Chapter 12 : Kontroversi

159 58 3
                                    

"Jadi kau besar di Birmingham?"
Matthias menganggukkan kepala.
"Ya. Aku menyukai tempat itu."

"Tidak pernah ke kota lain? London misalnya?"

Pria itu terdiam sejenak lalu menggeleng. "Tidak hingga ayah meninggal dunia," ujarnya.

"Apa yang terjadi saat itu?"

Matthias mengedikkan bahunya yang bidang. "Ada banyak hal yang harus dibereskan saat itu, Emily."
"Properti-properti milik ayah harus ditinjau ulang sehingga aku dan ibu perlu pergi menemui para kerabat ayah guna memastikan tidak ada sengketa dalam akta yang tercantum nama keluarga Lurie, karena ternyata ada dokumen pengalihan."

Emily mengerutkan kening menatapnya. "Maksudmu saat itu mereka berniat menentang ahli waris yang sah?"
"Bagaimana bisa? Kalian berdualah seharusnya yang paling berhak atas seluruh peninggalan ayah."

"Well, secara teoritis lahan dan properti di atasnya memang memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari nenek moyang keluarga Lurie."

"Namun ada perubahan setelah beberapa generasi. Era baru,  peraturan baru. Ahli waris tidak lebih berhak."

Emily menghembus kesal.
"Bagaimanapun itu tidak adil."

"Bukankah hidup memang tidak adil?" pria itu berseloroh seraya tersenyum kepadanya.
Emily merasakan jantungnya berdentam tanpa alasan.
Ia berdehem untuk membersihkan tenggorokannya.
"Lalu apa yang terjadi?"

Matthias mengetuk-ngetukkan ujung jarinya pada sandaran tangan.
"Dokumen itu legal. Kami kehilangan sebagian besar dari properti. Mereka menjual semuanya, bahkan rumah yang kami tempati. Untung masih ada kerabat dari pihak ibu yang menampung kami berdua saat itu."

"Mereka mengambil semuanya?!" ulang Emily tak percaya.

"Ya semuanya, tanpa terkecuali. Bahkan kuda ras murni kesayangan ayah, dijualnya juga."

Emily terbelalak marah. "Beraninya mereka!"
"Itu brutal, dan sangat tidak manusiawi!"
"Bagaimana bisa mereka melakukan hal itu pada keluarga kita?!"
"Aku benar-benar tak habis pikir!"

Matthias tertawa kecil lalu menepuk-nepuk ringan punggung tangan Emily yang ada dalam genggamannya. "Jangan membuang-buang energi untuk merutuki mereka, little sister." pria itu tampak terhibur oleh emosinya.
"Itu semua sudah berlalu."
"Lagipula kini aku telah menghasilkan berkali-kali lipat dibandingkan jumlah warisan waktu itu."

Emily tidak mengerti kenapa Matthias bisa bersikap begitu tenang sementara dirinya saat ini merasa ingin membenturkan sesuatu karena saking marahnya.

"Kau mungkin memaafkan para bajingan egois itu, tapi aku tak bisa." Emily berkata pedas.
Ia terlalu gusar untuk menyadari sorot kepuasan yang terpancar dalam mata gelap Matthias.

"Lama setelah kejadian itu aku masih berpikir, mengapa mereka bisa dengan begitu mudahnya mendapatkan akses kepada peninggalan ayah." Matthias berbicara kembali.
"Hingga aku menemukan jawabannya,"

Sorot mata Matthias berubah kelam.
"Mereka dibantu oleh empat klan yang seharusnya mendukung keluarga Lurie."

Kedua mata Emily membelalak terkejut. "Maksudmu, apakah mereka... "

Matthias menganggukkan kepala.
"Hawthorne yang memiliki dokumen pengalihan itu, menurutnya ayah waktu itu berada dalam kondisi tertentu yang membuat dia menulisnya. Sedangkan tiga klan yang lain menandatangani sebagai saksi."
"Tanpa konsesi, atau pertimbangan apapun. Diberikan sepenuhnya."

Emily kehilangan kata-kata. Keempat klan itu telah berkali-kali mengkhianati keluarganya, dan kerabat mereka juga sama buruknya.

Emily sungguh tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Matthias dan juga ibunya pada saat itu.
Serta perjuangan berat yang harus mereka lewati melalui segala kesulitan bertahun-tahun setelahnya.

Keempat klan itu benar-benar keji, tidak puas hanya mencemarkan nama Dimitri Lurie hingga hari kematiannya, namun mereka juga merampas harta warisan yang harusnya milik anak dan istrinya.

Emily menggertakkan rahangnya.
Keluarganya telah diperlakukan dengan begitu tidak adil.

Seseorang harus membayarnya.
Mereka, ralatnya, harus membayarnya!

"Kita akan segera sampai." suara Matthias membuyarkan lamunan Emily.  "Bagaimana perasaanmu?" pria itu bertanya sembari tersenyum.

"Aku sudah tidak sabar ingin melihat rumah keluarga kita!" Emily menarik napas antusias.

"Kau tahu, saat mendengar rumah bangsawan yang terbayang di benakku adalah kastil indah dengan menara-menara runcing dan barikade parit di sekelilingnya."

Matthias tertawa. "Kau akan terkejut," ujarnya.
"Rumah kita mungkin sedikit berbeda dari ekspetasimu."

****

Sekalipun awalnya Emily berkeras untuk tetap terjaga dan berbincang dengan Matthias, namun nyatanya ia benar-benar kelelahan karena tak pernah menempuh perjalanan sejauh itu.
Emily akhirnya jatuh tertidur dua jam sebelum pesawat mereka tiba.

"Emily, sayang, kita memiliki seluruh waktu di dunia." Matthias berkata padanya ketika pria itu menyadari betapa mengantuknya Emily.

"Besok aku masih akan berada di sisimu, jadi please tidur saja, atau kau akan berjumpa ibu dengan mata yang merah dan kantung mata bengkak karena kurang tidur."
"Ibu pasti bakal histeris melihatnya."

Lalu Matthias membelai rambutnya dengan lembut, menyisiri helai demi helainya, memberikan rasa nyaman yang membuat Emily tak kuasa menahan kantuk dan terlelap.

Pesawat mereka tiba di Birmingham pukul delapan lewat tiga puluh malam.
Pengumuman lewat pengeras suara mengumandangkan kedatangan pesawat serta panduan bagi penumpang sebelum mereka diperbolehkan turun.

Emily melongokkan kepala menatap keluar jendela, tertarik pada kerlip lampu-lampu penerangan landasan pacu.
Ia mendapati pemandangan tak biasa yang membuatnya mengerenyit heran.

Seperti adegan dalam film, ada iring-iringan mobil hitam yang terdiri dari atas sebuah limusin mengkilap diikuti oleh tiga mobil SUV berkaca gelap terlihat memasuki landasan dan berhenti di dekat pesawat komersil yang baru saja mendarat.

Emily terbengong-bengong ketika menyaksikan sejumlah pria bersetelan gelap, lengkap dengan kacamata hitam berderap turun dari mobil-mobil itu.

Sungguh berlebihan, batinnya takjub.

Dia tidak pernah melihat siapapun diberikan akses pribadi ke landasan pesawat sebelumnya.
Siapakah gerangan orang yang ada di dalam mobil itu? batinnya penasaran sambil mengamati salah satu pria berseragam itu membuka pintu penumpang limusin.

Dan siapa yang hendak ditemuinya?
pikir Emily penasaran.

Para pria berseragam itu bergerak membentuk barikade memanjang dan berdiri dengan sikap waspada selagi orang dari limusin itu melangkah keluar, seolah mereka sedang membuat perisai hidup bagi siapapun orang yang sangat penting yang berada di dalam limusin itu.

Sepasang kaki jenjang dengan sepatu keperakan paling indah yang pernah Emily lihat menapak di landasan.
Desiran gaun berwarna putih gading berkelebat saat orang itu melangkah keluar dari limusin dibantu oleh salah satu pengawal.

Lalu Emily melihatnya. Wanita itu memiliki tubuh yang mungil. Rambut pirangnya disanggul elegan di bawah tengkuk.
Ia tidak mengenakan deretan perhiasan gemerlap namun aura berkarisma yang terpancar darinya gampang dikenali di tengah banyak orang sekalipun.

Emily menduga usianya mungkin pertengahan empat puluhan. Mungkin kurang dari itu...

Sulit mengira-ngira sebab wanita itu tampak berseri, dengan senyuman yang tak pernah meninggalkan wajah cantiknya.
Wanita itu mengedarkan pandangan kepada pesawat komersil yang baru saja mendarat, seakan sedang mencari-cari seseorang.

Emily mendengar Matthias mendengus senyum di sebelahnya.
"Ibu menjemput kita. Ayo temui dia."

****

OMG 😱bakal seperti apa momen pertemuan Emily dengan ibunya?

👋Hello2x... welcome back to this story, sorry for the delay. Please leave some votes and comments buatku, supaya bikin aku semangatt lanjut dan terus upload yah frendz🙏thanks🎉
Have a good day 👋❤😘

Beauty and The Beast : "Dark Fortress"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang