Ibu hamil itu sensitif, tidak boleh shock dan stress berat karena bisa mempengaruhi perkembangan si janin.
Hal itu yang dipegang teguh oleh Susan supaya ia bisa menjaga calon bayinya. Karena pernyataan itulah ia sangat hati hati terhadap apapun, bukti bahwa ia sangat menjaga buah hati nya ini.
Tapi hari itu, hari yang tak pernah bisa Susan lupakan. Ketika ia dengan bahagia nya mengunjungi perusahaan Theo, hanya ingin makan siang bersama. Tapi ditengah jalan sebuah kecelakaan kecil terjadi.
Kala itu seorang penjahat keji yang tengah dikejar polisi hanya karena mencuri sebuah tas mahasiswi berlindung dibalik badannya, menodongkan senjata pada perutnya dan mengancam supaya dibebaskan.
Polisi yang memegang senjata pun tak membaca situasi, malah menodongkan balik pistol yang nampak mengerikan bagi Susan.
Kejadiannya sangat cepat, sebuah peluru melesat dan mengenai kaki si pencuri itu sedangkan tubuhnya ditarik oleh polisi lain secara bersamaan.
Susan sangat terkejut, banyak orang melihat iba saat darah mengalir deras melewati kaki nya.
"Tidak! Bayi ku! Tolong." Saat itu yang paling Susan ingat adalah rasa takut dan juga menyesal.
Ia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Susan tak henti nya menangis bahkan saat Theo sudah datang memeluknya erat.
Kejadian itu bahkan masuk ke jajaran berita lokal yang ditayangkan di televisi.
Susan sangat terpukul saat dengan terpaksa dokter bilang ia harus segera melahirkan bayi nya meski waktu nya masih sangat dini.
Masih ingat bahwa setiap detik yang ia rapalkan hanya doa supaya anak nya bisa selamat.
Perjuangan panjang itu berakhir saat bayi mungilnya sudah terselamatkan. Sungguh kecil dan tidak bersuara. Sesaat Susan sangat terpukul karena merasa harapannya sudah pupus.
Tapi setelah bayi itu ia rangkul, ia dekap dengan hati hati dan ia panggil beberapa kali. Suara nya terdengar, menangis walau tidak kencang.
Semua orang pada akhirnya bernafas lega. Walau ternyata, itu adalah awal perjuangan panjang yang sangat menguji kesabaran.
Bayi nya tumbuh lambat dan kecil. Bertahun tahun berlalu sampai usia nya tak terasa menginjak 11 tahun.
"Fino, loh kok gak berangkat sekolah?"
Saat itu tak pernah Susan lupakan ketika pertama kali Fino pulang di jam yang masih awal.
Anak yang sulit bicara itu menangis, mengadu tentang sesuatu yang sulit dimengerti. Tapi hanya karena satu kalimat saja, Susan paham dan sangat sakit hati.
"Ejek! Fino... diejek. Nda bisa apa apa.. huks--nda seru. Fino ditinggal."
Bukan sekali dua kali Susan menerima laporan Fino yang menangis di sekolah. Guru guru bilang mereka tak bisa memahami Fino yang sulit diatur, sulit menerima pelajaran dan sulit bersosialisasi.
Tapi ketika pulang, Fino selalu cerita walau dengan kata kata sederhana. Diejek, dipukul teman, dicubit guru, ditendang... hanya kata kata seperti itu yang keluar ketika Susan bertanya berpuluh puluh kali.
Susan paham jika anak nya ini penuh kekurangan, ia akui itu. Tapi mengingat kejadian di masa lampau, Fino jadi begini bukan salah nya! Bukan Fino yang mau lahir dengan keadaan seperti ini.
Mulai saat itu lah Susan pindah dari lingkungan yang kurang mendukung Fino. Pindah ke sebuah kawasan asri di pinggir kota, sangat ramah meski tak bisa ia pungkiri jika orang orang yang terkejut dengan kondisi Fino masih ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend has a Little Space 2
Short Story"Fino, nampaknya disini aku yang akan paling sulit melepaskanmu. Bisakah selamanya kita hanya seperti ini saja?" "Dengan senang hati, Reka."