Sepulang sekolah, saat hendak meninggalkan sekolah, tiba-tiba Nilam dan Pitaloka berhenti di depan kelas Anggara—kelas X-7. Mereka melihat Anggara tengah bermesraan dengan Sarah, seolah dunia milik mereka berdua dan yang lain ngontrak saja. Mereka sama sekali tak peduli dengan siswa-siswi lain yang berlalu lalang. Di dalam lubuk hati Nilam yang paling dalam, muncul percikan-percikan api cemburu. Sedangkan Pitaloka merasa mual melihat dua sejoli itu tengah berpelukan mesra, lengket bagaikan prangko. Saat Anggara dan Sarah saling menautkan bibir mereka, Nilam berbalik arah dan pergi. Sedangkan Pitaloka berpikir lain, ada pikiran nakal dalam kepalanya. Pitaloka membayangkan Sarah habis makan jengkol dan pastinya mulutnya akan bau. Dan benar saja, Anggara mual saat itu juga. Sarah heran dengan apa yang terjadi. Anggara mual tak tertahan lagi, matanya berair dan memerah.
"Kamu habis makan jengkol enggak langsung gosok gigi, ya?" seloroh Anggara.
"Jengkol? Apaan? Kamu 'kan tahu aku benci jengkol," Sarah tak mengerti apa yang Anggara bicarakan. Pasalnya dia sama sekali tak pernah makan yang namanya jengkol.
"Cih, lupakan saja!" Anggara berlalu ke kamar mandi.
Orang-orang yang ada di sana mulai cekikikan menertawakan kejadian Sarah dan Anggara. Sarah malu bukan main, dia berlalu ke kamar mandi juga. Di lain pihak, hati Pitaloka begitu puas, karena sudah mengerjai sejoli yang menjijikkan itu. Sejurus kemudian, Pitaloka teringat pada sepupunya. Pitaloka menuju arah Nilam menuju beberapa saat yang lalu. Aneh! Pitaloka tak melihat Nilam di mana pun. Dia mencoba menghubungi sepupunya, namun tak ada jawaban. Hal ini terjadi lagi. Pitaloka panik. Dia mulai berpikir jangan-jangan Nilam ke gudang sekolah lagi. Maka ke sanalah Pitaloka menuju. Dan benar saja, pintu gudang terbuka sedikit. Gadis itu masuk ke dalam untuk menemukan sepupunya. Mengejutkan! Di dalam gudang yang kotor itu, sesosok bayangan hitam tengah bergerilya di atas tubuh Nilam. Pitaloka geram, dia melepaskan serangan berupa bola api. Sosok itu mental seketika. Nilam ternyata tak sadarkan diri.
Pitaloka mencoba membangunkan Nilam tapi tak bangun juga. "Tunjukkan wujudmu yang sebenarnya!!!" suara Pitaloka menggema. Beberapa benda di dalam gudang sedikit berserakan. Energi Pitaloka yang terpancar sungguh besar. "Dahana ahangkara!" seru Pitaloka. Sebuah bola api kembali meluncur dari tangannya. Sudah bagaikan meriam saja. Sayangnya bola api itu sama sekali tak mampu menyentuh sosok hitam itu. Hanya berhenti di depan hidungnya saja, lalu padam. "Kaladahana!" kali ini Pitaloka melepaskan bola api hitam. Berhasil! Sosok tersebut terpelanting.
"Ternyata kau tidak main-main, ya?" sosok itu bangun, kemudian mengibaskan tangan di permukaan seragamnya yang kotor.
"Siapa bilang aku main-main?" Pitaloka menatap awas.
"Kalau begitu sekarang giliranku." Sosok berselimut asap hitam itu mengeluarkan sebuah belati dari balik jubah asap hitamnya. Dia berlari menyambar leher Pitaloka dan mencekiknya erat. "Kalau aku tidak bisa memilikimu, baiknya kau mati saja." Dia menghujamkan belatinya ke perut Pitaloka. Sontak gadis itu mendelik. Darahnya mengucur menodai seragam dan juga lantai. "Lihat siapa yang terluka sekarang?" Dia mencampakkan Pitaloka, tubuh gadis itu jatuh di lantai. Dia meringis kesakitan. "Sekarang kau diam di sana, biar aku melanjutkan apa yang sudah kumulai dengan Nilam."
Sosok itu kembali bergerilya di atas tubuh Nilam. Pitaloka hanya menatap nanar, matanya memerah dan basah. Darahnya terus saja mengalir. Di saat genting itu, muncullah seorang wanita tua seumuran Chandrika yang langsung menyerang sosok yang bergerilya di atas tubuh Nilam dengan serangan yang sangat dahsyat. Sosok tersebut terpelanting hingga membentur lemari yang ada di ujung gudang. Lemari roboh dan menampakkan sebuah pintu yang menyatu dengan dinding. Selagi sosok itu masih menggeram kesakitan, wanita tua itu menyembuhkan luka-luka Pitaloka. Darah Pitaloka yang sudah keluar dari tubuh kembali ke dalam lagi. Pitaloka kembali pulih, selanjutnya wanita itu menyadarkan Nilam dengan mengalirkan energi melalui kepala hingga ke sekujur tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
MANDRAGUNA
Fantasy"Saat purnama mengembang di langit malam, datanglah ke tanah lapang. Tanggalkan ketakutan dan keraguan dalam hatimu. Jangan takut pada kegelapan, sebab ada Sang Dewi di sana."