5. Kondisi Keluarga Juna.

29 15 14
                                    

Lonceng sudah berbunyi. Karena terus berkicau, geng Sanggara tidak mengajaknya pulang bersama. Juna terpaksa menunggu angkot sendirian.

Di saat sepi, Juna memutuskan untuk termenung sambil menatap langit. Biru dan ceria, berbeda sekali dengan kehidupannya. Katanya, Juna punya sikap kekanak-kanakan, tetapi lelaki tersebut memiliki sisi lain yang tidak dapat ditembus waktu.

"Katanya, dewasa itu enggak melihat umur seseorang. Faktanya, gue harus jatuh, terjungkal, tergolesat, dan juga tigusruk dulu supaya cepat dewasa," gumam Juna sambil berdiri di depan rumah sederhana.

Juna malas masuk ke dalam rumah karena selalu kehilangan kendali. Firasatnya terbukti benar karena dia langsung meneteskan air mata setelah melihat wanita paruh baya sedang terlentang dalam kondisi kaku.

Wanita itu sedang mengalami masa sulit, yaitu sakit stroke. Juna mendekat, lalu duduk di sampingnya. Wanita itu malah berpaling seolah jijik saat menatap anak kandungnya sendiri.

Juna menyeka air mata di pipi kiri kemudian bertanya, "Mama udah makan?"

"Ke ... ke mana pe-perawat ... itu?" tanya Hesti, ibu Juna yang sedang berbicara dengan suara tertatih.

"Alhamdulillah, Mama bisa ngomong lagi."

"Kamu sialan, perawat juga!"

"Mama jangan ngomong gitu lagi, ya? Gak baik, Ma."

Sakit! Jantung Juna seperti sudah ditusuk sembilu. Ibu yang sangat dicintainya selalu mengucapkan kalimat tajam. Juna rindu kasih sayang Ibu, tetapi tidak mampu melakukan apapun, selain memberi pengabdian. Tidak lama berlalu, handphone-nya mendadak berdering. Juna langsung menjaga jarak dari Ibu Hesti, lalu mengangkat telepon itu.

"Halo? Iya, betul, ini Juna. Maaf, saya mau tanya sesuatu ... kok, Ibu pergi tanpa izin? Apa uang untuk merawat Mama kurang? Kalau kurang, saya bisa kerja lebih keras lagi supaya Ibu betah kerja di sini. Gimana?"

Juna terlihat begitu memelas karena takut perawat itu mengundurkan diri seperti perawat-perawat sebelumnya.

"Iya, saya ngerti kalau Mama suka memberontak, tapi Mama kayak gini karena ada alasannya."

Nada bicara Juna terdengar sangat dewasa, berbanding terbalik dengan kelakuannya ketika di sekolah. Ini adalah Juna yang sesungguhnya. Sikap kekanak-kanakan itu hanya kedok untuk menutupi luka.

"Tolong kembali! Kami butuh Ibu ... begitu, ya, Bu? Baik, selamat kalau Ibu sudah menemukan pekerjaan yang lebih layak. Iya, selamat sore, Bu!" ucap Juna, sebelum panggilan terputus.

Juna duduk di sisi ibu Hesti dengan ekspresi memelas. Badannya lemas saat tahu bahwa perawat sudah putus asa dan tidak akan merawat ibunya lagi. Namun, Juna tersenyum kecil saat tidak sengaja melihat Ibu Hesti sedang menggerakkan tangannya. Rasa sedih mendadak berubah menjadi rasa gembira.

Brush!

Juna melotot kaget saat wajahnya dibasuh air oleh Ibu Hesti. Kalau remaja lain di posisinya, pasti akan mengamuk sampai membanting piring ke udara. Namun, Juna tidak melakukan itu dan malah menunduk lesu di dekat kaki Ibunda.

"Ma, tolong berhenti membenci anakmu sendiri! Juna emang laki-laki, tapi Juna juga punya hati. Sakit kalo diperlakukan kayak sampah oleh Ibu kandung sendiri. Ma, Juna sayang sama Mama. Tolong jangan benci sama Juna lagi!"

Juna melampiaskan segalanya lewat air mata, tetapi tetesan air suci itu tidak berhasil mengubah keegoisan dalam hati Ibunya.

"Kaki yang kotor bisa mendatangkan penyakit. Juna mau cuci kaki Mama biar gak sakit."

Dia segera beranjak dari posisi itu, lalu menghampiri baskom berisi air serta lap basah yang sudah disiapkan oleh perawat sebelum pergi. Juna pun duduk di samping kaki Ibu Hesti. Dia mencuci surga tersebut dengan sebaik mungkin.

"Mama harus sehat biar bisa marah sepuasnya! Enggak masalah kalau setiap hari marah-marah. Yang penting, dunia Juna tetap indah karena masih bisa melihat Mama."

"Ka-kamu enggak mau Mama ce-cepat mati karena ... ingin menyiksa Mama!" ucap Ibu Hesti dengan sekuat tenaga karena stroke ringan masih membuatnya sulit berbicara.

Juna terkekeh kemudian menggeleng. Bagaimana seorang Ibu bisa berpikir seperti itu? Bahkan, Juna rela tidak makan lauk supaya melihat ibunya bertahan hidup.

Setelah lama berpikir, Juna langsung menyimpan ember menuju pojokan. Dia berjalan pelan menuju kamar dengan perasaan campur aduk. Kalau boleh jujur, Juna ingin segera melihat mentari. Di sekolah, Juna tidak akan menangis secara perlahan lagi.


Anda :
Minjem duit, dong! Ibu gue sakit lagi, nih.

ATM BERJALAN KU, ARJUN :
"Okay, berapa? Gak usah minjem-minjem. Ambil aja!"

Anda :
Astagfirullah, enggak boleh ngegas sama perawan!

ATM BERJALAN KU, ARJUN :
Lo perjaka, bukan perawan!
Lo cowok, bukan kaum negeri sodom!

Anda :
Mari bacakan surat Al-Fatihah terhadap otak gue yang suka pelupa ini!

ATM BERJALANKU, ARJUN :
Semoga di tahun depan, gue enggak punya temen saraf kayak lo ... aamiin!

Anda :
Enggak boleh gitu, gue tinggal ke toilet aja nangis apalagi kalo ditinggal ke Rahmatullah? Nanti lo bisa nangis darah sampai salto ke negeri Afrika.

Arjun adalah teman terbaik yang dimiliki oleh dirinya. Juna tidak akan pernah kuat kalau ditinggalkan oleh geng Sanggara yang selalu memberi dukungan. Ada yang memberi uang, ada yang mengambil jajannya saat di kantin, dan juga ada yang menaruh bekas upilnya di baju Juna.

Kalau boleh meminta, dia ingin terus bersekolah karena yang terberat saat belajar adalah memikirkan tugas, bukan berpikir tentang mencari uang supaya besok bisa makan.

Juna menyender pada tembok, sesekali menggaruk kepala bagian belakang yang tidak gatal. Dia sudah terlihat depresi. Semua tekanan di rumah ini membuatnya ingin pergi menuju planet merkurius demi bermain petak umpet dengan para astronot. Namun, semua khayalan konyol tersebut tidak akan pernah terjadi.

Prang!

Dia harus tersadar dari lamunan ketika ibunya melempar secangkir gelas plastik, pertanda ingin meminum sesuatu. Juna mendekati ibunya sambil tersenyum simpul dan tidak terlihat emosi sama sekali.

"Mama tahu enggak? Gelas minum ini bisa membuat kita jadi jutawan, tau!"

Setelah meraih gelas plastik itu, Juna kembali berkata, "Pertama, air dalam gelasnya kita minum lalu gelas kosong ini dipakai untuk ngamen, deh. Ha, ha, Juna bercanda!"

"Mi-minum! Cepat bodoh!" pinta Ibu Hesti.

Juna mengangguk sambil berjalan mendekati tempat air.

"Juna bisa serius kalau mendoakan Mama doang. Mama hebat! Gelas aja bisa dibanting, apalagi ginjal Juna. Haha ... jangan dimasukkan ke hati, ya, Ma! Juna enggak mau Mama sedih aja."

JUNA AG ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang