22. Sedikit Mundur.

11 7 8
                                    

Ketika sedang di dalam kelas, gadis tersebut menyatukan alis, seperti tidak mau ditatap tanpa henti oleh manusia aneh seperti Juna. Clara sempat mengira kalau laki-laki ini akan membencinya karena sudah dikerjai sampai maghrib. Namun, Juna malah semakin mendekati. Menyebalkan! Clara ketar-ketir untuk menjauhi semua orang, tetapi Juna berlari terbirit-birit untuk mengejar balasan.

"Lo bisa kembali ke bangku enggak, sih?" tanya Clara sambil berpaling menatap jendela di sebelah kirinya.

Juna segera menyodorkan selembar kertas kepada gadis ini, kemudian menjawab, "Udah, lo enggak boleh mengeluh! Jarang-jarang gue mau duduk sama anak cewek—"

"Halah! Semua cewek selalu lo ambil. Bahkan, anak Pak Camat aja hampir lo baperin!"

"Dia yang baper ke gue, kenapa gue yang disalahkan?" elak Juna sambil mencoret kertas itu dan membentuk beberapa angka yang memusingkan, "coba lihat ke sini dulu! Kayanya, lo mau membalap peringkat gue? Ayo, belajar yang rajin! Kalau lo mampu membalap peringkat gue, gue janji akan menari jaipong!"

"Serius lo?" tanya Clara dengan begitu antusias karena tidak sabar untuk melihat tubuh kaku Juna berlenggok, menari tari jaipong demi menghibur gadis culas sepertinya, "ya, udah! Ayo, cepat ajarkan gue matematika yang memusingkan itu!"

"Ck, lo pasti enggak sabar lihat gue menari jaipong! Semoga aja nanti celana gue enggak melorot. Lo pasti enggak tahu kalau celana gue melotot pas menari balet di belakang sekolah."

Tangan kanan langsung digunakan untuk menutupi mulutnya. Clara ingin tertawa terbahak-bahak kalau teringat kejadian di belakang sekolah. Waktu itu Juna sedang meniru tarian balet dan celana sekolah benar-benar ingin copot. Lucu sekali, Clara sampai terkekeh, sesekali memukul tangan kiri Juna karena sudah tidak kuasa menahan tawa.

Juna malah pasrah ketika tubuhnya dijadikan sasak tinju dadakan oleh gadis kesayangannya. Benar. Mereka sempat terlihat akrab sampai tertawa kecil tanpa melibatkan kontak fisik yang merujuk pada pelecehan.

Setelah tawa mereka sedikit reda, Juna langsung membuka buku materi, kemudian menjabarkan rumus yang sudah disingkat sehingga membuat Clara mengangguk karena sangat memahami rumus tersebut. Gadis yang biasanya diam di kelas saat pelajaran matematika mendadak ingin menunjuk salah satu rumus lalu memberikan pertanyaan.

"Caranya mudah, gue udah rangkum semua cara untuk selesaikan soal ini dalam satu malam, sama persis kayak pengorbanan Ken Arok—"

"Lebay!" sela Clara sambil menutup mulut yang sudah menguap, padahal mereka baru belajar selama beberapa menit.

"He, he, rumusnya gampang, kok! Lo harus bisa menjumlahkan titik Y dan Ha. Lo tahu enggak apa itu Y, H dan I?"

"Gak!"

"Y artinya You. H artinya Him. You can be with him, but i can be broken."

( kamu bisa bersamanya, tapi aku bisa hancur )

Clara tampak cuek dan malah tidak fokus pada pelajaran dari Juna. Dia sudah muak kalau terus menghadapi kebucinan dari laki-laki humoris ini. Lebih baik, dirinya pergi mencoret kertas kosong atau sekedar melirik jendela. Tidak lama kemudian, gadis ini malah tidak sengaja mendengar suara sesenggukan. Dia melotot kaget karena baru sadar bahwa Juna sedang menangis secara perlahan. Ketika Clara menoleh, Juna terlihat sedang menyeka air mata dan menarik nafas secara kasar.

"Ih, lo menangis? Cengeng! Kenapa, sih? Lo ada masalah apa?" tanya Clara sambil berusaha menarik tisu dari kolong meja.

"Hidung gue ada lagi mampet."

"Dasar, Wajid! Gue kira lo mewek!" pekik Clara sambil melempar.kan satu pak tisu pada wajah Juna.

Juna terkekeh lalu menjawab, "Heh, kayaknya gue mau pilek, deh."

"Enggak peduli!" balas Clara dengan ekspresi ketus, tetapi tangan kirinya langsung menarik sehelai tisu lalu membantu menyeka ingus di bawah hidung Juna, "jorok! Lo udah gede. Ngapain lo bersikap kayak orang kurang waras terus? Berhenti jadi badut yang menghibur orang lain, tapi enggak mampu menghibur diri sendiri!"

"Lo manis banget kalau lagi ngomong, bibir lo juga cantik, gue jadi pengen—"

"Apa? Gue gaplok kalau lo banyak tingkah!"

Kelas sudah sangat sepi dan hanya menyisakan mereka berdua. Clara segera berjalan menuju meja guru, kemudian mengambil penggaris yang terbuat dari kayu. Itu adalah senjata, digunakan untuk menggetok wajah Juna kalau sampai macam-macam.

"Kepala lo enggak akan aman kalau bermain-main sama gue!" lanjut Clara dengan nada menekan mental.

"Gue enggak akan ngomong yang aneh-aneh, janji! Lagian, gue suka sama lo karena mirip sama Ibu gue. Kalau gue menodai lo, berarti gue udah menodai Ibu," balasnya sambil cengengesan.

Clara baru ingat bahwa Juna sangat menyayangi seorang Ibu. Bahkan, Juna sampai melotot tajam padanya saat masih memakai pakaian serba hitam dan tidak sengaja melewati pekarangan rumah Ibu Hesti.

Juna menunjuk sebuah soal di buku tebal sambil berujar, "pertanyaannya adalah apa saja yang memiliki nilai benar atau salah tetapi tidak kedua duanya disebut?"

"Jawabannya benar, 'kan?"

"Iya, diartikan jika ada kesesuaian antara apa yang dinyatakan dengan keadaan sebenarnya."

Clara mengangguk selama beberapa saat lalu menunjuk salah satu soal, kemudian berkata, "Oh, pertanyaan yang ini diselesaikan dengan cara membulatkan hasil dari 129, ya?"

"Iya, Ra. 129 dibulatkan menjadi 130. Yang ganjil, enggak boleh dimasukkan dalam rumus. Anggap aja angka sembilan membutuhkan pelengkap. Kalau lo butuh seseorang untuk melengkapi hidup, bilang aja ke gue!"

"Kenapa gue harus bilang ke lo?"

"Kalau nanti hidup lo kurang lengkap, gue bisa laporan ke Pak Satpam. Nah, lumayan! Pak Satpam itu duda. Siapa tahu, lo tertarik."

Clara terdiam sejenak. Tumben sekali karena hari ini, Juna tidak memberi gombalan receh kepadanya. "Kenapa lo enggak mau melengkapi hidup gue?" tanya gadis tersebut dengan ekspresi datar.

"Cie, lo pasti kangen sama gombalan gue, 'kan? Ngaku! Janganlah engkau suka bohong! Kalau bohong, digigit Nenek Ompong," pinta Juna sambil menirukan lagu anak-anak Indonesia, kemudian tertawa lepas.

Juna berhenti tertawa saat melihat Clara sedang memperlihatkan wajah menyeramkan, yaitu terdiam dengan wajah culasnya.

"Gue enggak mau melengkapi hidup lo karena lo enggak mau gue menjadi pelengkap."

"Karena gue emang udah muak sama laki-laki!"

"Tapi, gue enggak sama kayak mereka, Ra!"

"Sama aja! Lo adalah pecundang. Gue tahu, lo mengajarkan semua soal-soal ini karena pamrih, 'kan? Lo mau apa? Duit? Nanti gue transfer!"

"Udah ribuan kali gue ngomong, enggak semua laki-laki itu brengsek!"

Juna bangkit dari bangku dengan wajah merah padam. Dia tidak mau kalau disebut memiliki karakter yang sama seperti laki-laki di luar sana. Sudah jelas bahwa dirinya memiliki kelebihan yang jarang dimiliki oleh seorang laki-laki, yaitu mati-matian menjaga perasaan seorang wanita, meskipun dirinya dalam keadaan hampir mati.

Clara menepis tangan Juna yang sedang menggenggam pergelangan tangannya dengan perasaan kesal, kemudian merapikan beberapa buku di atas meja, ke dalam tas. "Enggak semua laki-laki brengsek, ada juga yang biadab," tukas Clara sambil melangkah keluar kelas.

JUNA AG ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang