Pertemuan Tidak Biasa

2.1K 116 0
                                    

"Junkyu, kau keterlaluan. Kau alpha, dia alpha, dan kau masih membuat gestur-gestur sugestif padanya?"

Junkyu positif tuli, dia tidak mendengar Mashiho--mantan kekasih yang sekarang justru menjadi teman dekatnya--mengomel tidak jelas perkara insiden pagi ini.

Berjalan di koridor melewati ruang teater dan anak-anak klub yang duduk di bangku panjang. Junkyu mengabaikan bagaimana percakapan di antara anak-anak itu berhenti dan berubah menjadi bisikan samar saat dirinya dan Mashiho mendekat.

Junkyu menutup mata dan ekspresinya berubah masam. 'Mereka pasti bicara soal kejadian tadi pagi,' batinnya.

Pikirannya melayang, memutar kembali kejadian di halte bus seberang gerbang sekolah.

Junkyu dan Mashiho biasa pergi ke sekolah dengan menaiki bus atau taksi, tapi tidak hari ini. Mashiho bilang kalau dia sedang ingin berjalan kaki. Di hari lain, Junkyu mungkin akan menolak--dia adalah tipikal seseorang yang malas melakukan kegiatan fisik. Namun, entah mengapa, hari ini Junkyu setuju untuk menemani Mashiho. Keduanya berjalan sejauh satu setengah kilometer dari kompleks perumahan menuju sekolah.

Setelah dipikir-pikir, hari ini benar-benar penuh anomali.

Junkyu bersikeras untuk duduk dan istirahat sebentar di halte bus karena ia merasa lelah. Mashiho tentu saja protes soal keputusan ini. Remaja itu beralasan ia harus melakukan piket pagi.

Di tengah perdebatan, sebuah bus bernuansa abu-abu yang penuh dengan pelajar berhenti di depan halte. Kemudian, pintu depan dan pintu belakang bus--yang posisinya persis di depan Junkyu--terbuka. Kumpulan siswa-siswi dengan seragam yang persis seperti yang digunakan Junkyu dan Mashiho turun dari bus dan memenuhi halte.

Junkyu masih ingin berdebat dengan Mashiho soal kenapa dia harus istirahat setidaknya lima menit di halte bus. Kemudian, dia muncul.

Dia.

Remaja laki-laki yang berdiri di ambang pintu belakang bus. Junkyu ingat bagaimana sosok itu memakai kemeja hitam berkancing emas. Junkyu ingat sepasang mata cemerlang, lengkung pipi, dan bibir berbentuk hati.

Remaja bermarga Kim itu tidak tahu apa yang merasukinya. Semua terjadi begitu saja. Dia berdiri secara autopilot. Berjalan melawan kerumunan hingga ke depan pintu bus dan mengulurkan tangannya untuk membantu sosok itu turun dari bus.

Gerombolan di halte bus, yang beberapa detik lalu sibuk dengan percakapan mereka sendiri, mendadak diam. Suasana jadi hening, yang Junkyu dengar hanya degup jantungnya sendiri.

Tangannya masih terulur pada sosok asing yang membeku di pintu bus. Ada keterkejutan di wajah itu, sedikit delik curiga, dan juga sesuatu yang lain.

Orang-orang di sekitar seolah ikut membeku, mereka berdiri di tempat, dan menonton.

Junkyu mulai sadar akan sesuatu. Satu, beberapa saat telah berlalu dan sosok di depannya tidak kunjung menerima uluran tangannya. Dua, Junkyu bahkan tidak mengenal siapa remaja itu dan semua orang sedang memperhatikannya.

Di belakang Junkyu, Mashiho telah kehilangan kendali atas rahangnya yang kini menganga lebar. Mata lebarnya bergantian memandang Junkyu dan sosok remaja tanggung di pintu bus--yang sama terkejutnya dengan Mashiho, kentara dari mulutnya yang sedikit terbuka dan pupil mata yang melebar.

Kecanggungan ini terhenti ketika sosok dengan kemeja hitam berdehem kecil, matanya memandang Junkyu dari ujung rambut sampai ujung sepatu.

Junkyu meneguk ludah, mendadak cemas soal sepatu kotor dan rambutnya yang basah karena keringat.

Alih-alih menerima uluran tangan dan membiarkan Junkyu membantunya turun dari bus, bocah itu justru turun sendiri. Kaki jenjangnya lincah melompati undakan tangga yang berkarat, kemudian mendarat tepat di depan Junkyu. Di atas aspal, ujung sepatu mereka hampir bertemu.

Keduanya menatap dalam dengan mata berkonflik--satu dengan rasa penasaran, dan yang lain dengan hal yang lain.

Junkyu merasa sedikit marah. Pertama-tama, dalam hal apapun, ia belum pernah ditolak sebelumnya. Jadi, saat niat tulusnya untuk membantu justru diabaikan, egonya sedikit terluka. Selanjutnya, lompatan tadi itu berbahaya. Kaki remaja itu bisa saja tergores atau lebih buruknya, tersangkut pada undakan tangga belakang yang keropos dan berkarat. Sungguh, tangga yang hampir copot itu harus segera diganti sebelum melukai seseorang dan membuat mereka mengalami tetanus.

Siswa SMA itu lantas menceramahi orang asing di depannya, mengingatkan bahwa dia seharusnya berhati-hati, dan perhatikan kondisi tangga sebelum turun dari bus.

Menghembuskan napas kasar, Junkyu berpikir untuk bicara dengan tegas pada sopir bus soal perihal tangga pintu belakang yang kondisinya sangat tidak aman.

Kecuali, sosok remaja di depannya merapat. Kaki berlapis sepatu kets sedikit berjinjit, jemari panjang melingkar di perpotongan lengan atas dan lengan bawah, dan sebuah ciuman hinggap di pipi Junkyu yang marah.

"Terima kasih, tapi aku baik-baik saja."

Dunianya jungkir balik dalam sepersekian detik yang tidak terduga.

Sosok itu cepat berlalu, agaknya malu dengan apa yang baru saja ia lakukan. Junkyu ditinggal sendirian untuk menghadapi cecar.

Mashiho memecah keheningan. "Apa yang baru saja aku saksikan?!"

-----

Ketika Junkyu pergi dan bicara dengan sopir dan kondektur bus tentang tangga belakang, dia mendapati sebuah stiker peringatan sejak awal telah terpasang di sana.

Tangga belakang rusak, tolong turun hanya menggunakan pintu depan.

Dia pikir, mungkin remaja dengan kemeja hitam tadi tidak menyadari stiker itu (atau mereka memang ditakdirkan untuk bertemu).

-----

Double Shots (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang