Part 3

42.2K 2.4K 15
                                    

Happy Reading
Don't Forget to Comment and
Vote

~~00~~


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.














London, England 07.30 am

Mansion Geraldo

Kegiatan sarapan tetap terlaksana di kediaman Geraldo meski kemarin baru saja terjadi sebuah konflik besar pada rumah tangga si bungsu.

Suasana pagi ini cukup tegang. Semua orang di meja makan hanya diam, fokus pada makanannya masing-masing, terutama Reynhard. Jangan lupakan Dave yang setia menampilkan wajah keruhnya dan seolah tak sudi untuk menatap Reynhard barang sedetikpun sebab mengingat bagaimana cara pria itu memperlakukan putrinya.

Setelah kejadian kemarin, belum ada sama sekali yang berani menyinggung peristiwa pengusiran menantu bungsu keluarga ini.

Atmosfer di rumah besar dan mewah itu pun tak lagi sama seperti biasanya.

"Dad, whele is Mom?" tanya baby Axvel polos, secara tiba-tiba.

Bayi menggemaskan itu memandangi ayahnya seraya menerima suapan dari sang nenek yang berada di samping kirinya.

Mendengar pertanyaan itu dari putranya, Reynhard langsung terdiam. Semua insan yang ada di sana pun sama walau sejatinya mereka sedang bingung harus bagaimana.

"Mommy pergi." jawab Reynhard tak berekspresi.

"Pelgi mana?"

"Kerja."

Axvel hanya menganggukkan kepalanya lucu mendengar jawaban sang Daddy. Meskipun sebenarnya dia tidak mengerti.

Tanpa diduga, beberapa saat kemudian terdengar suara keras dari arah Dave yang mengalun sebab pria paruh baya itu meletakkan alat makannya secara kasar.

"Aku selesai." kata Dave singkat sembari berdiri dan berniat pergi dari ruang makan.

Sebelum benar-benar meninggalkan tempatnya, Dave sempat menatap tajam kearah Reynhard. Tatapan itu begitu menusuk, syarat akan rasa marah yang meluap-luap.

Yang ditatap tak kuasa membalas. Reynhard hanya bungkam selayaknya anggota keluarga yang lain.










~~00~~











Aleisha saat ini sedang membantu seorang wanita paruh baya memasak di dalam sebuah rumah yang cukup sederhana.

Sebenarnya dia sedikit kaget karena ketika ia bangun tiba-tiba dirinya sudah ada di rumah wanita tersebut.

Disaat ia bertanya, wanita itu menjawab jika kemarin malam dia menemukannya pingsan di pinggir jalan dekat taman kota.

Beliau berkata kalau ia melihatnya tergeletak dengan keadaan cukup mengkhawatirkan dimana tangannya terluka, dahinya berdarah, dan pipinya yang memerah karena memar.

Tak mampu menahan rasa kasihan, beliau pun memutuskan untuk membawanya ke rumah ini dengan bantuan beberapa orang yang ada di sana. Walaupun cukup sulit untuk mendapat bantuan mengingat hari yang sudah sangat malam.

Setelah sampai di rumahnya, wanita separuh baya itu membersihkan tubuhnya. Mengganti pakaiannya juga mengobati luka yang ada disekujur tubuhnya.

Setidaknya begitulah yang dikatakan oleh wanita itu tadi.

"Bu?"

Rose menoleh."Panggil Bibi Rose saja!"

"Ah, ba-baik Bi."

"Eum.. Bibi Rose, saya ingin mengucapkan terimakasih banyak pada Bibi karena Bibi sudah mau membantu saya kemarin." ujar Aleisha menunduk dalam, tanda ia benar-benar berterima kasih.

"Saya juga minta maaf karena telah merepotkan anda."

Sejenak Rose menghentikan kegiatannya. Perempuan berambut coklat muda itu mendekat dan mengusap lengan Aleisha.

"Tidak masalah. Bukankah sesama manusia hakikatnya harus saling membantu?" balas Rose menenangkan sembari tersenyum hangat.

"Maaf jika terkesan lancang, tapi kalau boleh tau, kenapa kamu bisa pingsan di jalan seperti kemarin nak?"

Aleisha mendongak. Pertanyaan dari Rose barusan membuat Aleisha kembali mengingat kekejaman suaminya.

Ia tersenyum getir hingga tanpa sadar air matanya menetes.

Rose terkejut melihat air mata Aleisha.

"Ada apa nak?. Mengapa menangis?"

"Saya diusir Bi." tukasnya.

Mata Rose terbelalak "Bagaimana bisa?. Siapa yang mengusirmu?"

"Suami saya." semakin terkejut lah Rose dibuatnya.

"Ya Tuhan, mengapa suamimu tega melakukannya nak?"

Aleisha tak menjawab untuk sesaat. Namun tidak berlangsung lama, ia mulai bercerita dan menjelaskan kejadian miris itu dari awal hingga akhir pada Rose.

Rose menutup mulutnya tidak percaya pasca mendengar cerita dari Aleisha.

"Jahat sekali.." lirih Rose.

"Saya tidak tahu lagi Bi setelah ini harus kemana?"

"Saya sudah tidak punya siapa-siapa." tambah Aleisha dengan air mata yang berderai.

"D-ditambah saat ini saya sedang hamil." sedunya tertahan. Lagi dan lagi Rose merasa tidak menyangka mengetahui kenyataan itu.

"Kau sedang hamil?" Aleisha mengangguk.

"Sudah berapa lama?"

"Baru kemarin saya mengetahuinya Bi. Suami saya tidak tahu."

"Ya Allah, malangnya dirimu nak."

Rose tak lagi bisa memikirkan nasib Aleisha yang memprihatikan. Wanita itu pada akhirnya ikut menangis. Ia bergerak untuk memeluk Aleisha.

Kebahagian apa yang menanti wanita muda ini hingga Tuhan memberinya cobaan yang begitu dahsyat?.

Dan kenapa juga suaminya bertindak sejahat itu?. Apa tidak ada sedikit saja rasa belas kasihan dibenak pria itu?.

Nalarnya tak kuat jika harus membayangkan bagaimana rasanya berada diposisi Aleisha.

Satu yang kini tertanam dipikirannya adalah, ia harus membantu sosok dipelukannya ini.

Pelukan keduanya terlepas. Rose menarik nafas panjang. "Baiklah, tenang saja."

"Bibi akan membantumu." lanjut Rose mengundang tatapan tak mengerti dari Aleisha.

"Mulai sekarang kau bisa tinggal di sini. Hari ini dan detik ini juga kau adalah putriku." sambungnya begitu yakin membuat Aleisha seketika terdiam. Tangisnya langsung terhenti.

"M-maksud Bibi?"

"Iya, kau adalah putriku. Sekarang dan seterusnya. Aku akan merawatmu."


"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
















To be continued

Amour (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang