Pada malam harinya, tak di duga duga Fino demam dan sedikit sulit diatur. Parahnya saat anak itu rewel, Tante Susan menelepon hingga membuat Reka sedikit repot. Perkara mengambil ponsel di ruang tamu saja Fino menangis dan menuduh Reka mau kabur. Alhasil Reka harus menggendong Fino meski anak itu memukul dan mencakarnya.
"Halo tante.."
"Reka, apa kabar?"
"Reka baik, tapi ini Fino sedikit demam. Fino diem dulu sebentar, ini bunda loh."
Reka duduk dan berusaha menenangkan dua orang sekaligus. Fino yang masih meronta ronta, juga Tante Susan yang terdengar panik di sambungan telepon sana. Hingga pada akhirnya dengan terpaksa Reka menutup telepon dari Tante Susan, tentu nya dengan berbasa basi dahulu.
"Hm.." Reka berpikir sejenak, Fino tak nyaman diam dan terus saja memukulnya jika didudukkan. Pasti kali ini bukan demam biasa..
"Mana yang sakit?"
Bukannya menjawab, Fino malah menangis dan turun dari sofa. Tubuhnya yang pasti nya lemas tak bisa kemana mana, justru bersembunyi dibawah meja dan terus berteriak ketika Reka panggil.
Tangisan Fino begitu keras dan menggema memenuhi ruangan. Reka bisa saja balik marah dan mengobati Fino secara paksa, tapi bukan begitu cara yang benar dan juga yang paling Reka pikirkan saat ini adalah kondisi Fino sendiri. Sudah bukan waktunya lagi dia marah marah sendiri.
"Sini, Reka gak marah kok."
"Hng.. huaa."
Reka tarik tangan Fino perlahan lalu ia peluk anak itu. Yang pertama kali ia periksa adalah kepala Fino. Dulu Fino pernah mengamuk seperti ini karena di rambutnya menempel permen karet, bisa saja hal serupa terjadi juga saat ini tapi ternyata bukan. Reka tempelkan punggung tangan nya ke dahi Fino, masih terasa panas dan mulai berkeringat. Telinga lalu pipi anak itu ia periksa, beralih ke gigi Fino tapi semuanya baik baik saja.
Reka lalu membuka baju Fino, anak itu mulai bergerak tak nyaman saat Reka meraba punggungnya dan sesekali menekan beberapa tempat.
"Aww hua sakit."
Reka sedikit terkejut saat Fino berteriak begitu, ia senderkan Fino pada bahunya hingga punggung Fino terlihat jelas. Ternyata disana ada bagian yang memar, Reka beralih menuju bagian kaki dan terlihat juga lutut Fino ditempeli beberapa stiker.
"Hah.. Fino sayangku, kalau luka jangan di tempelin stiker gini."
Reka juga merasa ceroboh karena tak menyadari hal ini. Dengan perlahan ia cabut stiker itu satu persatu, mulai menampakan beberapa luka goresan dan memar. Reka perkirakan Fino terjatuh dari tempat yang cukup tinggi dan lututnya tergores permukaan yang kasar. Reka mulai mengingat denah rumah mereka, satu satu nya tempat yang rawan jatuh adalah tangga bawah dekat trotoar. Ya, pasti disana.
Reka dengan sabar nya mengobati semua luka Fino lalu menempelkan Kool Fever pada dahinya. Ia usap usap punggung Fino, bermaksud menenangkan anak itu yang saat ini sudah mengantuk. Untuk beberapa saat mereka diam dengan posisi begitu sampai Fino benar benar tertidur.
"Berat ya jadi Fino, mau pergi ke suatu tempat aja sampai begitu."
Reka diam saat Hagia muncul bersama Aru dan berkata begitu. Mereka pasti panik karena mendengar tangisan Fino. Reka juga sengaja memberitahu password rumah kepada mereka berdua, jaga jaga jika terjadi sesuatu kepada Fino selagi ia tak ada di rumah.
Reka pun bingung harus berbuat apa, karena terkadang hal seperti ini perlu Fino alami demi kewaspadaan diri nya sendiri. Hanya saja Reka yang tak kuat, rasanya ia ingin sekali membawa Fino kemana pun ia berada, bahkan jika perlu mengikat tangannya saja supaya tetap terpantau oleh nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend has a Little Space 2
Short Story"Fino, nampaknya disini aku yang akan paling sulit melepaskanmu. Bisakah selamanya kita hanya seperti ini saja?" "Dengan senang hati, Reka."