✨26✨

35 10 1
                                    

Bian kini sudah sampai di rumah Anya ia segera memarkirkan mobilnya di garasi dan bergegas masuk.

“Mbok Anya udah sadar?” Tanya Bian.

“Eh belom nak Bian,” Sahut mbok Ina.

Bian segera naik keatas menuju kamar Anya, terlihat cewek itu masih terlelap dengan muka pucatnya, Bian meletakan obat yang tadi ia beli di atas nakas dan beralih duduk di samping Anya.

“Nya bangun dong, aku khawatir sama kamu.” Bian menggenggam tangan Anya dan sesekali mengelus rambut Anya, tak lama terdengar suara Anya meringis memegang kepalanya.

“Bian, gue kenapa? kok rasanya pusing banget,” keluh Anya.

“Kamu tadi pingsan, kata dokter kamu kecapekan sama jangan terlalu banyak pikiran, kamu tadi kenapa nangis?” tanya Bian sembari meletakan tangan Anya di pipinya.

“Maaf ya, gue terus-terusan nyusahin lo,” ujar Anya.

Bian tersenyum, “Mau minum?” Tanya Bian dan di balas anggukan oleh Anya, Bian membantu Anya duduk agar bisa minum.

“Kamu makan ya, kata dokter kalau mau minum obatnya harus makan dulu,” Jelas Bian dan untuk yang kedua kalinya Anya hanya mengangguk saja.

Bian mengambil bubur di atas nakas ia tadi sempat mampir dulu untuk membeli bubur.

“Makan dulu, aku suapin,” ucap Bian.

“Emm… nggak ada rasanya,” keluh Anya.

“Namanya juga sakit, nanti kalo udah sembuh kita beli coklat yang banyak biar kamu seneng,” bujuk Bian.

“Tapi di traktir kan,” Anya terkekeh.

“Gampang kalau itu mah yang penting kamu sehat dulu,” Bian tersenyum.

“Aku-kamu, gue canggung dengernya, kenapa nggak kayak biasa aja lo-gue?” Tanya Anya.

“Nggak papa aku nyaman kok, nanti kamu juga terbiasa.” Bian mengacak pelan puncak kepala Anya.

“Ih kan berantakan rambut gue.” Anya mendengus kesal.

“Rambut aku,” goda Bian.

“Duh kan sampai lupa, aku mau nanya, kamu kenapa nangis? kayak nggak mau banget kehilangan aku.”

“Huhu… jangan kepedean ya,” Sahut Anya.

“Terus kenapa dong, masih nggak mau cerita, ya udah nggak papa yang penting kamu jangan benyak pikiran oke.” Bian langsung mengecup kening Anya.

Mata Anya langsung membulat dengan sempurna, rasanya tidak percaya Bian melakukan itu, jantungnya berdebar sangat cepat.

“Ya udah istirahat ya, kalau butuh apa-apa bilang sama aku,” Anya hanya mengangguk, ia membaringkan tubuhnya di kasur. Bian beralih duduk di sofa dan memutuskan bermain game di ponselnya.

Anya lagi-lagi harus bersyukur karena semenjak kehadiran Bian dalam hidupnya ia merasa hatinya tidak kesepian lagi, Anya memandang langit-langit kamarnya, bagaiman kalau Bian akan pergi dari hidupnya juga, meninggalkan nya sendirian lagi melewati hari-hari yang sunyi, sudah 3 tahun ini kehidupan Anya berubah menjadi gelap tidak ada lagi warna. Ia seperti di kurung dalam ruangan kosong dengan keadaan lampu yang padam, berteman dengan sunyi dan kegelapan, itu yang sedang ia rasakan, tidak ada jalan keluar untuk menuju terang, seperti ia sudah berada di jalan buntu.

“Bian,” Panggil Anya.

“Hmm.”

“Bian!” Panggil Anya lagi.

Bian Dan Anya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang