Selama ini yang paling bisa membuat Fino resah adalah rasa ketidak nyamanan saat ditinggal sendirian. Saat ia diabaikan, saat semua pandangan sudah bukan lagi terpusat padanya.
Selama ini keresahan itu tertutup rapat karena ada kedua orang tua yang begitu memanjakan nya, ditambah Reka yang sempurna sekali jadi orang yang menemaninya.
Tapi suatu saat semua tameng itu pasti hilang dan Fino semakin kesini semakin sadar soal itu. Membuatnya takut, membuatnya resah dan sedih, membuatnya masuk ke dalam kondisi little lebih lama dari biasanya. Semuanya ia lakukan hanya untuk mendapatkan sebuah atensi, supaya orang lain tak berpaling darinya.
Hingga kabar mengejutkan terjadi hari ini, hal yang sama sekali tak pernah Fino pikirkan lebih dari ia memikirkan boneka dino. Bunda hamil? Adik? Fino jadi kakak?
Fino marah karena ia takut jika semua atensi itu akan beralih pada adiknya, Fino tak biasa dan tak bisa jika harus menerima situasi semacam itu. Ia tak bisa mandiri jika tak didampingi orang orang yang ia sayang, pokoknya Fino mau egois! Fino gak mau berbagi!
Tapi perkataan Reka juga masuk dengan baik menuju kepalanya dan merambat ke hati. Fino pun juga penasaran dengan sosok Adik yang akan datang itu. Meski harus menunggu lama, justru hal itu yang semakin membuatnya penasaran.
Fino yang sedang mengungsi di kamar Reka pun berpikir terlalu keras hingga mengabaikan Reka yang sedang membawakannya makan malam. Fino menolak keluar dari kamar Reka, ia menolak bertemu semua orang kecuali Reka karena Fino merasa malu soal nya tadi siang lepas kendali dan tantrum. Fino sadar jika ia harusnya tak begitu--ngamuknya harus nya jangan keras keras sampai tetangga berdatangan dan bertanya kepo. Pokoknya Fino malu, jangan tanya tanya lagi.
"Reka, kenapa adik bayi bisa ada di perut Bunda?"
Reka yang hendak menyuapkan nasi ke mulutnya sendiri pun menjadi urung dan tertohok. Mana bisa ia jawab secara gambang, lagi pula harus nya Fino sudah tahu hal itu jika dalam keadaan biasa.
"Soalnya.. eum, apa ya haha."
"Apa?! Kasih jawab!"
Fino mengambil sepiring porsi makannya lalu menyuap dengan tatapan marah kearah Reka. Ia bahkan sudah mengacungkan garpu kearah Reka dan tak lupa juga dengan tatapan tajamnya.
"Ya karena Ayah nitipin bayi nya ke perut Bunda, lama lama nanti bayi nya tumbuh besar."
Fino mengangguk dan berusaha mengerti saja pada akhirnya. Ia lalu makan dengan tenang tapi ketika kulitnya merasakan semilir angin dingin, otomatis Fino menoleh kearah jendela dimana tepat sekali ia bisa lihat pekarangan rumah nya. Lalu mimik muka kedua orang tua nya saat menatap khawatir tadi siang muncul begitu saja. Fino jadi tak nafsu makan.
Reka melihatnya, kalau masalah itu sih ia tidak bisa banyak ikut campur. Yang perlu Reka lakukan hanya memberi Fino beberapa pencerahan, yang lebih berhak bertindak tentu saja anak itu.
Fino menarik lengan baju Reka lalu menatapnya dengan sedemikian rupa. Ia simpan sepiring makanan yang bahkan belum habis setengah itu ke pangkuan Reka.
"Reka, maafin Fino. Fino gak jadi mam disini, mau pulang ke Bunda."
"Iya, yuk dianter."
Reka merasa lega saat Fino sudah mulai lagi memutuskan keinginannya. Pandangannya teduh menatap Fino dan tangannya tak berhenti mencubiti pipi anak itu. Reka pun akhirnya mengantar Fino ke rumah nya, mereka berhenti sejenak di sisi jalan, menengok kanan kiri dan saat sudah mulai sepi keduanya menyeberang dengan hati hati.
Reka antarkan Fino sampai pintu depan, ia cium bibir anak itu dan menjadi penutup perjumpaan mereka di hari ini. Reka putuskan untuk memberi Fino ruang yang banyak bersama keluarga nya, begitu pun dirinya sendiri yang harus juga menghabiskan waktu bersama di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend has a Little Space 2
Short Story"Fino, nampaknya disini aku yang akan paling sulit melepaskanmu. Bisakah selamanya kita hanya seperti ini saja?" "Dengan senang hati, Reka."