Reka maupun Fino tiba di basement tepat pukul 15:05. Setelah merasa letak mobilnya sudah baik, Reka segera mengambil kantung belanjaan mereka dan menggendong Fino dengan hati-hati.
Beberapa bulan yang lalu demi kemudahan perihal kuliah, Reka memutuskan untuk menyewa sebuah apartemen kecil didekat kampus. Mendengar berita itu, Fino mengamuk hebat kepada Reka dan juga keluarga nya. Tentu saja alasannya ia tak mau pisah dari Reka. Meski pun Fino tak ikut berkuliah, tapi tetap saja ia ingin berada disamping Reka. Kemauan egois itu sempat dilarang oleh Tante Susan, alasannya sudah jelas jika Fino akan memberatkan Reka.
Tetapi pada suatu malam, siapa sangka jika Fino dengan entengnya menawarkan diri ingin pergi ke Psikolog. Padahal dulu ia paling benci dengan serangkaian pengobatan seperti itu, ia menyangkal bahwa dirinya masih normal dan tidak gila. Namun demi bisa bersama Reka, Fino mulai berdamai dengan kondisi dirinya dan meyakinkan semua orang bahwa ia bisa melaluinya tanpa membebankan Reka lagi.
Jika bertanya tentang Reka, tentu saja dia setuju setuju saja. Meski pada awalnya ia kira Fino akan baik baik saja jika hubungan mereka dipisah oleh jarak, ternyata bayi itu nekad juga.
Dan begitulah, Reka dan Fino tetap bersama dengan catatan bahwa Reka harus tetap fokus kuliah dan Fino yang harus konsisten dengan konsultasi nya. Tentunya setiap bulan Tante Susan dan juga Om Theo rutin selalu mengecek keadaan mereka, juga tunjangan keuangan yang bukan main main dari kedua belah pihak keluarga.
"Huffh.. ya ampun makin berat aja, Fin."
Reka membaringkan Fino disebuah sofa empuk, ia berjongkok dihadapan Fino dan mencium bibir nya yang sedikit terbuka itu. Diperhatikan berapa lama pun Reka tak akan pernah bosan dengan wajah dihadapannya itu. Sungguh cantik dan juga tampan, sekarang yang mendominasi wajah Fino adalah cantik. Bukan lagi gemas seperti masa masa di SMA. Tentu hal itu merupakan godaan tersendiri bagi Reka.
"Oh iya semangka..."
Reka teringat dengan janji nya, ia segera pergi ke dapur dan mengambil buah semangka yang mereka beli lusa lalu. Setelah Fino bangun, pasti yang pertama kali diucap adalah janji nya dengan semangka. Fino begitu pengingat soal janji..
Setelah selesai, Reka kembali memasukan potongan buah semangka itu kedalam kulkas. Merasa Fino masih nyenyak dalam tidurnya, Reka memutuskan untuk mandi.
-
-
-
"Hoaam... Rekaa."
Akhirnya Fino bangun juga. Pertama kali ia membuka mata, yang ia lihat adalah Reka yang sedang memangku sebuah laptop dengan secangkir kopi ditangannya.
Fino duduk dan mendekat kearah Reka, ia lihat apa yang sedang dikerjakan pacarnya itu, ternyata sebuah tugas kuliah yang begitu menyilaukan mata Fino.
"Iih, banyak angka.. banyak koma.. banyak nol.. Fino gak sukaa."
Fino merengek dan mengundang tawa Reka. Pipinya kembali dibubuhi ciuman dan sampailah pada bagian paling Reka sukai yaitu bibirnya Fino.
"Mhh.. bau kopi! Pahit."
"Hahaha oke oke maaf sayang."
Fino berdiri dan meninggalkan Reka, ia membuka baju dan melemparnya kearah keranjang baju kotor. Fino berjalan menuju kamar mandi dan asyik bermain air disana. Memang selalu begitu, jika Reka sudah Fokus dengan tugas kuliah nya, Fino akan mengerti dengan bermain sepuasnya. Selain karena waktunya lebih banyak untuk bermain, Fino juga terhindar dari omelan Reka.
"Fino jangan mainin sabun."
"Ck..ish kok tahu."
Tapi terkadang Reka terlampau hebat sampai bisa membagi pikiran begitu, Fino yang awalnya ingin membuat gelembung sabun pun kembali urung dan melanjutkan acara mandinya. Mulai dari berkeramas, menggosok gigi, mencuci muka dan membersihkan badannya. Fino sudah hebat sekali meski dalam keadaan little.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend has a Little Space 2
Short Story"Fino, nampaknya disini aku yang akan paling sulit melepaskanmu. Bisakah selamanya kita hanya seperti ini saja?" "Dengan senang hati, Reka."