai tiga hari sekali dalam sepekan. Waktunya pun tidak menentu, kadang hujan bisa turun seharian, kadang juga hanya turun di saat-saat tertentu, misalnya pada sore atau malam saja sedangkan pagi dan siang lebih cenderung cerah atau mendung.

Sebelum memulai ritual pemanggilan hujan, Chandrika, Daksin, dan Nilam lebih dulu melakukan puja dan doa kepada Ibu Bumi dan Bapa Angkasa sebagai pengejawantahan dari Tuhan Yang Mahakuasa di alam materi. Mereka meminta restu untuk menjalankan ritual agar segalanya berjalan lancar dan yang diharapkan bisa terkabul. Setelah melakukan puja dan doa, mereka bertiga keluar dari mandir untuk melaksanakan ritual. Sesampainya di area terbuka yang jaraknya hanya sepuluh meter dari mandir, mereka segera menyiapkan alat dan bahan untuk ritual. Yang paling mencolok dari alat dan bahan itu adalah sebuah kandang yang diselimut kain hitam. Nilam membuka kain penutup dan menampakkan dua ekor kucing hitam yang berjenis kelamin jantan dan betina. Kucing-kucing itu tampak mengenakan kalung dari roncean bunga melati. Mereka diam saja di dalam kandang, sama sekali tidak mengeong ataupun mencoba keluar kandang.

"Apa kita akan mengorbankan kucing-kucing ini?" celetuk Nilam.

"Ah, yang benar saja. Tentu saja tidak, Nilam," jawab Daksin sambil menepuk pipi Nilam yang tirus. "Kucing ini hanyalah sarana untuk memanggil hujan. Kau pasti pernah dengar soal ritual manten kucing?"

Setelah mendengar kata manten kucing, otak Nilam yang cerdas itu langsung mencari memori tentang hal itu, siapa tahu sudah pernah dia simpan dalam otak. "Ah, iya! Aku pernah dengar soal itu." Otaknya berhasil menemukan memori tentang manten kucing itu.

"Ritual manten kucing ini sudah ada dan dijalankan ribuan tahun yang lalu. Manasa juga menggunakan cara ini untuk mendatangkan badai di Sedayu untuk menghukum penguasa yang lalim," sambung Chandrika. "Kita tidak hanya menggunakan kucing sebagai sarana pemanggil hujan, tapi juga kodok kongkang dan kinjeng dom." Chandrika menunjukkan dua buah kotak yang masing-masing berisi ratusan kodok kongkang dan kinjeng dom yang dia dapat dari sahabatnya Shima, wredha dari Keluarga Aranyani—satu dari lima keluarga vadika yang utama.

"Sekarang apa?" tanya Nilam.

"Ini, bacalah!" Daksin menyodorkan sebuah buku berwarna cokelat yang sangat tebal—kurang lebih ada lima ratus halaman—pada Nilam. Itu adalah Kitab Vadikadriya milik Keluarga Mandraguna. Kitab itu terbuka pada halaman dua ratus tujuh puluh lima. Pada bagian judul tertulis Panduan Lengkap Ritual Pemanggilan Hujan.

Setelah membaca halaman-halaman pada BAB itu, Nilam langsung mengerti bagaimana ritual ini nanti dilakukan. Dia bilang dia sudah siap untuk melakukan ritualnya, Chandrika dan Daksin segera menyiapkan semua persyaratan yang diperlukan dalam ritual. Chandrika membuat beberapa lingkaran dengan garam suci. Lingkaran paling besar yang berada di tengah adalah tempat bagi sepasang kucing hitam yang ada dalam kurungan. Lingkaran di sisi selatan adalah tempat bagi kodok kongkang yang direndam dalam bokor berisi air sumur.

Di sisi utara, ada sangkar yang terbuat dari kasa dengan kinjeng dom yang berterbangan di dalamnya. Di barat dan timur, Chandrika meletakkan persembahan berupa kembang tujuh rupa, pisang, susu sapi, dan kemenyan yang sudah dibakar dalam pedupaan. Kemudian, Daksin mengambil tiga pasang kain berwarna hitam yang masing-masing harus diikatkan pada jari tengah pada kedua tangan. Selanjutnya mereka berdiri di tiga sudut segitiga yang melingkupi lingkaran-lingkaran tadi.

Chandrika memimpin ritual, dia berseru kepada Langit dan Bumi agar mendengar doa dan harapan mereka. Kemudian dia berseru memanggil empat Danghyang untuk menjadi saksi ritual mereka. Chandrika, Daksin, dan Nilam lantas duduk bersila dengan menangkupkan kedua tangan. Dan, mereka segera membaca mantra-mantra yang dirapalkan bak sebuah tembang. Angin mulai berembus. Kucing hitam dalam kurungan mulai mengeong-ngeong dengan suara yang sangat nyaring.

Kodok-kodok dalam bokor mulai ngorek bersahutan dengan kodok-kodok yang ada di hutan. Di atas pohon-pohon yang lebat daunnya, burung-burung kedasih berkicau bersahutan. Lantas disusul oleh koakan burung gagak yang saling berkejaran. Cicit kelelawar mulai terdengar seiring dengan koakan gagak yang nyaring. Di sisi lain, di rumah-rumah yang memiliki sapi dan kuda. Sapi mulai melenguh-lenguh, sedangkan kuda meringkik. Dari satu rumah menyebar ke rumah-rumah lain yang ada sapi dan kuda.

Orang-orang yang awalnya merasa adem ayem di dalam rumah, mendadak merasa udara begitu dingin. Ditambah lagi, mereka mendengar suara lenguhan sapi dan ringkikan kuda yang bersahutan. Kucing-kucing liar dan kucing peliharaan mengeong riuh, suaranya sungguh membuat siapa pun yang mendengar merasa risih dan ingin menyiram kucing itu satu demi satu.

Beberapa warga Distrik Wibikisma ada yang keluar dari rumah untuk mengecek keadaan di luar. Mereka yang punya kuda dan sapi juga keluar untuk melihat apakah sapi dan kuda mereka baik-baik saja. Beberapa orang yang keluar rumah kemudian berkumpul, mereka membicarakan keanehan yang terjadi malam ini. Berdasarkan tanda-tanda alam yang muncul ini, salah seorang warga menyimpulkan kalau akan datang hujan besar. Kemudian ada yang menimpali, orang itu beranggapan bahwa semua ini pasti disebabkan oleh wanita-wanita dari Keluarga Mandraguna yang ingin mendatangkan bencana di Distrik Wibikisma ini untuk menghukum mereka yang pernah menyakiti hati mereka.

Orang yang tadi mengatakan bahwa wanita-wanita Mandraguna akan menghukum orang yang menyakiti mereka, pun memutuskan untuk melenggang pergi. Kepergiannya sama sekali tidak disadari, karena dia pergi saat orang-orang berkasak-kusuk membicarakan Keluarga Mandraguna. Mereka membicarakan ini dan itu, rumor-rumor yang dulu tersebar dan hilang kembali diungkit lagi.

Di tempat lain, tepatnya di belakang sebuah pohon, orang yang tadi mengatakan bahwa Keluarga Mandraguna sedang memulai balas dendamnya pada mereka yang pernah menyakiti, dia berdiri di sana dengan senyum penuh rasa puas. Dalam beberapa detik saja, dia yang awalnya laki-laki tiba-tiba berubah menjadi seorang wanita yang mengenakan baju kebaya hitam model lama dan bawahan berupa rok panjang terbuat dari kain batik bermotif barong. Mata kirinya tampak tidak normal, sepertinya mata itu buta karena luka yang menyayat kening hingga pipinya.

Sebuah anginmenerbangkan rambut hitamnya yang ikal, rambutnya tersibak dan menampakkantelinga kirinya yang juga tidak normal. Telinga itu, jelas sekali kalau habisdipotong. Malang sekali, wajah cantiknya berubah menjadi mengerikan sepertiitu. Dialah Kedasih, musuh bebuyutan Chandrika dan Daksin. Dia kali ini merasasenang setelah berhasil menumbuhkan kebencian di hati warga Distrik Wibikismaterhadap Keluarga Mandraguna.

MANDRAGUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang