#35 tolong bertahan

157 11 0
                                    

"Kak Daffin ...,"

Daffin langsung membuka matanya. Fahri yang melihatnya sedikit khawatir. Apalagi Daffin sedari tadi mengingau dengan menyebutkan nama, Abisha.

"Istighfar," ucap Fahri menenangkan, Daffin. Daffin langsung beristighfar, ia memandangi sekitarnya. Ternyata Daffin masih berada dimusola rumah sakit.

"Kamu kenapa?" tanya Fahri ketika melihat Daffin sudah sedikit tenang.

"Abisha,"ucap Daffin lirih, lalu beranjak dari duduknya tampa menjawab pertanyaan, Fahri. Daffin hanya khawatir, takut mimpinya menjadi kenyataan.

Fahri mengikuti langkah Daffin menuju ruang operasi. Disana sudah berkumpul keluarga Abisha dan neneknya. Daffin tadi sempat menelpon nenek dan keluarga Abisha sebelum pergi kemusola. Awalnya ia ragu, namun kondisi Abisha sangat kritis dan keluarganya juga berhak tau.

Daffin datang bersamaan dengan dokter keluar. Daffin  langsung menghampiri dokter tersebut dengan wajah paniknya. Semua keluarga mendekat, menunggu tuturan dokter tersebut. Farhan memandang Daffin iba. Daffin yang melihat itu sudah berpikiran negatif.

"Gimana dok keadaan anak saya." tanya Lukman membuka suara.

"Dengan berat hati kami sampaikan," Farhan melirik wajah, Daffin. Jantung Daffin sudah ingin keluar sakin paniknya. Entah kenapa pikirannya sudah terarah kesana.

Dakter Farhan menarik napas dalam-dalam. Ia merasa tidak tega menyampaikan kabar itu. "Anak Bapak mengalami koma. Luka dikepalanya cukup parah. Sekarang kita hanya bisa berdoa dan bertawakal kepada tuhan."

Daffin mematung lalu melihat kearah, Abisha. Beberapa suster mendorong brankarnya untuk dipindahkan keruang ICU.

"Yah," tanggis Dewi pecah.  Lukman langsung merangkul istrinya dan membawanya untuk duduk. Deeva yang melihat itu, sesekali ia mengusap air matanya. Ia berada dikursi penunggu bersama, Abizar. Abizar sedang menonton dihp.

"Kak, kenapa harus kakak?" batin Deeva menanggis sambil menundukan kepalanya. Sesekali ia mengusap lembut kepala, Abizar.

***

Danil sekarang masih berada diperjalanan. Bukannya pulang, ia malah pergi kekantor polisi. Danil ingin melapor kejadian tentang kecelakaan, Abisha. Ia bertekat akan mencari tau siapa penabrak dibalik mobil berwarna putih itu.

Danil memarkirkan motornya dan langsung masuk kedalam. Ia mulai membuat laporan dan setelah itu ia langsung pulang kerumah. Dalam perjalanan, pikiran Danil tidak lepas dari, Abisha. Takut, ia tidak mau Abisha sampai kenapa-kenapa.

"Abisha, aku bakal lakuin apapun supaya kamu bisa sembuh. Bahkan nyawa'pun  aku rela, asal kamu bisa sembuh." batin Danil.

Entah sejak kapan air matanya luruh. Ia terus mengendarai motor kerumahnya dengan kecepatan sedang.

"Aku janji, aku bakal cari tau siapa orang yang udah nabrak kamu. Dan aku akan pastikan dia bakal menerkam dipenjara."

***

Nit...nit...nit...

Daffin masih setia duduk menunggu istrinya. Tangannya tidak lepas mengenggam erat tangan, Abisha. Lukman beserta anak dan istrinya sudah pulang beberapa menit yang lalu. Begitu juga dengan nenek yang pulang bersama paman, Daffin. Daffin sengaja menyuruh mereka pulang. Karena meliat kondisi Abizar tidak memungkinkan untuk berada dirumah sakit. Sedangkan nenek, Daffin tidak mau melihat neneknya terlalu capek.

"Sayang, bangun. Apa kamu nggak kangen sama suamimu. Kamu tau, bentar lagi kita akan jadi orang tua. Aku bakal jadi Abi dan kamu bakal jadi umi."

Daffin merasakan dadanya perih. Melihat kondisi Abisha membuatnya ingin menanggis.

"Kamu mau liat dia besarkan nanti? Kamu tau, awalnya aku sedikit kaget denger kamu hamil. Aku nggak nyangka ia tumbuh secepat itu. Tapi aku bersyukur, berarti Allah percaya sama kita untuk menjaganya. Dan kamu tau nggak, disini banyak orang yang menunggu kamu. Apa kamu mau membuat mereka sedih? Kamu mau melihat suamimu selalu menanggis menunggu kamu disini. Suamimu sudah begitu rindu denganmu."

Daffin sesekali mengusap airmatanya yang tidak bisa ditahan lagi. Tangannya masih mengenggam tangan, Abisha. Sesekali ia menciumnya. Ia memandangi wajah, Abisha. Terlihat air mata keluar dari mata Abisha yang masih tertutup. Daffin mengusap air mata itu.

"Sayang, kamu dengar aku? Kenapa menanggis? Jangan buat aku khawatir. Kamu harus kuat demi orang yang menyayangi kamu."

Abisha tetap pada posisi sama. Terbaring lemah, tidak sadarkan diri. Namun, airmata masih tetap mengalir membuat Daffin semangkin takut.

Tiba-tiba bunyi monitor berbunyi panjang. Detak jantungnya melemah. Daffin panik dan memencet tombol untuk memanggil dokter. Daffin langsung memerika kondisi Abisha selama menunggu dokter Farhan datang. Pintu terbuka terlihat dakter Farhan masuk dengan tergesa. Tiba-tiba terdengar Detak jantungnya berhenti, Membuat Daffin melihat kearah monitor.

Degh..degh... degh....
Farhan berhenti, terdiam, memandangi Daffin yang mematung. Alat dokter yang ia gunakan untuk memeriksa Abisha jatuh kebawah.

"Abisha, tolong bertahan." ia tidak bisa menahan tanggisnya lagi.

"Abisha,"

Sedangkan Farhan hanya menunduk melihat Daffin yang memeluknya istrinya sambil menanggis pilu.

Nit... nit... nit...
Dokter Farhan langsung menoleh kearah monitor yang kembali bergerak. Daffin yang  sadar langsung menoleh. Ia sedikit tersenyum. Dakter Farhan langsung memeriksa keadaan, Abisha.

"Alhamdullillah, kondisinya sudah membaik." terang Farhan sedikit tersenyum.

"Alhamdulillah, yaAllah."

Daffin langsung mencium kening, Abisha.
Perasaan Daffin mulai melega."Terima kasih, dok."

Dokter Farhan hanya tersenyum,"Tapi, ada suatu hal yang mau saya sampaikan tentang kondisi, Abisha."

***

Azka sedang berada dikamarnya. Ia sedang duduk diatas sajadah. Setelah mendengar keadaan Abisha yang kritis dirumah sakit. Perasaannya sungguh tidak tenang. Azka tau, mungkin ia tidak pantas khawatir secara berlebihan kepada istri orang. Namun, bagaimana pun Azka juga tidak bisa mengendalikan perasaannya. Perasaannya sendiri yang meminta.

"Apa kamu sudah melupakan, Abisha?"tanya Pasya. Mereka berada ditaman kampus tempat dimana mereka kuliah.

Azka tersenyum kecut."Maksud kamu apa?"

Pasya mengeleng sambil sedikit tersenyum"Udah moveon'kan sahabat aku yang satu ini?"tanya Azka sambil sedikit menepuk bahu, Azka.

Azka melirik Pasya,"Move on atau nggaknya, itu juga bukan urusan kamu." ketus Azka. Temannya yang satu itu selalu mencari cela untuk membahas, Abisha. Bagaimana Azka bisa move on jika yang dibahas selalu, Abisha.

"Lagian, sekarang dia itu udah jadi istri orang. Tidak pantas rasanya jika kita bicara'in tentang ini." tambah Azka.

"Maaf, aku nggak bermaksud buat kamu tersinggung atau apa. Tapi, dari yang aku liat kamu masih menyukainya."

Azka hanya menatap datar, Pasya. Temannya itu seperti peramal saja. Azka memang masih menyukai, Abisha. Tapi bukan berarti ia akan nekat untuk mendapatkan Abisha, bukan?

"Abisha, aku selalu berdoa kepada Allah, semoga Allah selalu membuat kamu bahagia dimanapun kamu berada. Semoga kamu dapat melalui masa kritis itu. Bertahanlah demi orang-orang yang menunggu kamu disini."

Happy reading
Jangan lupa follow akun ini ya
Supaya nggak ketinggalan ceritanya.

The Doctor [End]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang