"Lantas, kenapa Ibu pura-pura sakit?"
"Saya punya alasan kuat. Saya enggak mau dia susah, tapi—"
"Kasihan Juna. Kalau Ibu pura-pura sakit, jangan terlalu sering ngompol di kasur, ya!"
"Kenapa? Kalau saya tidak melakukan itu, maka Juna akan tahu kalau saya cuma pura-pura sakit! Saya sayang sama Juna. Saya ingin diperhatikan oleh dia. Kalau dia perhatian sama saya saat sedang sakit, saya bersedia pura-pura sakit setiap hari."
"Kalau Ibu pura-pura sakit terus, Juna akan kesulitan dalam belajar! Dia akan sulit membagi waktu, Bu. Saya sering lihat Juna ketiduran di kelas. Dia terlalu kelelahan, Bu!" terangnya dengan ekspresi tegas.
Tanda tanya kembali bersarang di otaknya. Bagaimana mungkin, ada orang yang berpura-pura sakit agar mendapatkan perhatian dari orang lain? Seorang Ibu tidak memberitahu kesehatannya pada sang buah hati dan membiarkan anak satu-satunya bekerja keras, sendirian, tanpa henti.
Ini gila. Sepertinya, tingkah laku seperti ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang mengalami gangguan psikis atau trauma di masa lalu. Bukan cuma pembaca yang merasa gemas terhadap tingkah laku Ibu Hesti, Clara juga merasa gemas sendiri. Gadis ini mengepalkan telapak tangan dan berusaha tidak tersulut emosi.
"Lebih Ibu jangan bermain rahasia kepada saya."
"Memang, kamu siapa? Hanya bocah ingusan. Pake nyuruh buat cerita lagi. Cih!"
"Tolong ceritakan semua kisah hidup Juna! Saya berjanji, enggak akan kasih tahu kelakuan Ibu kepada siapapun."
"Termasuk pada Juna?"
"Iya, saya akan diam saja."
"Baik. Awas kalau sampai rahasia saya bocor! Saya tandai wajah kamu, ya!" ancam Ibu Hesti dengan tatapan tegas, tetapi tatapannya berubah saat kembali berkata-kata, "sebenarnya, saya enggak mau main rahasia dari kamu atau pun Juna. Saya merasa nyaman bisa pura-pura sakit. Kenapa? Juna enggak pernah melupakan saya, kasihnya semakin besar. Saya enggak tahu, ternyata Juna menderita karena kelakuan saya. Seharusnya, saya mati saja. Kalau saya mati, Juna enggak akan menderita lagi."
"Bu, jangan ngomong kayak gitu! Ucapan adalah doa. Lebih baik, Ibu doakan Juna supaya bisa lebih kuat. Seharusnya, Ibu hentikan semua ini! Juna juga berhak bahagia. Dia adalah manusia, bisa capek dan mengantuk."
"Iya, tapi saya masih belum selesai ngomong! Kamu jangan asal potong ucapan saya! Dengarkan dulu! Kamu pikir, saya melakukan ini secara asal? Enggak! Saya juga punya masa lalu. Masa lalu yang mengubah saya jadi "setan" kayak gini."
Rumah kembali sepi, Clara terdiam ketika Ibu Hesti mulai menceritakan semuanya. Tatapan wanita paruh baya ini kembali sayu seperti sedang menyimpan banyak kesedihan. Dia melirik Clara dengan ekspresi sedih, kemudian meneteskan air mata.
Clara tahu kalau Ibu Hesti sedang menahan trauma masa lalu. Gadis ini segera mendekat lalu mengelus-elus punggung ibu Juna. Mereka berdua sudah terlihat seperti ibu dan anak.
"Ceritakan secara perlahan, Bu. Hm. Kalau Ibu enggak mau cerita, enggak kenapa-kenapa. Clara gak memaksa," ungkap Clara dengan nada lirih dan matanya terlihat berkaca-kaca.
Setelah menatap Clara selama tiga menit, Ibu Hesti segera menggeleng. Dia tidak akan membatalkan cerita ini. Seharusnya, Clara mengetahui semuanya karena sudah menjadi cinta pertama dari Juna.
"Dari sekian banyak perempuan. Kamu adalah gadis yang paling dicintai oleh Juna. Kamu harus tahu kisah hidup dia kalau berniat untuk hidup berdua, selamanya," tutur Ibu Hesti dengan ekspresi murung, tetapi memaksakan diri untuk tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNA AG ( TAMAT )
Teen FictionTAMAT - PART MASIH LENGKAP. ✅ 'Playboy jahil itu siap mengubah suasana kelas seperti neraka!' Tragedi 30 September menciptakan trauma bagi keluarga korban. Murid cerdas sekaligus humoris bernama Juna AG berusaha setengah mati untuk menutupi luka. Ma...