Daksin Berkorban

97 11 1
                                    

Chandrika, Daksin, dan Erawati ikut berlari juga. Sampailah mereka di bukit yang hanya berjarak dua ratus meter dari rumah mereka. Arima kehilangan jejak Pitaloka, dia terus memanggil putrinya namun tak ada jawaban. Chandrika lantas berbisik pada Daksin, mengatakan bahwa dia mencium hawa ashura yang sangat kuat. Daksin juga merasakan yang sama. Mereka berdua kemudian memeringatkan Arima dan Erawati untuk tetap waspada. Erawati dan Arima bertambah panik saat mendengar bahwa ada hawa ashura yang sangat kuat di tempat mereka melakukan pencarian. Arima putus asa. Tapi kemudian dia dikejutkan oleh suara jeritan Pitaloka yang entah datang dari mana. Arima memanggil putrinya, tapi Pitaloka tak menyahut. Beberapa menit kemudian mereka menemukan Pitaloka sedang bersimpuh di atas tanah, dia menangis bak kesetanan.

"Nilam!!!" Erawati histeris saat melihat tubuh Nilam tergantung di salah satu pohon. Kulitnya pucat kebiruan, matanya membelalak, dan lidahnya sedikit menjulur. "Putriku ... tidak mungkin, putriku, Nilam." Tanpa peduli lagi kalau Pitaloka akan terkejut, Erawati menggunakan sihirnya untuk memotong tali yang menggantung Nilam. Dia segera menangkap putrinya yang tak bernyawa itu begitu tubuhnya jatuh.

"Apa itu tadi?" Pitaloka terkejut.

"Penjelasannya nanti saja," Arima menenangkan putrinya.

"Ibu, lakukan sesuatu," Erawati meraung-raung. "Selamatkan Nilam, kumohon," pinta Erawati dalam tangisnya yang membahana.

"Maafkan aku, Erawati, tidak ada yang bisa kami lakukan," Daksin memeluk Erawati, dia sungguh menyesal karena tak ada yang bisa dia lakukan. Sihir bisa membolak-balikkan segalanya, kecuali urusan hidup dan mati. Ada harga yang mahal yang harus dibayar untuk menghidupkan yang mati, dia yang melakukan ritual akan mati sebagai gantinya.

"Nilam, bangun. Jangan tinggalkan aku, kumohon. Aku sudah memaafkanmu. Aku hanya marah dan mengucapkan kata-kata keji itu." Pitaloka menangis Nilam.

"Apa maksudmu?" tanya Arima.

"Sebenarnya sudah hampir satu tahun kami tidak akur. Itu karena pria yang kusuka malah menjadi pacarnya. Selama ini aku selalu menahannya. Apa yang kusuka pasti menjadi milik Nilam. Apa yang kuinginkan, Nilam malah yang mendapatkannya. Dan tadi aku mengatakan padanya bahwa aku tidak akan pernah memaafkannya, meskipun dia mati. Aku sama sekali tidak bermaksud berkata begitu. Aku sangat menyesal, ibu, bibi, nenek." Semuanya menatap Pitaloka dengan iba. "Aku sudah tidak peduli lagi dengan Anggara, persetan dengan pria itu. Aku hanya ingin kamu hidup lagi." Pitaloka memeluk sepupunya itu sangat erat. "Mungkin ada orang lain yang membunuh Sasa dan Nilam, dan dia tahu kalau aku dan Nilam sedang tidak akur. Jadi, dia memanfaatkan keadaan ini. Dia menggunakan ponsel Nilam untuk mengadu domba kami," tutur Pitaloka sambil terisak. "Dia terus menghubungiku, tapi aku tidak mengacuhkannya. Seandainya aku tadi mengacuhkannya, pasti aku tahu kalau dia sedang dalam bahaya dan mencoba meminta bantuan."

"Apa tidak ada mantra atau ritual yang bisa menghidupkan Nilam kembali?" tanya Arima, hatinya juga remuk atas kematian Nilam.

"Kita tidak bisa ikut campur urusan hidup dan mati. Nilam sudah mati, berarti garisnya memang seperti itu," ujar Daksin, dia sungguh menyesal.

"Apa yang kalian bicarakan?" Pitaloka mengerutkan keningnya. "Mantra, ritual? Apa maksudnya?" tidak ada yang menanggapinya.

"Mungkin aku bisa," ujar Daksin.

"Bisa apa?" tanya Pitaloka lagi. Tapi masih belum ada yang menghiraukannya. "Bisakah seseorang menjelaskan apa yang sedang kalian bicarakan?"

"Penjelasannya nanti saja, Pitaloka," Arima meminta Pitaloka untuk diam.

"Apa kau yakin?" Chandrika meminta Daksin untuk memertimbangkannya lagi.

"Apa aku terlihat sedang bercanda? Nilam cucuku juga, bukan?" gurau Daksin. Di saat seperti ini dia masih sempat bercanda dan tertawa. Tawanya itu terdengar sangat pedih, ada kesedihan di dalamnya.

Daksin memindahkan tubuh tak bernyawa Nilam dari pangkuan Erawati ke pangkuannya. Dia mengatur napasnya, tari napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Satu tangannya berada di dada dan tangannya yang lain berada di dada Nilam. Dia berkonsentrasi dan memusatkan pikirannya dengan terpejam dan memunculkan titik putih di dalam kegelapan matanya. "Ibu Bumi, Bapa Angkasa. Yang Mahakuasa, sang empunya hidup dan mati. Nyawaku tak terbilang, kucacah seratus bagian. Dengan tulus aku berikan kepada dia yang kusayang." Cahaya dari tangan Daksin menjalar ke tubuh Nilam.

"Apa yang nenek Daksin lakukan?" bisik Pitaloka di telinga ibunya.

"Jangan berisik," desis Arima.

"Isun nyaosaken yuswa mami rinangga si suta." Setelah Daksin menyelesaikan japa mantranya, tubuh Nilam perlahan kembali menghangat. Beberapa saat kemudian, dia menegang dan membelalak. Napasnya memburu. Nilam hidup kembali, tapi Daksin segera jatuh tergeletak tepat dipangkuan Chandrika. Dia mati.

"Ya, Tuhan," Pitaloka terperangah melihat Nilam bangun dari kematiannya. "Terima kasih, Tuhan, Nilam hidup lagi."

"Kalian? Apa yang terjadi? Kenapa kalian menatapku seperti itu?" Nilam belum menyadari kalau dia baru saja bangkit dari kematian.

"Kalian pulanglah, akuakan di sini sampai Daksin hidup lagi," ujar Chandrika.

MANDRAGUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang