Valter menutup layar handphone di atas meja belajar Juna. Arjun malah menatap kelas 11 IPS 1 dengan rasa sumbringah. Kenapa dia sumringah? Karena kasus ini sudah terungkap. Geng Sanggara melaksanakan semua tugas dengan baik. Juna sendiri cuma menghela nafas panjang. Sahabatnya ini tetap berada di kelas, walaupun sudah diusir berulang kali. Mulutnya sampai berbusa akibat mengusir anak-anak sebaik Geng Sanggara.
"Lo enggak boleh usir gue dari kelas ini! Awas aja!" perintah Natasha sambil melipat buku belajar Juna.
Juna mendelik. Seram sekali kalau seorang gadis sedang marah. Juna iseng menarik buku itu, kemudian memakan kertasnya secara perlahan. Semua orang langsung merinding. Kelakuan Juna sangat tidak masuk akal.
"Jangan makan kertasnya, dodol! Nanti lo keracunan," sorak Areska sambil menepuk-nepuk pundak Juna supaya bisa memuntahkan kertas tadi.
"Kalau melarat, enggak usah kayak gitu juga kali!" Valter merecoki.
Arjun yang memiliki gelar orang paling kaya cuma terkekeh sambil menggeleng. Juna yang membungkam selama beberapa jam langsung tertawa kecil. Ada saja kelakuan dari Sanggara ini. Ketika ada berita fitnah pun, mereka tidak akan sungkan untuk selidiki pelaku sebenarnya.
"Jadi, kalian udah bertemu pelaku yang sebenarnya?" tanya Juna sambil menatap Valter dengan ekspresi memelas.
"Jangan menatap gue pakai tatapan memelas gitu!" perintah Valter dengan wajah datar, "mau dilempar buku lo?"
Juna langsung tertawa, kemudian menjawab, "Ngeri kalau marah. Gue yakin, lo adalah titisan dedemit."
"Sahabat lo emang bikin gue emosi terus, ya?" decit Valter sambil menepuk pundak Arjun.
"Iya, dia emang bikin kita emosi terus. Hajar aja udah!" Areska malah semakin mengompori.
"Lo ngajak Areska bercanda, tapi kenapa malah tepuk pundak gue?" protes Arjun lantaran sejak di kantin, pundaknya terus menjadi korban salah sasaran.
Valter langsung tersenyuk kikuk. Suasana suram di antara mereka seketika berubah menjadi gelak tawa. Entah apa yang ditertawakan, tetapi begitulah persahabatan. Ada saja hal lucu yang dibahas ketika sedang sedih. Bukan untuk meledek, tetapi supaya sahabatnya tidak bersedih lagi.
Setelah beberapa menit berlalu, Valter langsung melemparkan topi hitam ke arah Juna. Itu adalah topi milik Clara. Hebat sekali kalau Valter mampu memegang barang-barang milik gadis judes bernama Clara.
"Heh, apa-apaan? Lo jangan sentuh barang-barang milik Clara! Gimana kalau dia ngamuk ke lo? Nanti gue juga disembur dia! Cepat kembalikan ini ke tasnya!" perintah Juna sambil menarik topi, kemudian beranjak, hendak mengembalikan topi itu pada tas Clara.
Langkah Juna langsung terhenti saat melihat bangku masih kosong. Hari ini, gadis itu sudah izin padanya. Namun, Juna selalu dihantui oleh bayangan Clara. Tubuhnya seketika lemas. Kalau Clara tidak ada di sini, bagaimana topi ini ada di tangan Geng Sanggara?
"Clara lagi izin! Ngapain lo ke sana? Meratapi kepergian Clara?" celetuk Areska sambil tertawa ringan.
Natasha tahu kalau Juna memang tidak semangat sekolah karena Clara sedang izin. Tatapan Juna terlihat sayu dan tubuhnya seperti orang demam. Memang ada, ya, orang yang jatuh cinta sampai sebucin itu? Natasha segera menepuk pundak Areska dan memberi isyarat supaya diam saja. Areska menurut dengan cara mengangguk pelan.
"Kelihatannya lo sedih banget kalau Clara lagi izin. Kenapa, sih? Masih enggak mau cerita?" tanya Natasha kepada Juna.
Juna menggeleng pelan dan tidak mau terlalu terbuka pada sahabatnya. Mulutnya kembali bungkam saat sedang berjalan ke arah bangku. Dia berhasil membuat Geng Sanggara menjadi bersedih.
"Gue menemukan topi itu di dalam kolong meja Clara," ungkap Valter dengan tatapan serius, "ada kemungkinan Fisa adalah pelaku utama."
"Lho? Apa hubungannya? Itu emang topi Clara. Wajar kalau ada di kolong meja Clara. Mungkin aja ketinggalan. Iya, 'kan?" Areska semakin merecoki.
"Diam dulu, dodol!" celetuk Juna sambil menaruh jari telunjuknya di depan mulut Areska.
"Lepasin jari lo dari bibir gue! Jijik, kayak orang lagi uwuw-uwuw aja!" desis Areska segera menepis tangan itu. Juna langsung terkekeh, begitu juga dengan Natasha. Di saat sedang serius pun, ada saja tingkah nyeleneh di antara mereka.
"Gue sempat melihat Fisa menaruh topi ini di kolong meja Clara," kata Arjun dengan nada serius sampai membuat suasana menjadi senyap.
Areska kembali menoleh pada jam di tangan kanannya. Kali ini, dia adalah orang yang terlihat serius. "Juna, lo sendiri yang bilang, saat membeli air kelapa di pertigaan, lo enggak sengaja melihat gadis bertopi. Iya, 'kan? Ada kemungkinan, Fisa lagi mengintai rumah lo memakai topi yang dicuri dari Clara."
"Oh, iya, juga. Gadis itu emang jatuh hati sama lo, Jun. Fisa bisa aja mencuri topi demi melancarkan aksi tidak terpuji. Setelah melaksanakan aksinya, Fisa taruh lagi topi ini di kolong meja Clara untuk hilangkan bukti," terang Arjun dengan wajah syok.
"Maksudnya gimana, sih?" tanya Juna sambil menggaruk kepala bagian belakang.
"Aduh, si dodol! Kalau mengerjakan tugas sekolah, lancar. Kalau ngobrol sama temen sendiri, malah kayak kucing kena air," cela Arjun pada Juna, "Fisa udah mencuri topi Clara secara diam-diam lalu memakainya saat sedang mengintai rumah lo. Dia sengaja menjebak dan memfitnah kalian. Dia membuat semua orang berpikir kalau lo udah menculik Clara."
Bukan hanya Geng Sanggara, bahkan para murid di dalam kelas yang tidak istirahat langsung melotot kaget saat mendengarkan teori mereka. Senyap. Juna tidak mempercayai pendengarannya sendiri. Dia terus terdiam sambil memandangi buku dengan ekspresi marah, tetapi tatapannya terus kosong. Sanggara Geng pun kompak terdiam, mereka tidak tega melanjutkan kelanjutan cerita. Namun, Juna harus mengetahui kejadian sebenarnya.
"Lo masih enggak percaya sama kita, 'kan? Kalau enggak ada bukti, gue juga ogah untuk mempercayai teori aneh ini," timpal Valter sambil merogoh HP di saku celananya, "Gue bawakan bukti."
Juna meraihnya lalu menatap layar handphone selama beberapa saat. Di sana, hadir sebuah tombol berbentuk segitiga. Dia mengetuk tombol itu, kemudian mendengarkan suara Fisa yang sedang menangis pelan.
"Gue minta maaf! I-iya, gue adalah pelaku. Valter, jangan bilang ke Juna ataupun Clara. Tolong rahasiakan semua ini, Valter!"
Ini adalah bukti yang kuat, tidak bisa dipatahkan oleh silat lidah. Juna pun terdiam kembali, memikirkan semua permasalahan dalam hidup membuat kepalanya menjadi pusing. Natasha mendadak menggebrak meja dengan cukup kuat sampai membuat semua anak di kelas tersentak, kecuali Juna.
Wajah Natasha tampak merah padam ketika berkata, "Nyai Lampir Fisa tega banget sama Juna. Dia enggak kenal sama kita? Sanggara! Berani banget membuat onar sama Sanggara."
"Labrak aja, Sha!" Areska mengompori gadis itu.
Amarah mampu meninggi apabila dikimpori oleh temannya, termasuk Natasha. Gadis ini sudah tidak bisa menahan emosi, dia beranjak dari bangku lalu berjalan ke arah pintu. Ketika Natasha sudah di dekat pintu kelas, pergelangan tangannya segera ditarik oleh seseorang. Orang tersebut adalah Juna.
"Lo mau ke mana?" tanya Juna. Suaranya terdengar lirih, menyayat hati pendengarnya. Namun, bibirnya terus menampilkan senyuman kecut.
Natasha pun menjawab, "Gue mau melabrak Fisa. Berani betul sama lo!"
"Enggak usah! Masalahnya udah kelar."
"Apa-apaan, sih, Jun? Lo udah difitnah—"
"Enggak papa. Gue ikhlas."
"Lo jangan terlalu lemah!"
"Gue enggak lemah, Natasha. Orang yang memenangkan masalah adalah orang yang mampu memaafkan sang pembuat masalah."
Juna menarik pergelangan tangan Natasha dan menuntunnya supaya duduk di tempat semula. Gadis itu menurut, tetapi matanya berair. Bukan hanya sering menghibur, ternyata Juna sering memberikan amanat terbaik untuk sahabatnya.
Areska menepuk-nepuk punggung Natasha supaya lebih tenang. Saat Natasha serta Juna sudah tidak emosi lagi, Geng Sanggara yang lain segera memberikan candaan ringan sampai membuat suasana kembali mencair. Mereka memang begitu. Satu, mereka adalah Sanggara.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUNA AG ( TAMAT )
Fiksi RemajaTAMAT - PART MASIH LENGKAP. ✅ 'Playboy jahil itu siap mengubah suasana kelas seperti neraka!' Tragedi 30 September menciptakan trauma bagi keluarga korban. Murid cerdas sekaligus humoris bernama Juna AG berusaha setengah mati untuk menutupi luka. Ma...